webnovel

Senior

"Apa kau tidak sabar bertemu kakakmu?"

Viola diam saja dan tidak berniat menjawab pertanyaan Maya. Mereka berdua duduk di kursi peron sembari menunggu kereta datang. Ada banyak orang yang juga menunggu kedatangan kereta. Menunggu orang-orang yang mereka sayang akhirnya pulang.

Kereta akhirnya datang dan berhenti di stasiun. Orang-orang mulai berdiri, termasuk Maya dan Viola. Pintu kereta terbuka otomatis, para penumpang berbondong-bondong keluar dengan tertib. Viola melihat kakaknya keluar dari kereta. Roy memakai jas rapi dan koper hitam.

"Itu Kak Roy!" Viola bersemangat memberitahu Maya dan hendak berlari, namun Maya dengan cepat mencegahnya karena sangat ramai.

"Tunggu Viola," paniknya. "Kakakmu akan ke sini, jangan ke sana. Sangat ramai, kau bisa hilang."

Viola menurut meski cemberut.

Roy melihat dua sosok gadis yang dikenalnya. Ia kemudian mendekatinya dan melihat betapa excited-nya Viola melihatnya.

"Viola!" teriak Roy, ia berlari kecil mendekati mereka.

"Kakak!" Viola berlari memeluknya.

"Kau baik-baik saja?"

"Tentu saja."

"Aku belum memesan taksi," Roy mengeluarkan ponselnya.

"Saya sudah memesannya untuk anda," sahut Maya.

"Benarkah? Terima kasih, May."

"Kak aku belum sarapan, ayo makan," Viola asyik bermanja-manja.

"Apa? Belum sarapan?" Roy menoleh ke arah Maya di belakang Viola.

Namun Maya tanpa berbicara apapun, memberi gesture tanda silang di depan dada sembari menggeleng. Mulutnya tanpa bersuara mengatakan bahwa Viola sedang berbohong. Roy pun tersenyum lega. Ia mengikuti rencana adiknya.

"Benarkah kau belum sarapan? Lalu Kak Maya?"

"Oh itu… pokoknya dia itu sangat menjengkelkan, aku tidak mau main dengannya lagi."

Roy tahu kalau itu bohong. Karena selama ini dari laporan Maya, Viola bahkan lebih nyaman dengan Maya ketimbang dirinya. Konseling seperti curhat biasa setiap jam 8.30 malam, pulang sekolah tepat waktu, bahkan Maya membantu mengerjakan PR-nya hingga mengepang rambutnya. Juga melakukan hal-hal yang tidak bisa ia minta baik-baik pada Viola. Setiap membaca laporan Maya, Roy yang awalnya tidak terlalu percaya merasa telah memilih pengasuh yang tepat. Yaitu teman untuk adiknya. Setidaknya lebih baik dari pada Alfa.

"Kami bertengkar, Pak," telpon Maya suatu malam pada Roy.

"Bagaimana bisa? Keadaan Viola?"

"Dia menolak konseling dan mengunci diri di kamar."

"Astaga, apa yang terjadi?"

"Dia ingin mengecat rambutnya warna ungu. Maafkan saya, sepertinya dia terinspirasi dari foto teman di ponselku. Dia juga memintaku menguncir persis sepertinya."

"Menguncir?"

"Iya, kadang-kadang saya menguncirnya."

"Hemm… baiklah. Biarkan dia mewarnainya."

"Eh tapi,"

"Asalkan cat rambut yang tidak permanen."

"Iya, baiklah."

Kadang-kadang Maya juga menelepon saat tiba-tiba Viola terserang mimpi buruk. Ia lalu meminta izin untuk tidur menemaninya. Roy sangat lega, Viola selalu mengatakan membenci Maya namun sebenarnya tidak begitu. Saat mimpi buruk Maya akan memeluknya dan menemaninya tidur. Karena tidak mungkin Roy menemaninya saat usia adiknya semakin bertambah. Mungkin karena usia remaja jadi Viola lebih terbuka pada Maya.

Tak terasa 1 bulan terlewati dengan cepat. Setelah Roy kembali dari perjalanan dinasnya, Maya kembali ke apartemennya. Namun ia tidak bekerja di kafe lagi. Hutangnya masih banyak jadi tidak mungkin dia bersantai. Lagipula sudah terlanjur cuti kan.

