webnovel

Namanya Aram

"Apa kau mau kusewakan asisten untukmu sekalian?'

"Ha?!" aku malas mendengarnya.

Air mukanya datar tak memiliki ekspresi. Ia menautkan kepalan tangannya di atas meja seolah berbicara serius. Aku menatap pakaiannya yang berubah sudah tak putih panjang lagi. Pakaian itu digantung di kursi kebesarannya.

"Kau itu masih muda, Dok. Sebaiknya kau mengganti style rambutmu, memakai cardigan keren. Lalu basahi bibirmu yang merah itu. Dan pergi kencan dengan wanita seksi." kusentuh bibirku dengan sensual, sembari tersenyum menyeringai, mengoloknya. Ia menatapku aneh.

"Remaja labil," ia tersenyum menunjukkan sederetan giginya. Ia jarang tersenyum. Tingkahnya itu semakin membuatku ingin merutukinya.

"Jangan mengataiku!"

Aku berdiri menggebrak meja. Kukeluarkan botol obat kecil yang retak dari kantongku. Lalu kuletakkan di hadapannya. Ia masih tenang.

"Kau sengaja memberiku dosis obat yang tinggi. Supaya aku cepat mati, kan! Kalau kau sudah tak sanggup mengurusku lagi. Pergi saja dari hidupku! Aku sudah muak!"

"Jadi, itu yang bisa membuatmu tenang tanpa obat? Kalau begitu baiklah."

Dokter itu berdiri. Menggeser kursinya ke belakang. Tanpa kata, tanpa makna. Ia tersenyum simpul. Berlalu dengan santai, melangkahkan kaki menuju pintu. Menghilang tak bersisa. Meninggalkanku dalam ruangan sendirian. Ia benar-benar pergi setelah kusuruh pergi. Kenapa aku menjadi jahat? Dan kenapa juga ia menuruti perintahku? Aku terduduk, memaksa air mataku tidak jatuh kembali. Seolah semuanya tak dapat diakhiri. Aku sendirilah yang menyingkirkan orang-orang di sekitarku. Diriku adalah kontras nyata dalam mimpiku sendiri.

"Aku akan menyewa suster untukmu!" teriaknya.

Aku tidak peduli, aku membuka pintu warna lembayung di sana. Kenop memutar, memaksaku mendorongnya. Ingin mengejar Dokter bodoh itu. Sekarang aku yang berfikir tanpa nalar. Pintu terbuka sepenuhnya. Tak kudapati siapapun. Hanya kabut tebal warna silver. Sorot mataku lusuh. Berkutat tak berkedip. Semakin dalam hingga terlupa. Mungkin aku sedang berjalan terhuyung sekarang. Aku memanggil Dokter itu, tapi suaraku bahkan tak bisa menembus kabut. Mengapa harus kabut? Apakah keberadaanku semacam itu? Menghalangi pandangan, mengganggu penglihatan, penyebab sesak napas. Seperti sebuah penyakit? Dunia dan seisinya yang seperti hitam. Aku jatuh dari tebing yang sangat tinggi. Namun kenapa masih hidup? Lagi-lagi aku gagal mengakhiri hidup. Pandangan mataku buram tertutup kapas-kapas kabut. Melangkah tanpa arah, tanpa kompas di tangan.

Aku berjalan, lalu tertidur di jalanan ini lagi.

Aku berbicara namun tak ada yang mendengar.

"Cepat matikan aku, Tuhan," gumamku dalam diam.

Viola POV end

***

"Haaahhhh..." Viola menghela napas panjang.

Matanya melebar, bengkak. Ia mengedarkan pandangannya yang masih setengah sadar. Sesaat ia menoleh ke sisi kanannya. Viola tersentak, kehabisan kata-kata dan tidak tahu harus memberi respon yang bagaimana. Terlalu mengejutkan.

"Kau berhutang lagi padaku," Aram melipatkan kedua tangannya di dada. Sembari terduduk santai. "Bagaimana kau akan melunasi yang satu ini?" lanjutnya.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" Viola meninggikan suaranya.

"Harusnya aku yang mengatakan itu, bukan kau."

"Apa lagi ini!" Viola merutuki dirinya sendiri.

"Apa kau semiskin ini? Kalau kau ingin tidur, tidurlah di kamar. Jangan di halte bis begini. Dan lihatlah dirimu…" ia berdecak menatap Viola dari ujung kaki sampai kepala. "Kau masih mengenakan seragam. Apa kau tersesat lagi kali ini?"

Memang terdengar seperti olokan.

