webnovel

- Peminum Khamr [2]

"Haha tugas! tugas kita telah selesai. Waktunya bagiku untuk pulang ke Laut Aral!" ucapan itu lantang keluar dari mulut Irbis yang masih mengigau dengan tangan kiri yang  menggenggam kuat kendi berisi khamr. 

Irbis masih terbuai dalam angan-angan mimpinya. Tanpa sadar, tangan Heshana telah tertimpa oleh badannya.

"Aduh, duh, duh berhenti!" Heshana juga tidak mau kalah dari Irbis dalam perlombaan membuat pulau.

Pagi ini, mereka berdua terbaring tidak sadarkan diri di atas bangkai beruang. Saat mabuk, bangkai itu di mata mereka terlihat seperti ranjang besar berselimut wol hangat berwarna coklat maroon.

Meskipun matahari sedikit menampakan sinarnya dan angin tidak bertiup sekencang kemarin. Mereka berdua belum juga sadar, sampai setumpuk salju dari atas pohon pinus jatuh tepat mengenai wajah Heshana. 

Bruk!

"Hacuh!" spontan salju itu keluar dari hidung Heshana. Ia mengusap salju di wajahnya lalu perlahan membuka matanya. Tangan kirinya terasa sakit terhimpit dari tadi oleh badan Irbis yang masih mengenakan zirahnya. 

Heshana dengan geram langsung menendang Irbis yang belum bangun hingga terjatuh ke tanah. Perlahan Heshana mulai sadar, ia tertidur di atas bangkai binatang. Dengan kepala yang masih terasa sakit, tanpa sengaja saat turun dari bangkai itu, wajah Irbis terinjak olehnya.

Sejenak ia kembali ke tendanya, lalu duduk dan memijat bagian depan kepalanya yang masih terasa pusing dari sisa mabuk semalam. Setelah pusing yang dirasakan olehnya agak hilang, ia segera menaiki kudanya untuk menemui Iltas. 

-- 

"Aku belum mau mati sekarang!" teriak Iltas sambil mengigau. Seketika ia langsung bangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu sembari memegangi bekas luka ditendang oleh ayahnya dulu.

Amarahnya yang dipendam selama ini kini kembali muncul. Gigi Gerahamnya bergemurutuk, seakan ingin membunuh. Heshana hanya terdiam melihat temannya yang terlihat murka itu sembari memberi makan kudanya dengan jerami. 

"Jadi kau masih marah terhadap ayahmu, sudahlah Iltas. Ayahmu itu sudah lama meninggal" ucap Heshana sembari mengelus kudanya. 

"Aku tidak peduli lagi Heshana, sial andaikan aku yang membunuhnya! pada akhirnya ia mati konyol ketika berkelahi saat mabuk" bentak Iltas lalu ia mengambil air dari kendi lalu mengusap wajahnya. 

"Semua telah terjadi, lagipula hanya orang jahat yang tega membunuh keluarga sendiri. Seharusnya kau sudah memaafkannya sejak dulu. Mungkin ia sudah tenang di alam sana melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa." ucal Heshana sembari duduk di sebelahnya. 

"Terserah kau saja, untuk apa memaafkan orang yang tega untuk menyakiti perasaan ibuku. Untuk apa ibuku dijadikan budak olehnya, katakan Heshana. Katakanlah Heshana adakah keadilan atau kebenaran untuk ibuku yang tersakiti!?" 

"Sudahlah Iltas itu semua sudah menjadi masa lalu mau bagaimana lagi. Seharusnya sekarang kau mengkhawatirkan kedua anakmu yang saat ini berperang melawan Suku Tungus. Mereka cukup tangguh ketika menghadapi pasukan berkuda"

"Perang tidak berguna, lagi-lagi kita berperang lagi apa keuntungan yang didapat dengan memerangi suku miskin seperti itu," keluh Iltas lalu menengak sedikit air dari kendi.

"Tapi perang itu yang merenggut nyawa anak-anakku Iltas" balas Heshana sembari menahan kepahitan di wajahnya.

"Bagaimana bisa! bukankah kau sendiri yang bilang anakmu bekerja sebagai pedagang perhiasan!?"

"Memang... tapi Gokturk memaksa para pemuda di seluruh kampungku untuk ikut berperang. Pemuda suku kita diwajibkan untuk berperang, satu kampung diwajibkan sedangkan yang lain tidak. Apa kau sudah lupa Iltas? jujur aku iri melihatmu yang masih memiliki keluarga utuh!"

"Lalu kenapa kau tidak menceritakan kepadaku? bukankah kita sahabat Heshana, katakan saja kenapa kau baru menceritakannya sekarang dan memendam semua rasa sakitmu sendirian" 

"Tidak ada alasan apa-apa, aku hanya tidak ingin orang mengasihani aku. orang-orang berkata dengan meminum khamr aku bisa menjadi lebih tenang, heh justru aku merasa bertambah gila barusan meminum minuman itu. Kau benar tentang para peminum khamr itu Iltas." 

"Aku mengerti bagaimana perihnya kehilangan orang yang terkasih Heshana. Jujur sampai sekarang aku belum bisa membuat ibuku bangga. Kebenaran yang selama ini kucari, aku belum menemukan jawabnya."

"Haha kau ini masih berkutat pada ibumu saja. Sudahlah kau tidak akan mengerti perasaan seorang ayah yang anaknya dibunuh oleh negeri yang ia bela mati-matian dengan darah dan keringatnya. Kau tahu apa Iltas? kerinduan bodohmu untuk mencari kebenaran? Pada akhirnya kau hanyalah orang yang masa kecilnya kurang bahagia dan sebenarnya merindukan kehangatan ibumu." balas Heshana dengan senyuman sinis

Heshana segera pergi meninggalkannya, sekilas saja sebelum melangkahkan kaki lebih jauh, Iltas dapat melihat tatapannya yang dipenuhi oleh amarah. Ia masih belum mengerti kenapa Heshana memendam rasa sakitnya dan baru memberitahu semua ini sekarang.

