webnovel

Gabriel

"Masih ada tiga kupon lagi."

"Bolehkah aku ikut?" Kara tiba-tiba excited.

"Oi Kara! Kenapa kau ikut-ikutan?" Ian protes.

"Sepertinya wahana itu menakutkan," sambung Onyx.

"May, sebaiknya kau disini saja," Tian memegang tangan kirinya..

"Jangan naik wahana. Bahaya!" Nico memegang tangan kanannya

Andra dan Nina sontak menoleh, mereka berdua melempar senyum.

"Kalian apa-apan sih?" Maya melepas tangan mereka berdua.

"Sepertinya seru," kata Kara. Ia tersenyum pada Viola.

"Kita bisa naik wahana apa saja, hihi."

"Baiklah, gadis-gadis, aku yang akan memandu kalian!" Cherry ikut berdiri.

"APA!" Dean dan Elias shock mendengarnya.

"Kakak-kakak cantik, tolong ajak aku," Zen pura-pura mau menangis.

Elias dan Dean mencegah Cherry. Tian dan Nico mencegah Maya sedangkan Zen merengek minta ikut, sano menenangkannya, Viola juga merengek, Roy memarahinya. Nina dan Andra saling menatap bingung kenapa jadi ricuh sekali.

Semua orang berdebat melarang para gadis untuk naik wahana. Ada yang alasannya terlalu ramai bahaya, alasan karena Maya pendek dan kecil, Cherry terlalu liar dan buas ketika naik wahana, dan Kara tidak pernah main wahana ekstrim, Viola yang juga dibawah umur tanpa pengawasan wali, sedang Zen dan Sano bertengkar bak ayah dan anak.

"Pokoknya aku akan ikut," Cherry menyilangkan kedua lengannya. Ia sangat keras kepala dan tidak mau diatur.

"Serius? Kau mau menghabiskan uang di kartu kreditku, huh?" teriak Dean.

"Dasar pelit!"

"Ya ikut saja sana! Angin akan sekalian menerbangkanmu!" timpal Elias sinis.

"Tinggi badanmu tidak sampai, May. Kau pasti tidak boleh naik banyak wahana," kata Nico.

"Ha? Kau meremehkanku!"

"Aku sumpah pernah naik roller coaster. Itu benar-benar menyeramkan, nyawamu seperti mau melayang! Jangan naik itu, May!" Tian juga berteriak.

"Ah sudah-sudah, dasar kalian berdua pria lemah!"

Tian dan Nico saling menatap cemas.

"Kenapa kakak selalu melarangku ini itu, ini itu. Aku bosan tauk!" Viola cemberut brutal.

"Itu karena kau berbohong lebih dulu."

"Kan aku bilang sama Maya. Tuh orang ada di situ tuh!"

"Dasar anak ini!"

"Kau pernah naik wahana ekstrem?" tanya Ian.

"Sombong sekali kau!"

"Maksud Ian dia khawatir denganmu, Kar." sahut Onyx santai.

"Ha? Aku khawatir pada gadis aneh ini. Dasar gila kau!"

"Oi bilang saja kalian tidak tahu cara bersenang-senang di taman bermain," balas Kara.

"Ha?" Ian sudah naik darah. "Kau kan pakai seragam, harusnya kau tahu batasannya."

"Seragam? Apa masalahnya?"

"Biar aku terjemahkan. Maksudnya dia khawatir karena kau pakai rok."

"Oi Onyx kenapa kau ikut campur si?!"

"Kenapa aku tidak boleh naik dengan gadis-gadis?"

"Kau tidak lihat Onyx tadi? Kau akan mimisan bahkan sebelum naik wahana bersama mereka," kata Sano.

"Berhenti bersikap seolah-olah kau ayahku."

"Oh benar juga," Sano tertawa. "Bagaimana kalau kau kuangkat jadi anakku. Hahaha."

"Ha? Dasar gila, tidak mau!"

Suara semua orang saling bersahutan. Meja menjadi sangat riuh. Andra dan Nina pusing mendengar semua orang.

"Astaga bagaimana ini, semua orang jadi marah-marah?" Nina panik sendiri. "Bukankah kita harus melerainya?"

"Dasar orang-orang ini." Andra memegang kepalanya penat.

"Haruskah kita pergi kencan berdua di tempat yang lain?" Nina tersenyum miris.

"Kita memang lebih baik kabur dari sini," Andra menggeleng pasrah.

Mereka berdua menghela napas.

Flashback

Maya masih duduk di bangku SMA. Kakaknya mengirim pesan untuk datang ke halaman belakang sekolah. Maya cemas terjadi sesuatu padanya. Ia lalu pura-pura sakit dan izin pada guru kelas untuk ke UKS. Maya lalu mengendap-endap menuju taman belakang sekolah. Karena jam pelajaran, jadi tidak ada siswa di sana.

