webnovel

Perhatian

"Aku akan pergi jauh, Viola."

"Kemana?"

"Ke tempat dimana semua orang tersenyum dan bahagia. Tempat dimana tidak ada kesedihan dan tangisan."

"Ada tempat seperti itu?"

Alfa mengangguk.

"Kalau begitu ajak aku."

Alfa menggeleng.

"Kenapa?"

"Kau harus menemukan kebahagiaanmu sendiri."

"T..tapi kita teman kan?"

Alfa menggeleng lagi.

"Bukan? Kita bukan teman?"

"Selamat tinggal, Vi."

Perlahan Alfa memudar dan menjauh. Selah bayangan dalam cahaya yang tak menyisakan debu di senja hari. Viola duduk termenung sembari berusaha meraih Alfa. Namun terlalu jauh. Terlalu jauh hingga ia ingin menangis.

"Alfa! Alfa! Alfa!"

Viola terbangun dari mimpinya. Airmata menetes di pipinya. Ia sadar dan kembali meremas selimutnya dengan marah. Viola menjambak rambutnya dan berteriak-teriak. Roy membuka pintu kamarnya dan memegang tangan adiknya agar berhenti menyakiti diri sendiri.

"Ada apa, Viola? Viola! Viola!"

"Kakak..." Viola menatap kakaknya, lalu sedetik kemudian memeluknya.

"Cahaya, kabut, hadiah, kereta, tongkat, pena dan cinta."

Viola menulis 7 hal itu di buku diarinya. Roy membacanya dan tidak mengerti apa maksudnya. Yang pasti adiknya sepertinya telah lama menunggu seorang teman.

"Alfa...anak itu..." Roy menggeleng pelan.

Ia menyelimuti Viola lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Lalu mematikan lampu tidurnya.

Pagi harinya, saat sarapan, Viola tiba-tiba marah dan tidak mau makan apapun.

"Pindahkan aku ke SMA Gabriel."

"Uhuk uhuk," Roy tersedak. Ia kaget dengan permintaan tiba-tiba itu.

"Apa? Kau bilang SMA apa tadi?"

"SMA Gabriel."

"Tidak bisa." Roy dengan tegas melarangnya.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya. Sekolahnya terlalu jauh, dan kau harus asrama di sana. Pokoknya, ti-dak-bo-leh." Roy menekan kalimatnya.

"Lagipula aku sudah tinggal kelas satu kali, harusnya aku kelas 1 SMA seperti yang lain."

Roy melirik adiknya yang cemberut.

"Kalau begitu besok aku mau ke taman bermain."

"Besok kapan?

"Hari valentine."

"HA? Tidak boleh! Taman bermain pasti penuh!"

"Kenapa Kakak melarangku semua sih?!"

"Aku akan mencarikanmu pengasuh baru. Jangan aneh-aneh sampai saat itu."

"Aku bisa minta Maya menemaniku."

"Kau pikir dia punya banyak waktu luang?"

"Cih!" Viola membuang muka. Ia lalu mengambil tasnya dan melangkah keluar rumah dengan cepat.

"Viola, Viola!"

"Apa lagi sih?"

"Tunggu dulu, kakak antar saja."

Viola menghela napas panjang sembari memutar bola matanya malas.

Di dalam mobil, Viola tidak mau duduk di samping Roy. Ia memilih duduk di belakang dan main ponsel.

"Maya, ayo ke taman bermain."

"Kakak boleh mengizinkan kalau kau bersamaku."

"Maya! Balas chatku!"

"Maya sialan."

Viola mengirim pesan teks pada Maya tapi Maya sedang tidak online.

***

Maya merasa bosan di dalam kamar Oska. Kamarnya terlalu rapi, cuma ada koleksi buku-buku berat, seperti psikologi, hukum, kedokteran bahkan farmasi serta disiplin ilmu lainnya.

"Apa dia belajar semua ini?" Maya bertanya-tanya. Dia membuka buku-buku itu tetapi malah ngeri-ngeri sendiri.

Dia lalu melihat cermin full body dan bercermin di sana. Ia melihat pantulannya sendiri dan menahan tawa.

"Kenapa aku jadi tenggelam sekali dengan baju ini? Hihi." Maya cekikikan. Ia memakai kemeja putih Oska selutut ditambah jaket besar berwarna cokelat.

Maya mendekat ke pintu lalu membukanya sedikit. Ia melirik ke pintu kamar Tian.

"Apa dia masih di kamar?" Maya penasaran.

Tak tak tak.

Terdengar suara derap langkah menaiki tangga. Maya panik lalu menutup pintu kembali.

"Apa itu Tian?" Maya menelan salivanya dan berdiri di depan pintu sembari menatapnya cemas.

Tiba-tiba...kreeeekkk.

Pintu terbuka. Itu adalah Oska.

Maya terkejut setengah mati. Ia memegang dadanya dan menganga sembaru melihat Oska.

"Kenapa kau di sini?"

"Astaga. Kaget sekali aku."

"Kau..." Oska menunjuknya. "Jangan bilang kau mau kembali ke tempat itu lagi!"