"Ibu maafkan aku..." samar-samar Heshana mendengarnya dari kejauhan.

Pagi itu pertemanan mereka terasa semakin renggang, Heshana kembali ke tenda meminggalkan Iltas sendirian yang mengusap beberapa tetes air matanya. 

-- 

"Kita harus secepatnya bergerak ketika angin mendukung langkah kaki kita, Irbis biasanya badai terjadi saat angin terlalu tenang" ujar Ustanak sembari memakan sarapan paginya.

"Darah ini pasti ulah Heshana tadi malam" balasnya menghadap ke Ustanak. 

"Kenapa kau malah curhat?" tanya Ustanak dengan ekspresi malas.

"Ah tidak apa, refleks" jawab Irbis sembari membersihkan hidungnya.

"Refleks?" balas Ustanak bingung dengan maksud dari Irbis.

"Benar katamu tadi soal pergerakan, maafkan perkataanku tadi"

"Hah... jangan diambil hati Tuan Irbis, kau ini serius terus bercanda di waktu pagi itu wajar" balas Ustanak dengan ekspresi lebih malas lagi.

Sesuai dengan laporan Irbis, Ustanak mulai menggambar di atas lembaran perkamen rute yang akan dilalui oleh mereka selanjutnya. 

"Oh Ustanak kerja bagus pasti tentang pergerakan kita selanjutnya pagi ini kan?" ucap Heshana sambil membawa sarapannya memasuki tenda.

"Lagi-lagi kau terlambat, Ustanak perlu pendapatmu dan Iltas agar ia bisa membuat peta yang akurat di perkamen" ketus Irbis.

"Yah mau bagaimana lagi Iltas sedang merindukan ibunya"

"Jadi kalian membuang-buang waktu dengan berjalan-jalan di sekitar jenggala!?"

"Oh yang benar apa kau pernah bercermin Irbis?" celetuk Heshana sembari menahan tawa karena teringat dengan kejadian tadi pagi.

"Tidak apa petanya sudah jadi dan aku yakin sudah akurat. Semuanya telah diperhitungkan dengan matang. Kali ini Tuan Heshana, kita akan melintasi danau kecil di dekat sini. Dataran Kuma telah dekat dan bisa jadi sebentar lagi kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Chechen."

"Chechen katamu, apa lebih baik setelah kita sampai ke sana kita beri hadiah saja pembesar di sana untuk membantu kita" ucap Irbis.

Mereka berdua menanggapi dengan serius pendapat dari Irbis. Jika mereka berhasil mendapat dukungan Chechen yang selama ini bersikap netral, maka mereka tentu tidak akan perlu khawatir terhadap pasokan makanan ataupun tempat berlindung.

Iltas segera turun dari kudanya lalu menemui mereka bertiga di dalam tenda. Heshana tersenyum biasa saja ke arahnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tentu ia paham dengan maksud Heshana agar tidak menceritakan percakapan mereka berdua tadi pagi. 

Brak!

"Terlambat lagi!" bentak Irbis menggebrak meja. 

"Memang kenapa kalian saja sehabis mabuk tadi malam?"

"Salah ya melakukan hal itu?"

"Oh jelas berbeda darimu aku meluangkan waktu untuk mencari jawaban akan kebenaran. Irbis kau tahu sendiri ayahku orangnya seperti apa ya seperti kalian ini para peminum khamr."

"Jadi hanya karena ayahmu seorang pemabuk kau membenci orang mabuk?"

"Tentu tadi malam aku ingin menyampaikan berita genting kepadamu, saat aku bertarung melawan beruang raksasa saat itu sekilas terlihat cahaya obor. Tapi kau sudah mabuk duluan seperti orang bodoh."

"Sial bagaimana bisa, seakan-akan seperti hantu. Mereka pasti sudah menyiapkan jebakan untuk kita." 

"Bukan jebakan untuk kita Irbis, itu hanya telik sandi. Musuh sedang mengincar pasukan yang dipimpin oleh Nushibi dan Uldin." 

"Heshana benar aku juga berfikir demikian pantas saja mereka bisa membayang-bayangi pasukan kita. Tujuan mereka dari awal adalah memastikan agar kita tidak membantu Uldin dan Nushibi"

"Mustahil Iltas rasanya tetap janggal mereka dapat membaca pergerakan kita serinci ini."

Ketiga kapten itu terdiam, sarapan Heshana yang masih tersisa setengah itu mulai dingin. Iltas mulai memikirkan dengan persis apa yang ada di pikiran Irbis saat ini. Namun Iltas menepis pemikiran itu jauh-jauh untuk saat ini ia harus fokus memikirkan langkah apa yang pasukan ini harus ambil selanjutnya.

"Apa yang harus kita lakukan kalau begitu! kenapa hanya diam padahal kalian bertiga kaptennya!" sahut Ustanak mulai panik.

"Tenang Ustanak!" spontan balas Heshana.

Heshana dengan pemikirannya yang cemerlang, dapat membaca strategi musuh. Akan tetapi tetap saja ketegangan menyelimuti tenda itu, mereka ceroboh karena saling tuduh menuduh akhirnya pasukan terpecah menjadi dua.

Tentu musuh akan mengincar tentara Gokturk yang lebih lemah untuk dihabisi. Di pagi yang cerah itu, ketiga kapten itu hanya punya dua pilihan.

Membantu rekan mereka yang berada dalam marabahaya atau tetap melangkah maju tidak mempedulikan apapun agar bisa sampai ke Dataran Kuma.