"Lain kali aku akan mengajakmu dan Andra makan bersama," kata Roy.

"Terima kasih. Meskipun tidak mudah merawat Viola, tapi saya senang mengurusnya. Dan saya tidak menduga juga kalau anda memberi saya bonus padahal yang saya terima sudah cukup banyak."

"Aku menghargaimu karena aku tahu itu tidak mudah."

Mereka berdua tersenyum formal. Maya berpamitan, ia meminta izin untuk mengambil barangnya besok. Roy sangat ramah dan baik, dia juga meminta Maya untuk sekali-kali mampir dan main dengan Viola.

"Jika dia jalan jalan denganmu, aku tidak akan khawatir," kata Roy.

Maya kembali ke apartemen pada sore harinya. Meskipun Roy memintanya untuk kembali besok saja. Roy memaksa Viola untuk berpamitan dengan sopan pada Maya. Selain itu dia memang sudah seharusnya menghormati orang yang lebih tua darinya.

"Kalau mau jalan jalan hubungi aku saja," Maya mengelus kepalanya.

"Cih. Kenapa kau tidak kencan dengan pacarmu saja sana," cueknya.

"Apa kau marah karena aku pulang? Uh lucu sekali." Maya mencubit pipinya yang chubby.

"Apa sih," cueknya. "Sudah sana pulang."

Meskipun mengatakan hal yang sedikit kasar, saat Maya keluar dari rumah, Viola terus menatapnya. Roy menyadarinya.

"Kau tahu, mahasiswa sangat sibuk," kata Roy padanya. "Dia mungkin tidak ada waktu berkencan apalagi mampir ke sini lagi. Kau yakin tidak mau mengucapkan perpisahan?"

Viola dengan sok cool memanggil Maya.

"Maya!"

Maya menoleh.

"Sa…sampai jumpa lagi," Viola dengan kikuk melambaikan tangannya.

Maya senang melihatnya. Ini kemajuan untuknya.

"Sampai jumpa," balas Maya sembari melambai. Ia tersenyum lebar.

"Kenapa sih dia suka tersenyum lebar seperti itu? Menjengkelkan sekali."

"Bilang saja kau suka punya teman sepertinya," goda Roy.

"Cih."

Setelah hari itu, Maya langsung kembali ke apartemennya. Setelah turun dari bis, ia berjalan santai menuju apartemennya. Namun, secara tidak beruntung, ia tiba-tiba tidak sengaja melihat Tian di kejauhan.

"Senior?" paniknya. Maya berbalik dan hendak kabur namun terlambat.

Tian melihatnya dan berlari memanggil namanya.

"Maya? Maya!" Tian berlari mengahmpirinya, dan memegang lengannya.

Maya berusaha lepas namun Tian tentu saja tidak akan melepaskannya. Terlebih lagi, Maya tidak memberitahunya dia kemana selama ini. Ia agak kecewa padanya, namun Tidak sepatutnya marah, karena toh mereka berdua hanya sebatas teman kampus.

"May, kenapa kau seperti ini?"

Maya diam, tidak ingin menjawab.

"May."

"Lepaskan tanganku," pinta Maya.

"Aku tidak akan melepaskannya sampai kau memberitahuku."

"Lalu kau sendiri, kenapa kau seperti ini, Senior? Aku harus memberitahukan apa padamu?"

"Aku…aku tidak tahu! Pikiranku jadi aneh dan campur aduk sejak kau pergi. Kenapa kau membuatku jadi seperti ini?"

"Kenapa itu jadi salahku?"

Tian terdiam. Ia lalu perlahan melepaskan tangan Maya.

"Kalau begitu maaf sudah membuatmu seperti itu," kata Maya setengah hati.

"Kau akan pergi lagi?"

Maya mengalihkan pandangannya. Tian pun sudah bisa menebak jawabannya.

"Ah kau memang mau pergi lagi ya."

"Kenapa kau marah?"

"Apa aku marah?"

"Ya! Jelas-jelas kau marah."

Tian membisu. Mereka berdua saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan.