webnovel

Perkelahian

"Maya..."

Terdengar suara seseorang yang memanggil Maya tak jauh dari meja mereka. Nico dan Maya menoleh. Itu adalah Tian.

"Senior...sejak kapan kau masuk?"

Tian mendekat dan memegang lengan Maya lalu tanpa seizinnya dia memeluk gadis yang ia rindukannya itu.

"Maya...kau pasti sangat menderita. Kau sudah bekerja sangat keras," kata Tian.

Maya tertegun. Ia tak percaya seniornya mengatakan kata-kata yang sangat lembut dan menenangkan. Kata-kata itulah yang ingin ia dengar. Bukan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan membuatnya makin ingin kabur.

"Senior, aku...."

"Tidak apa-apa, May. Tidak apa-apa untuk mengeluh. Tidak apa-apa untuk lari. Tidak apa-apa untuk menghilang sejenak. Kau sudah melakukan semuanya sendirian. Kau sudah melakukan sebisamu dan semampumu."

Tian melepaskan pelukannya. Ia terkejut, Maya menitikan air mata. Begitu juga Nico yang kaget dengan Tian yang tiba-tiba memeluk Maya. Ia pun menyadari tatapan keduanya yang intens.

"Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Kau tidak perlu melakukannya."

Maya menangis dalam diam. Tian menghapus air matanya.

Nico merasa buruk setelah mendengar kata-kata Tian, seolah ditujukan padanya.

Flashback End

Di kampus.

Nico tengah berjalan di koridor sembari memikirkan kata-kata Maya. Saat ia marahnya di halaman dejat apartemen dan juga saat di kafe. Hingga ia melamun dan menabrak mahasiswi lain.

Nico memegang kepalanya yang pening. Dari koridor tempat ia berdiri, ia melihat Tian tengah bermain basket sendirian di lapangan outdoor. Ia dengan sinis melihatnya.

"Gara-gara dia," giginya menggertak sebal. Nico berjalan cepat menghampirinya.

Grab.

Nico menangkap bola basket itu. Tian kaget melihat Nico ada di sana.

"Namamu Tian, kan?" tanya Nico sinis.

"Apa yang kau lakukan? Jangan menggangguku. Berikan bolanya," Tian memasang wajah datar seperti biasa.

"Gara-gara club olahraga kalian..." Nico tersenyum remeh. Matanya menajam.

"Apa sih yang kau bicarakan?" Tian tidak nyaman.

"Berhenti ikut campur urusanku dengan Maya, dasar pengacau."

"Ha?" Tian tertawa kecil. Ia tidak percaya Nico terang-terangan mengajaknya bertengkar. Tian mendekatinya.

"Apa maumu?"

"Menjauh dari Maya."

"Kalau aku tidak mau?"

Tangan Nico mengepal memanas. Ia melempar bolanya marah. Lalu meraih kerah baju Tian.

"Aku benci pengacau sepertimu."

"Bukannya kau yang mengacau?" balas Tian. "Kau yang memukul mantannya lebih dulu dan membuat kekacauan. Apa kau yakin Maya menyukainya?"

"Jangan asal bicara kau, sialan!"

"Temperamenmu sangat buruk. Berkaca pada dirimu sendiri, seberapa nempel seperti beben kau padanya. Kau tidak pernah berpikir kalau dia mungkin kabur karena sikap kekanakanmu? Kau lupa kau yang membuatnya menangis kemarin huh?!"

"Kau tidak paham situasinya! Dasar tukang ikut campur urusan orang! Memang berapa lama kau kenal dia? Aku sudah mengenalnya sejak lama, dia selalu bersamaku."

"Apa lama sebentarnya seseorang membuat orang itu memahami sepenuhnya?"

Nico terhenyak. Ia mematung sesaat.

Dari jauh Rimba dan Olla melihat keduanya. Mereka hendak ke basecamp olahraga dan tidak sengaja menemukan dua orang yang tengah adu mulut dan hampir berkelahi.

"Apa kau sepenuhnya memahami dia? Apa kau memahami pilihannya?" cecar Tian.

Nico makin marah dan mengangkat tinjunya hendak memukul Tian. Rimba dan Olla berlari menghampiri lalu berusaha melerai keduanya.

"Astaga apa yang kalian lakukan?" teriak Olla panik.

Rimba menangkis tinju Nico. Olla menarik Tian mundur.

"Apa yang kau lakukan, Bangs*t?!" teriak Rimba marah.

"Akui saja, kau tidak memahaminya sama sekali." Tian masih bicara. "Kau tidak memahaminya! Kau hanya pria egois yang terus menerus memaksa Maya untuk menerima situasimu!"

"Tidak! Bukan begitu!" Nico berusaha mengelak.

Olla berusaha memegang bahu Tian, namun Tian masih berteriak.

