"Enggak mau, Pak, Bu. Aldi baru saja dilantik menjadi PNS. Masa Aldi sudah menikah saja dengan gadis miskin dan gadis desa seperti Nadira? Enggak mau. Pokoknya Aldi enggak mau menerima perjodohan ini. Banyak kok teman-teman Aldi yang mau dengan Aldi. Aldi tinggal pilih saja, Pak, Bu. Tidak usah dijodohkan seperti ini."
Pria jangkung dengan tinggi 179 sentimeter itu membalikkan badannya, mengepalkan tangan tanda bukti bahwa amarahnya kini sedang meluap bercampur dengan rasa lelahnya.
Bagaimana bisa kedua orang tuanya menyampaikan informasi yang gila di saat ia baru saja pulang kerja. Informasi bahwa katanya dua minggu lagi ia harus menikah dengan anak dari sahabat kedua orang tuanya yang masih berada di bangku kuliahan. Jelas saja hal tersebut membuat Aldi merasa sangat kesal nan geram sekali. Bayangkan saja jika seperti ini posisinya, ia seolah dijadikan sumber uang dari keluarga Nadira karena ia paham betul bahwa keluarga Nadira adalah keluarga yang kekurangan.
"Kamu jangan egois kayak gitu dong, Al. Bapak sudah pikirkan semuanya dengan baik. Nadira itu cantik, dia juga pintar, dia mandiri juga, pokoknya bakalan selaras kok sama kamu. Kamu enggak mungkin enggak bahagia kalau sama dia." Bapak Aldi membalas ungkapan putranya dengan tenang, menunjukkan sisi dirinya yang berwibawa.
"Betul yang bapakmu itu katakan, Al. Ibu juga setuju kalau kamu sama Nadira. Dia anaknya baik banget. Dia sayang banget sama kedua orang tuanya. Insya Allah dia bakalan jadi istri yang solehah, Nak." Sang ibu membela suaminya, mendukung sang putra untuk menerima perjodohan konyol tersebut. Menambahkan banyak bukti konkret dari sudut pandang sosok ibunda. Tentu saja hal tersebut membuat Aldi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal saja. Mondar-mandir tak tahu harus bagaimana. Ia bingung dengan situasi dan keadaan ini.
Aldi sangat mengenal bagaimana sosok Nadira Almaira yang saat ini menjadi kandidat calon istrinya. Ia paham betul berasal dari keluarga seperti apa sosok gadis yang kini menginjak semester empat dalam kuliahnya itu. Cantik memang, manis juga kalau dibilang. Tetapi, itu semua bukanlah hal yang Aldi inginkan. Nadira bukanlah sosok idamannya. Bukanlah tipenya. Sangat terlihat jelas bahwa Nadira masih terlihat kekanak-kanakan dan jelas hal tersebut akan mempersulit hubungannya kelak.
"Enggak mau. Aldi enggak siap menerima perjodohan ini. Aldi enggak mau dijodohkan, Pak, Bu." Keputusan final yang telah dibuat oleh Aldi membuat kedua paruh baya tersebut hanya bisa menatap penuh kecewa. Langsung lemas seketika karena keinginan dan harapan mereka tak bisa menjadi sesuatu yang nyata.
***
Siang ini Dira dipaksa untuk mengikuti ayah dan ibunya pergi ke rumah Mas Aldi. Kebetulan rumah Mas Aldi memang masih dekat dengan rumahnya, terbilang masih satu desa. Mas Aldi memang salah satu orang sukses di desa ini, orang tuanya memiliki tanah dan sawah di mana-mana, tak heran jika ayah dan ibunya setuju dengan perjodohan sialan ini. Pun ditambah jabatan Mas Aldi yang saat ini menjadi PNS, tentunya menambah value tersendiri, bukan? Tipe mantu idaman katanya.
"Waduh, Dira! Makin ke sini makin cantik banget kamu, Nduk. Dira gimana kabarnya, baik?" tanya Bu Tini, ibunda dari Mas Aldi. Sosok wanita paruh baya yang usianya sepantaran dengan ibundanya. Hanya saja Bu Tini jauh lebih beruntung tentunya karena masih diberikan nikmat sehat, tak seperti ibunya yang hanya bisa duduk di kursi roda saja.