Namun betapa kagetnya Maya, mendapati kakaknya luka-luka. Bahkan ada beberapa noda darah di jaket dan celananya.

"Kakak! Apa yang terjadi? Kakak kenapa? Kenapa Kakak terluka?" Maya panik.

"Maya! Jangan khawatir. Jangan panik!"

Maya kemudian agak tenang.

"Kakak akan pergi dulu sementara. Kalau ada yang tanya siapa kakakmu, bilang kau anak tunggal, dan kalau ada yang tanya nama belakangmu.... dia pasti bukan orang baik."

"Kakak... kau kenapa.... kenapa jadi begini?"

"Dengar! Dengar kakak baik-baik!" Richy memegang pundaknya.

Maya mengangguk takut.

"Mulai saat ini kau anak tunggal, paham?"

Maya menangis.

"Kau ingin menyelamatkan Kakak, kan?"

Maya mengangguk.

"Kalau begitu turuti semua kata-kataku. Ini akan membuat kakak aman dan kau selamat. Paham?"

"Kakak mau pergi kemana?"

"Jangan menangis. Jangan pernah menyebut nama kakak pada siapapun. Pada siapapun, mengerti?"

"Aku mengerti."

"Kau masih tinggal di rumah paman, kan?"

"I...iya."

"Tetaplah di sana sampai lulus. Kakak akan selalu melindungimu dari jauh."

Maya menangis.

Flashback end

***

Plak!

Gabriel menampar Elias di ruangannya. Ia baru saja bermain golf dan masih menggunakan sarung tangan putih. Elias meliriknya, wajahnya tak hanya nyeri tapi juga kotor. Ia membisu dan menerimanya begitu saja dengan tatapan biasa dan datar.

"Kau...memang sudah gila!"

Elias mengepalkan tangannya di belakang punggung. Menerima semua amarah ayahnya.

"'Beraninya kau membawa Dean ke taman bermain!" Gabriel menyisir rambutnya ke belakang dengan penuh emosi. "Berapa kali kubilang! Berapa kali kubilang padamu untuk berhati-hati!"

"Itu terjadi begitu saja. Aku tidak merencanakannya...."

Plak!

Gabriel menampar Elias lagi, hingga wajahnya memerah. Elias hanya bisa menahan rasa sakitnya. Ia menundukkan pandangannya.

"Masih melawan lagi!"

"Aku penasaran kenapa ayah melarang Dean ke sana. Apa ada sesuatu yang ayah sembunyikan?"

"Dasar bocah ini!" Gabriel mengangkat tangannya lagi tapi urung menampar Elias. "Dean yang akan memimpin perusahaan. Dia harus menjalankan perannya sampai mati!"

Elias mengepalkan tangannya.

"Apa aku saja tidak cukup! Apa tidak puas ayah membuat semua orang menderita!"

Plak!

Elias menahan nyeri di pipinya lagi.

"Jika mengajak Dean kesana lagi, aku akan mengirimmu ke luar negeri," ancam Gabriel.

"Kenapa? Ayah takut? Seolah-olah Dean adalah anak yang kau pungut dari sana," Elias menekan kalimatnya.

"Kau..."

Tuan Gabriel mengangkat tangannya lagi namun ia urungkan untuk menampar setelah melihat mata Elias yang menajam. Mereka berdua saling menatap benci satu sama lain.

***

"Dean!" panggil Cherry. Ia berlari menuruni anak tangga dengan berlari.

Dean panik ia akan terjatuh. Dia menghampirinya dan memintanya pelan-pelan dan hati-hati.

"Bisakah kau pelan-pelan saja saat turun tangga?"

"Kau mau pergi ke bar?"

Dean tidak menjawab dan hanya memegang tangan Cherry dan membantunya turun. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 21.

"Ah Dean," rengeknya.

"Sudahlah hentikan. Sana balik ke kamar."

Cherry tiba-tiba mendekat dan berbisik.

"Kau mau menemui gadis lugu itu? Kau mau selingkuh, kan?"

"Ha? Apa sih yang kau bicarakan?"

"Dia terlihat bodoh. Sudah lama aku tidak bermain dengan orang bodoh sepertinya. Bolehkah aku bermain dengannya." Cherry tidak takut apapun. Ia terang-terangan meminta izin untuk mengganggu Maya.

"Kembali ke kamarmu."

"Tidak mau!"

Dean menjentikkan jarinya dan muncul dua pengawal berbadan kekar. Ia memberi tanda untuk membawa Cherry ke kamarnya. Dua pengawal itu mengangkat lengan Cherry lalu mengangkatnya. Mereka membawanya ke kamar atas.

"Dean! Dean sialan! Deaaaannn!"