"Ti...tidak kok." Maya membuang muka. Ia menunduk sembari meremas jaketnya.

Oska menghela napas.

krwkrwkrwk....perut Maya berbunyi.

Maya terkejut, ia malu sembari memegang perutnya.

"Ayo sarapan," ajak Oska sembari menahan senyum.

"Itu tadi bukan perutku."

"Iya iya."

"Sungguh."

"Hem iya."

Oska menata piring di meja kecil serta lauk dan nasi yang ia beli. Mereka berdua duduk di karpet.

"Kau nyaman pakai baju itu?"

Maya tertawa kecil.

"Kenapa tertawa?"

"Aku jadi tenggelam. Bajumu seperti baju raksasa, hihi." Maya cekikikan kecil.

Tanpa Maya sadari Oska menatapnya. "Sepertinya dia sudah kembali seperti biasa," batinnya.

"Apa Tian keluar?" tanya Oska. Mereka menikmati sarapan bubur ayam dan susu jahe.

"Tidak tahu. Apa dia sering keluar?"

"Biasanya dia bermain game dengan temannya yang cerewet satunya. Ah sumpah, suaranya bahkan tembus sampai ke kamarku. Bagaimana bisa suara orang bisa sekeras itu? Padahal tembok ini sangat tebal."

"Haha. Itu Kak Dion."

"Kau bahkan tahu nama temannya."

"Ah itu..." Maya menikmati buburnya dan tak niat menjawab.

"Kau menyukai Tian?"

"Uhuk uhuk." Maya tersedak. "Apa?!"

Oska menyodorkan minuman.

"Tidak. Siapa yang suka padanya."

Oska melihat pipi gadis itu memerah. Ia lalu menghela napas dna melanjutkan makan.

"Oh ya, Kak Oska. Kemarin malam kenapa kau bisa ada di bar?"

"Uhuk uhuk," ganti Oska yang tersedak. Maya menyodorkan minuman.

"Itu..."

"Apa kau sering ke sana?"

"Tidak!" elak Oska secepat kilat. "Aku baru pertama kali ke sana kok."

"Kalau iya tidak apa-apa kok. Apa salahnya pria sering ke bar?"

"Bukan begitu, aku bertemu seseorang di sana?"

"Siapa? Teman? Pacar?" Maya melotot, matanya berbinar ingin tahu.

Oska berdehem canggung.

"Kenapa kau ingin tahu?"

"Hehe, tidak apa-apa," Maya mengengeh.

"Terima kasih, Kak. Aku belum sempat mengatakannya. Terima kasih sudah menyelematkanku dan merawatku." Maya menunduk sembari mengaduk-aduk buburnya. "Ini tidak gratis."

"Apa?" Maya kaget.

"Kau tetap tidak mau berhenti bekerja di sana?"

"Ahh kenapa kau terus meminta itu?" Maya memanyunkan bibirnya. Bahunya turun, ia memainkan sendoknya.

"Ya ya baiklah. Tapi kau harus jaga diri."

"Tentu saja. Aku pasti akan menjaga diriku sendiri."

"Apa kau kenal..." Oska terdiam tiba-tiba.

"Ada apa?"

"Ah tidak tidak." Oska sebenarnya ingin bertanya apa dia kenal Dean. Namun sepertinya Maya tidak mengenalnya. Jika tahu, dia pasti sudah membahasnya di sini.

"Lanjutkan makanmu," kata Oska kemudian. "Oh ya sekarang kau tinggal di mana?"

"Aku tinggal di kos kompleks."

"Apa itu tempat yang layak?"

"Em."

"Syukurlah."

"Aku hanya bekerja sebentar di sana. Aku akan kembali ke sini bulan depan."

"Bulan depan masih lama."

"Terima kasih, Kak. Sudah khawatir padaku." Maya tersenyum lebar namun di saat yang bersamaan itu senyum yang hambar dan kosong.

Oska menatap Maya yang berusaha pura-pura ceria seperti biasa. Ia mengerutkan alisnya.

Setelah sarapan, Maya pamit pulang. Kamar Tian juga nampaknya kosong, entah pergi kemana dia. Oska mengantarkannya sampai di halte dengan motor besarnya.

"Kau yakin akan naik bis saja?"

"Iya. Tidak apa-apa. Terima kasih makanannya. Aku akan mengembalikan bajumu kapan-kapan."

"Em baiklah." Oska lalu turun dari motornya.

"Kau tidak perlu turun. Kak Oska pulang saja."

Namun Oska tak mengindahkannya, ia mendekat dan merapikan rambut Maya yang sering berantakan karena angin. Rambut sebahunya yang cantik dan lembut.

"Aku minta maaf dan berterima kasih padamu, May."

"Eh? Harusnya kan aku yang bilang begitu."

"Jaga dirimu," Oska mengelus rambutnya. "Hubungi aku kapan saja. Aku akan marah jika kau sakit sendirian. Kita harus jadi tetangga yang aku, kan? Kau pernah bilang begitu."

"Aku? Bilang begitu? Benarkah? Hehe."