"Dira baik, Bu." Dira menjawab seadanya saja. Sudah tak mau berlama-lama melakukan urusan dengan orang yang sebenarnya tak ingin Dira jadikan sebagai ibu mertua. Oh ayolah, ia tidak mencintai Mas Aldi sama sekali. Bagaimana bisa ia berniat menjadikan Bu Tini sebagai ibu mertuanya?
Semua pasang mata kini mengarah ke Dira, tersenyum penuh takjub seolah Dira adalah sosok pusat percakapan mereka. Saling melayangkan kode masing-masing yang Dira sangat yakini bahwa kode tersebut adalah kode perjodohan. Ya biasalah, namanya saja orang tua.
"Ini Dira tadi abis masak ayam goreng kremes sama cah kangkung, Bu Tini. Buat Ibu Tini dan sekeluarga, terlebih buat Mas Aldi," ujar ibunda Dira yang langsung membuat Dira menatap tajam ke arahnya. Apa-apaan ini ... ibunya berbohong? Astaga! Ibunya yang selama ini mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepadanya terpaksa berbohong hanya karena seorang Aldi Firmansyah? Sialan memang!
Sumpah demi apa pun, hari ini Dira baru saja bangun dan langsung disuruh mandi setelah itu pergi ke rumah Mas Aldi. Ia sama sekali tidak masak dan ia sangat yakin jika yang masak adalah ibunya, bukan Dira. Sebegitu berharganya Mas Aldi di mata mereka semua kah? Sampai-sampai rela berbohong supaya Dira bisa diterima dengan baik.
"Waduh sayangnya Aldi lagi kerja, ya. Kalau saja Aldi lagi libur, pasti dia langsung melahap ini semua. Dia suka sekali dengan cah kangkung sama ayam goreng kremes soalnya." Bu Tini membalas dengan suara rendah, lalu sekian detik kemudian ia kembali berujar lagi. "Apa Dira mau mengantarkan makan siang buat Aldi? Kebetulan kan kantornya Aldi enggak jauh dari sini. Dia juga pasti lagi makan siang. Dira tau SMA tempat Aldi mengajar, kan?"
Dira meremas ujung roknya dengan gugup. Mengantarkan makan siang untuk Mas Aldi? Astaga, yang benar saja! Bisa malu menjadi bulan-bulanan teman-teman Mas Aldi lainnya nanti. Tidak, Dira tidak siap.
"Ngg—"
"Pasti Dira mau kok, masa ketemu calon suami enggak mau, iya kan, Dira?" Ayah Dira memotong ucapan putrinya dengan kilat lantas menendang kaki putrinya tak terlalu kencang demi menginterupsikan bahwa putrinya yang bernama lengkap Nadira Almaira itu harus mengiyakan apa yang Bu Tini sampaikan.
"Nah, bener! Masa enggak mau ketemu sama calon suaminya. Ayo antarkan makan siang ini untuk Aldi ya, Nduk!"
***
Ruangan 3x4 meter itu tengah sepi nan hening, menyisakan dua orang saja yang berada di dalamnya dengan saling pandang satu sama lain. Jaraknya yang hanya sejengkal saja membuat mereka berdua bisa saling mendengar deru napas masing-masing. Tak terasa tangan nakal milik sang pria meremas kecil gundukan daging wanita di hadapannya, sang wanita yang menerima remasan tersebut hanya tersenyum manis dan mengerlingkan mata menggoda, menandakan bahwa ia menikmati remasan tersebut dan meminta remasan yang lebih dahsyat lagi tentunya.
"Kamu terlihat sangat seksi sekali hari ini, Bu Dayu." Bisikan lembut itu jelasnya datang dari sosok pria jangkung yang kini hendak mencium bibir sosok wanita yang dipanggilnya dengan sebutan 'Bu Dayu'.
"Aku selalu terlihat seksi di hadapanmu, Tuan." Bu Dayu membalas.
Perlahan namun pasti, dua insan yang tengah dimabuk asmara tersebut sama-sama mendekatkan diri, mengecup bibir lawan jenisnya lalu setelah itu melumatnya dengan sangat brutal, membuat erangan yang cukup kencang dengan desahan kenikmatan karena remasan gundukan daging pun tak tersudahkan.
"Argh, Mashh!"
DAK!
"Mas Aldi?"