webnovel

Tak Bernama

"Tapi sayangnya, kau tidak punya tempat untuk pulang," sanggahnya.

Aku membisu, lalu tersenyum setengah hati. Membenarkan ucapannya dalam batin terdalam. Lidahnya kalap. Ia menggertak, menjadikan apa yang kukatakan sebagai umpanku sendiri.

Tatapan pria itu mengeras. Dingin seperti es. Ia terus melangkah mendekat sekalipun aku berjalan mundur menyisakan beberapa jengkal diantaranya. Semak-semak hijau di sana termakan layu dan hitam. Kalap oleh seringaian pria di hadapan. Ranting-ranting kering berada dalam pihaknya. Menggenggamnya seperti bercengkerama.

"Kenapa?" desaknya makin merapat. "Kau menyesal? Atau kau ketakutan?"

"Untuk apa aku menyesal? Aku tidak bisa mengubahnya sesuka hatiku. Jadi untuk apa?" aku berdecih. "Kau akan mengatakan bahwa kau adalah seseorang yang kuinginkan?"

"Ya," sahutnya cepat.

"Apa!"

"Yah, tidak begitu juga. Setidaknya jangan mengira kalau aku 'bukan manusia'. Karena aku bisa merasakan sakit dan terluka. Semacam .... luka yang tak mengeluarkan darah."

"Bukan manusia? Vampir? Wolverine? Alien? Angel? Devil? Atau...Iblis?" gerutuku dengan lantang.

Suaraku tercekat seperti tersedak. Diantara tenggorokan dan kerongkongan. Lidah hampir mati rasa karena suatu hal. Tetapi ia tertawa. Menertawai tingkahku, yang lucu menurutnya. Juga kepulan asap dari bibir merah keringnya. Dingin namun tak mempunyai dingin.

"Huh, lucu," pria itu memasukkan jari-jari tangannya ke dalam saku celana. Sesekali tersenyum simpul sembari menatap langit dibalik pepohonan. "Dan sekalipun aku mempunyai sifat dari semua makhluk yang kau sebutkan. Tetaplah aku bukan dari salah satunya. Aku terlalu tampan untuk menyandang gelar semacam itu. Aku adalah aku. Hanya diriku. Kau paham?" ujarnya dengan menyisakan beberapa jarak dari wajahku.

Aku tertegun. Merasakan suara napasnya yang menghangat di sekitar pipi.

"Ya benar. Aku menyesal sekarang," aku tersenyum kecut, memicingkan sorot tajam.

Berusaha berpaling dari tatapannya. Aku memutar bola mata, beralih memandangi kerikil di dekat sepatu kets-ku.

Langkahku melebar. Memutar balik menghindarinya. Yang entah terasa dingin atau justru menghangatkan pori-pori tubuh. Aku berjalan pelan meninggalkan pria jangkung itu. Tanpa menoleh meskipun ingin. Aku memegang dadaku, merasakan detak jantungku. Sesak dan sempit. Tak ada ruang untuk bernapas. Suasana bungkam seribu bahasa. Hanya terdengar hembusan lambat dari mulutku. Sangat sulit menenangkan diri. Ini bukan yang kuharapkan. Terlalu menakutkan.

Jalanan setapak yang rindang masih disinari matahari yang makin menipis. Semburat kemerah-merahan. Telapak tangan yang memucat dan angin lebat mengibaskan helai rambutku yang tergerai. Begitu pula dedaunan dibalik ranting pohon. Aku menatap lurus ke depan berharap segera sampai. Mendadak sesuatu muncul tepat di depanku. Bola mataku melebar. Aku menganga. Lagi-lagi pria itu berpindah tempat dengan cepat layaknya menghilang.

"Apa kau tahu apa itu menyesal?" tanyanya tiba-tiba.

Ia berdiri diantara kabut dan sinar jingga. Cerah mengelabui senja. Dingin menyambut bebatuan. Sekejap menghilang, lalu muncul dengan mudah. Tubuhnya berdiri tegap mematung di sana.

"Kau pikir aku akan bertepuk tangan atas kelakuanmu itu," rahangku mengeras bersama kalimat yang aku lontarkan. Ia tak menggubrisnya.

"Menyesal adalah ketika kau ingin tenggelam di dasar laut, namun tak bisa tenggelam. Ketika kau ingin mati tapi tak bisa mati. Seperti sesuatu sedang mengoceh dirimu, sedang kau tidak kuat dengan ocehan itu."

"Menghilanglah dari hadapanku," suaraku melemah seperti memudar. Menciut seperti pengecut.

"Aku bisa menghilang dari hadapanmu, tapi aku tidak bisa menghilang dari benakmu," singkatnya. "Tidak untuk hari ini, besok, atau hari lainnya. Kau bahkan tak mempunyai nyali jika aku melakukan itu."

Aku mendecakkan lidah mendengar bualannya.

Tetapi senyuman hangat, tulus atau semacamnya. Ia bersungguh-sungguh atau tidak, aku tak tahu. Ia merendahkan tubuhnya dan berjongkok membelakangiku. Tangannya menjulur ke belakang menawarkan tumpangan.

"Naiklah. Aku sedang bersikap romantis sekarang. Sayang kalau dilewatkan. Tidak usah khawatir, punggungku ini sangat nyaman seperti ranjang di kamarmu," godanya.

"Omong kosong apa lagi ini! Aku punya kaki. Kenapa aku harus naik ke punggungmu?"

"Tentu saja karena kau percaya padaku"

"Cih" bola mataku menyipit. Terheran-heran dengan ucapan tak masuk akalnya.

Namun, bulu di kelopak mataku seakan terus melebar. Menahan sesuatu seperti buliran yang hendak jatuh. Tatapanku sayu, mendung. Apa diriku tengah sedih sekarang? Tetapi bukan aroma kesedihan. Mungkin hanya terlalu miris, dengan seseorang yang peduli. Hanya terlalu senang dan terharu. Tanpa pria itu tahu. Ia masih berjongkok menunggu di sana. Lemah seolah menyelimuti batin. Aku terlalu mudah dikasihani. Berat melangkahkan kaki, Aku mengangkat tangan meraih bahunya yang lebar. Lenganku melingkar di lehernya. Sebegitukah dia mengasihani seseorang? Sesaat setelah aku memegang pundaknya, ia terkejut, namun kemudian mengangkat tubuhku di punggungnya, seraya berdiri pelan. Tanpa sadar ku eratkan pula lenganku. Hangat dan...menyenangkan.

Aku membisu. Mataku memicing menatap wajahnya dari sisi. Sangat teduh, sejuk dan juga dingin, seperti musim semi di Seoul. Tidak apa-apa. Waktu seolah memanjang. Aku menyandarkan kepala di bahunya.

"Terima kasih," bisikku pelan di telinganya yang memerah karena udara dingin.

Ia tersenyum. Wajahnya terang terpancar senja. Perlahan mataku tertutup. Sekitarku buram dan tak jelas termasuk tatapannya. Hanya bayangan terakhir yang membuat semuanya semakin gelap.

Viola POV End

Burung Pocksay berkeliling di beranda. Embun yang berkumpul di ujung ranting menetes jatuh ke tanah basah. Batang pohon dipenuhi warna coklat gelap. Angin-angin lembut yang mengibas tirai. Gorden berwarna keemasan. Buku-buku berserakan di atas meja. Berantakan tak nyaman dipandang. Selimut motif beruang bergerumul dengan tubuh panas. Tadinya Viola terlelap dimakan malam dan sejenisnya. Cahaya matahari menerawang, meninggi diantara gedung-gedung pencakar langit. Undakan tangga yang basah dan licin. Mengering terik karena bulan menutup diri. Pagi menyingsing. Aroma baru. Wangi baru. Hangat disela-sela jari. Memaksa masuk ke pori-pori sempit.

"Aku sudah bangun," gumamnya dalam diam.

Viola menggeliat, meregangkan sendi-sendinya. Menghalau bintik-bintik menguning mentari yang masuk ke celah ventilasi kecil, menyoroti matanya. Napas panjang mengepul dari mulutnya. Terdengar seperti sesuatu yang panjang telah terjadi. Mana dunia mana cermin. Disibaknya mimpi tabu. Melalui hal-hal ranum di sekelilngnya. Masa pubertas panjang yang melelahkan ini harus segera dihabiskan.

Polemik tiada habisnya. Hidup manusia yang runyam, adalah karena mereka sendiri. Atau karena takdir. Viola mendesis mempercepat rutinitas pagi harinya. Semangkuk sereal, omelette dan susu. Memenuhi rongga ususnya sehari-hari. Setidaknya ia harus berterima kasih, masih ada yang mau memasakkan makanan untuknya. Sembari menyelesaikan dasi di leher, Viola meraih ponsel dan tas-nya. Sepatu yang asal-asalan kena pakai sambil berdiri, hingga harus berjalan dengan sebelah kaki. Ia melesat melewati pintu kayu bergaya Melayu. Diikuti seringaian dari wajah pucat polosnya.

"Aku berangkat," teriaknya s sembari melangkah ke pintu hendak meninggalkan apartemen.

Seorang pria dewasa bercelemek, tengah sibuk mencuci piring. Dia adalah Roy Casano.

"Viola!" ia berlari dan menarik tangan adiknya, mencegahnya keluar apartemen.

"Kenapa?" Viola menoleh.

"Kau….mau kemana malam-malam?"

"Eh?"