"Lalu apa yang kau lakukan? Duduk nyaman tanpa membangunkanku? Aku sudah tahu kalau dari awal kau menganggapku gila kan?"

"Tunggu, tunggu. Ada apa denganmu? Kau bahkan tidak mengucapkan terima kasih atau sekadar basa-basi untuk orang yang telah menungguimu tidur di tempat umum? Apa kau tidak sadar? Ada banyak pria berkeliaran! Dan kau tertidur santai di sini. Apa yang kau pikirkan? Apa menurutmu kau ini seorang putri?"

"Aku tidak memintamu untuk berbuat hal yang sama dalam situasi apapun. Jika itu merugikanmu, kenapa harus menyalahkanku?"

"Aku tak pernah berfikir untuk mengatakan ini padamu. Tapi, berhentilah bersikap egois. Kau terlalu memaksa."

Viola tersenyum remeh. Ia tersinggung mendengarnya. "Kau tahu. Saat kau menderita dan tidak bisa berdiri tegak lagi. Saat itulah kau tahu yang sebenarnya, bahwa tidak ada yang berakhir bahagia di dunia ini. Katamu aku egois? Ya benar! Jika egois bisa menyelamatkanku, kenapa tidak aku lakukan. Itu lebih baik untukku"

Aram terdiam. Alisnya bertaut memikirkan sesuatu entah apa. Yang ia tahu, bahwa gadis di hadapannya benar-benar dalam keadaan yang tidak baik. Perlahan dirinya mulai melembut, menyesali kata-katanya.

Angin sepoi yang melewati senja. Mengibaskan poni pria itu. Di tempat yang sama. Seseorang yang tertidur lelap di sembarang tempat. Gadis dengan wajah penyimpan amarah, membuncah sewaktu-waktu. Bukan meledakkan orang lain, tapi dirinya sendiri. Tangannya bergetar. Sorot matanya yang bercahaya seperti fajar. Aram menghela napas. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Viola. Gadis itu berdiri, beranjak dari tidurnya yang melelahkan. Bukan gadis yang menyedihkan, hanya saja...

"Berhenti menatapku! Jangan menatapku lagi! Semua pria sama saja! Kenapa? Kau marah? Atau kau kasihan melihatku? Aku menyedihkan, iya kan?" Bentak Viola dengan keras. Jeritan yang terdengar pilu bagi Aram.

Aram membisu. Mendengar celoteh Viola tanpa ekspresi apapun. Ia melangkah sejengkal, mendekatinya. Mata coklat Viola yang dipenuhi mimik kaca bening. Sebentar-sebentar marah, lalu tertawa. Menertawai dirinya sendiri. Aram menarik lengannya. Membawanya meninggalkan halte. Berlalu, sebelum senja mengikuti.

Semburat matahari membiasi bayangan tubuh mereka di trotoar. Viola menunduk terdiam. Ia tersadar, tak seharusnya juga marah pada orang yang baru saja menyelamatkannya. Aram masih menggenggam erat telapak tangan Viola yang bergetar, bersuhu dingin. Kebisuan menggertak satu sama lain. Hanya terdengar dedaunan layu kering di tanah yang diterbangkan angin. Bersama genggaman tangan. Semakin lama semakin erat. Viola merasa tidak asing dengan genggaman tangan Aram, yang menyelimuti tubuhnya yang dingin, menjadi hangat.

"Aku antar kau pulang," ujar Aram singkat.

"Kau tidak tahu rumahku. Jangan mengantarku pulang," singkat Viola tanpa menoleh.

"Hanya sampai di perempatan saja. Tidak usah khawatir."

"Kenapa kau menggenggam tanganku? Apa aku mudah bagimu?" Viola menghentikan langkah. Menatap pria di hadapannya. Begitu juga Aram.

"Dengarkan aku sekali lagi," Aram memegang kedua bahu Viola. "Jika kau berdiri sendiri, bukan berarti tidak ada orang lain yang menunggumu. Dan jika kau merasa sepi, bukan berarti tidak ada orang lain yang berdiri di sampingmu. Hanya saja kau tak menyadarinya. Dan jika kau tidak mau mempercayai orang lain lagi, bukan berarti tidak akan ada orang lain yang tidak mempercayaimu juga"

"Maksudmu aku....."

"Bukan itu. Aku tahu kau bukan orang yang egois. Jika kau terus bersembunyi, tidak akan ada yang tahu keberadaanmu."

Viola menunduk sedih. Ia tahu, semua yang dikatakannya itu benar. Benar semuanya, tak ada celah sedikitpun. Dirinya hanyalah seorang pengecut yang melarikan diri.