"Sudah, Tian, hentikan!" kata Olla.

"Hentikan kalian berdua!" kata Rimba.

Nico mendorong Rimba. Situasi jadi makin genting di lapangan.

Kata-kata Tian bahwa dia pria egois terus terngiang-ngiang di telinga Nico. Ia pun mengingat semuanya. Saat ia meminta Maya menemaninya ke kencan buta dan berakhir direndahkan, saat Maya masih tidur di pagi hari dan dia memaksanya bangun dan mengajaknya ke tempat kencan buta lagi. Nico frustasi.

"Lepaskan aku!" Tian berontak dari Olla.

Ia lalu pergi dari lapangan dan meninggalkan semua orang dengan napas tersengal an hati kesal. Rimba tercengang melihat Tian yang marah sampai sebegitunya. Padahal selama kuliah ia tidak pernah melihat Tian benar-benar marah pada seseorang. Kali ini bahkan Tian banyak bicara dan mencecar lawannya, tidak biasanya ketika dia tetap tenang.

"Tian, apa kau benar-benar menyukai gadis itu?" batin Rimba.

***

"Padahal sudah kupakai setiap hari masih saja tidak terbiasa. Roknya sangat pendek sekali huhu," keluh Maya dalam hati sembari terus menarik roknya ke bawah berharap bisa lebih panjang lagi.

Bagaimana tidak, rok seragam bagian atas berwarna putih dan tipis jika tersiram air mungkin akan langsung tembus pandang. Bagian bawah berwarna merah maroon dan panjangnya hanya setengah paha. Meskipun tidak nyaman, Maya tetap harus memaksa. Saat melihat pramusaji wanita yang lain mereka nampak nyaman-nyaman saja. Padahal sudah lebih dari satu minggu dia bekerja di sini.

"Silakan minumannya," Maya tersenyum dan menaruh beberapa minuman di meja yang berisi tiga orang pria yang mabuk.

"Apa kau baru di sini?" tanya salah satunya dengan kepala geloyoran.

"Sepertinya dia memang baru," sahut satunya yang merokok.

"Siapa namamu?" satunya lagi, memiliki rambut yang di cat pirang. Dia menarik lengan Maya hingga Maya jatuh dan terduduk di pangkuannya.

"Ah astaga!" Maya kaget.

"Ekspresimu manis juga," pria itu menyentuh dagunya.

Maya mengelak lalu berusaha berdiri lagi. Beruntung pria itu setengah mabuk jadi kekuatannya tidak terlalu besar.

"Mohon jaga perilaku anda, Tuan!" kata Maya dengan tegas.

"Kau memangnya berharap apa?" si pria yang geloyoran tadi berdiri dan merengkuh pinggang Maya. "Kau berharap bisa bekerja seperti di kafe biasa di sini?"

Dua pria lainnya tertawa mengolok mendengarnya.

"Lepaskan!" Maya berhasil menjauh. Ia mulai kesal dan ingin marah namun berusaha menahannya. "Maaf saya permisi dulu."

Dua pria yang sudah mabuk total lalu tertawa dan melanjutkan minum lagi. Sedangkan pria yang merokok menatap Maya dengan mata yang nakal. Ia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

Dari jauh, seseorang mendengar sedikit keributan di meja lain. Ia menoleh dan terkejut.

"Dia bekerja di sini rupanya," itu adalah Jeffry.

Ia memanggil salah satu pramusaji wanita.

"Dia siapa?" tanyanya sembari menunjuk dengan dagunya ke arah Maya.

"Dia pegawai baru di sini, Tuan." setelah itu pegawai itu pergi.

Jeffry tersenyum puas sembari minum alkohol.

"Kena kau, Maya."

***

"Apa kau mencuri ponsel Sano untuk meneleponku tadi?" Dean marah.

"Mencuri? Kau kira aku ini apa, huh?!" Cherry cemberut. Namun sedetik kemudian merangkul lengan Dean manja.

"Yuk belikan aku ponsel sekarang."

"Ah sial. Kalau bukan Sano yang mengatakannya....."

Dean mengingat lagi nasihat Sano.

"Sudahlah Dean belikan saja. Kalau dia hilang kita bisa menghubunginya," kata Sano smebari tersenyum lebar.

Dean menghela napas panjang.

"Kau sepertinya menurut sekali dengan Kak Sano padahal kau tidak akur dengan Eli, haha lucu sekali," olok Cherry.

Dean meliriknya dan menatap senyumnya yang lebar itu hingga membuatnya terdiam sejenak. Mendadak pipinya memerah malu. Ia bahkan bisa merasakan sesuatu yang kenyal menatap lengannya.

"Lepaskan," Dean melepaskan tangan Cherry yang bergelayutan.

Ting!