webnovel

Suster Muda

Shoot!

Tian main basket sendirian, ia memasukkan bola di ring. Ia bermain sejak sore namun ia masih tidak bisa berhenti memikirkan Maya. Tian melemparkan bola berkali-kali dari ranjang bola di sampingnya. Keringat mengalir di pelipis, ia memaksa dirinya sampai kelelahan.

"Kenapa aku terus memikirkan gadis kecil itu? Kenapa aku terus mengkhawatirkannya? Kenapa aku harus marah karena dia tidak memberitahuku tentang cutinya? Kenapa? Kenapa?! Kenapa aku marah!"

Batin Tian berteriak dan melempar pertanyaan-pertanyaan itu bersamaan dengan lemparan bola ke ring. Namun ia tidak menemukan jawabannya. Napasnya tersengal dan kelelahan. Ia lalu duduk di lantai sembari mengatur napasnya.

"Kenapa aku membuatku jadi seperti ini May?" ratapnya, ia menunduk fristasi sembari memegang kepalanya.

Dari pintu, Dion melihat kawannya tengah tertekan. Ia memutuskan untuk tidak menghampirinya dan membiarkannya sendirian.

"Sudah kubilang untuk membaca majalah yang kuberi kan? Aishh dia pasti membuangnya beneran," batinnya menggeleng sembari melihat Tian. "Dia tidak punya pacar dan tidak suka hiburan. Malang sekali," Dio prihatin.

***

Nico duduk di sudut perpustakaan, di lantai dan bersandar di rak saat senja hari. Ia melihat dompetnya, ada foto Maya bersamanya di sana.

"Aku merindukanmu, May," gumam Nico.

Hanya ada beberapa orang di perpustakaan. Di bawah cahaya senja di langit, Nico duduk di dekat jendela. Ia melihat foto dirinya dan Maya yang ia abadikan di dompetnya. Wajahnya tertekuk dan ekspresinya sedih. Ia mengusap foto Maya seolah ingin menemuinya, namun ia sendiri bahkan tidak tahu dimana dia sekarang.

"Dimana kau sebenarnya? Kemana dan sama siapa? Kenapa aku tidak cerita padaku? Kalau ada masalah sudah kubilang untuk bercerita kan? Kenapa kau tidak minta tolong padaku? Kenapa kau egois sekali sih?"

Nico memarahi foto Maya. Ia merasa kesal. Beberapa saat kemudian ia memejamkan matanya sembari menyandarkan kepalanya di rak, lalu menghela napas panjang.

Semua orang mengkhawatirkan Maya, Ella, Oska, Tian dan Jeffry, serta teman-teman di club dan di kafe. Mereka merindukan Maya, namun akhirnya menerima keputusannya dengan caranya masing-masing.

***

Sementara itu orang yang dikhawatirkan tengah berperang dengan gadis 15 tahun, Viola.

"Dasar pendek! Aku tahu kau cuma mau memeras uang kakakku kan?!" teriak Viola sembari melipat lengannya depan dada.

Maya hanya menatapnya, matanya kini menghitam seperti panda, rambutnya acak-acakan karena kadang dijambak oleh Viola dari belakang, dirinya lebih cocok dipanggil babu ketimbang 'teman'.

"Cepat ambilkan susu di kulkas!" perintahnya dengan kasar. "Kak Roy tidak pernah terlambat membuatkanku susu di pagi hari, supaya tumbuh tinggi, tidak cebol sepertimu, haha."

"Astaga…" Maya serasa tidak kuat, dari semua pekerjaan yang telah ia lakukan, pekerjaan ini adalah yang paling berat. Padahal baru seminggu ia merawat Viola.

Kadang-kadang Maya menata mengepang rambutnya dengan cantik, karena Roy tidak becus merawat rambutnya sejak kecil, Viola sangat senang. Hanya saja ia gengsi untuk menunjukkannya pada Maya. Dirinya akan jadi penurut, seperti dalam sesi konseling, alih-alih memberi nasihat, Maya akan mendengarkannya dan mengikuti gejolak emosinya.

"Apa? Dia membuli?" Maya terkejut mendengarnya.

"Iya, aku tidak bohong!" ceritanya pada Maya dengan menggebu. "Anak-anak kelas 11 mengguyur badan anak kelas 10-4 dengan air dingin."

"Wah mengerikan sekali. Dulu saat aku sekolah tidak separah itu," Maya menggeleng.

"Benarkah? Memang apa yang paling parah dulu di sekolahmu?"

"Yang lemah akan dipukuli di kamar mandi."

"Apa?!" teriak Viola geram. "Apa itu kau?"

"Tentu saja tidak, tapi aku ikut melaporkannya ke guru BK. Kau arus berani melapor, dan jangan hanya melapor satu orang. Kalian harus ramai-ramai seperti satu kelas kau ajak semua. Biar yang membuli kapok."

"Wah! Kau hebat juga." Viola tertawa. Maya tersenyum lebar, ia merasa keren.

Maya dan Viola terpaut 5 tahun, mereka bercerita banyak hal, kadang Viola sendiri tidak merasa kalau itu adalah sesi konseling yang membosankan dengan kakaknya. Karena Roy akan memberinya nasihat ini itu seperti pak tua. Ia cukup nyaman dengan Maya. Namun kadang-kadang keduanya juga saling membentak, Maya tidak pernah mengalah kalau soal pertengkaran. Bukannya mengalah seperti Roy, ia semakin meninggikan suaranya dan jambak-jambakkan.

Sebenarnya Viola sangat menikmatinya, karena kakaknya selalu mengalah dan mengalah, jadi tidak seru diajak main.

Di akhir minggu, ia jogging di jalan setapak sekitar apartemen. Di sore hari Maya mengecek seluruh rumah kalau ada yang lupa ia bersihkan. Malam harinya sebelum tidur ia mengerjakan laporan di komputer yang sudah di sediakan di kamarnya. Ia juga memeriksa Viola kalau-kalau ia bermimpi buruk. Di awal-awal saat Roy pergi, Viola sangat marah padanya hingga tidak bisa tidur, begitu juga Maya yang duduk menemaninya hingga Viola tidur meskipun anak itu hanya memakinya.

Hingga tidak terasa kalau beberapa minggu telah lewat. Sebentar lagi Roy akan pulang, kecuali kalau ada jadwal dadakan.

Di pagi hari saat Maya memasak, Viola duduk di meja makan menunggunya. Ia melihat ke kursi yang biasanya kakaknya duduki. Maya datang membawa nampan berisi omelette, roti, selai dan susu.

"Kau merindukan kakakmu?"

Viola tersadar dari lamunannya.

"Cih, siapa yang rindu. Dia mau di sana selamanya juga terserah. Dia sudah menelantarkan aku dengan asisten yang sangat buruk. Aku akan membunuhya saat dia pulang."

"Rupanya kau sangat merindukannya ya," goda Maya.

"Apa sih? Tidak ya tidak!" Viola cemberut.

Setelah sarapan, Maya mengantarkannya ke sekolah. Mereka berdua selalu naik bisa bersama, keduanya menunggu di halte dekat apartemen.

"Apa kau pernah menyukai seseorang?" tanya Viola tiba-tiba.

"Suka? Seperti ingin pacaran dengannya?"

"Tidak, tidak jadi."

"Kenapa? Apa ada temanmu yang kau sukai?" Maya tersenyum.

"Ada."

Maya terkejut. Ia tersenyum. "Kalau begitu katakan padanya."

"Tidak bisa."

"Kenapa"

Viola menoleh, ia menatap Maya dengan sungguh-sungguh. Maya tertegun melihat ekspresinya yang serius dan juga sedih.

"Kenapa tidak bisa mengatakannya?" Maya prihatin.

"Dia bukan manusia. Dia hanya ilusi."

Vrooom vrooomm

Tiba-tiba bis datang. Viola lalu kembali menghadap ke depan, ia lalu berdiri dan bersiap naik ke bis. Maya yang tak sadar melamun juga segera berdiri. Ia hendak naik namun Viola menghentikannya.

"Minggu depan Kak Roy pulang. Aku sudah bosan denganmu. Jadi aku akan berangkat sendiri hari ini."

"Mana boleh begitu?"

"Serahkan saja padaku. Aku bisa pergi sendiri tahu, dasar suster pendek," Viola tertawa.

Kali ini Maya menyadari bahwa senyumannya bukanlah bohongan dan kepura-puraan. Ia berharap Viola sembuh dan tidak lagi berbicara tentang teman khayalannya. Dari jendela, ia melambai padanya. Maya membalasnya dengan senyum ceria.

"Aku harap dia benar-benar mendapatkan teman yang sebenarnya."