webnovel

Cuti

"Kau pasti seorang siswa. Kau mengenakan seragam yang sama denganku." sahut Viola cepat.

Mendadak ingatan Viola melayang di saat-saat itu. Di saat masih ada banyak delusi dan halusinasi di sekelilingnya. Aram yang mendadak hilang. Kemudian berganti Alfa. Kencan itu, dan foto Aram di ponselnya. Mereka yang susah dibedakan. Viola yang mengira keberadaan Alfa hanya bagian dari ilusi kesepiannya. Apakah itu salah sampai sekarang?. Viola membelalakkan mata. Mendadak sesuatu merangsang otaknya. Ia telah mengetahuinya.

"Aku akan membuat semuanya menjadi jelas." kata pria itu.

"Jadi kau adalah...." Viola terkejut dengan dugaannya sendiri.

"Perkenalkan. Nama lengkapku adalah Alfa Aramba."

Viola menutup mulutnya. Tidak tahu harus memberi respon yang bagaimana.

"Kau…nyata?"

"Tentu saja," Alfa menahan senyumnya.

"Kupikir kau…"

"Ilusi?"

Viola tercengang. Ia termangu menatapnya.

"Tidak. Aku nyata, Viola. Aku ada di sini sekarang."

***

Roy, seperti hari biasa, ia mengantarkan Viola ke sekolah dengan mobil sembari ia berangkat bekerja. Sepanjang jalan, adik perempuannya itu hanya diam. Roy khawatir dan bertanya padahal ia biasanya cukup cerewet, apalagi untuk menyindirnya.

"Apa kau sakit?"

"Tidak."

"Sungguh?"

Viola tiba-tiba menoleh dan menatap kakaknya.

"Ada apa?"

"Apa boleh aku ikut kau ke rumah sakit?"

"Ha?!"

Roy menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia bertanya pada adiknya sekali lagi dan memintanya berterus terang.

"Ada apa sebenarnya denganmu?"

"Apa dokter bisa menemukan orang?"

"Polisi yang bisa menemukan orang hilang."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kalau begitu bisakah kau menemukan satu orang untukku."

Roy memutar bola matanya lalu menginjak pedal gas dan mobil kembali melaju. Ia nampak tidak terlalu memperhatikan omongan Viola. Adiknya mulai sebal.

"Ya? Bantu aku ya?" Viola memohon sembari mengerucutkan bibirnya, matanya berbinar sedih.

"Aku tidak mempan dengan akting jelekmu itu."

"Kalau begitu aku akan setuju konseling selama satu minggu penuh."

"Satu minggu? Cih."

"Kau ini kakakku apa bukan sih?!" teriaknya.

"Akhirnya kau kembali ke sifatmu yang sebenarnya."

"Ya sudah!"

"Aku akan melakukannya asal kau menuruti 3 permintaanku."

"Apa? 3? Banyak sekali. Tidak mau!"

"Okay, itu pilihanmu."

"1 saja."

"3 atau tidak sama sekali. Kau pikir menemukan orang itu mudah?"

"Alfa, namanya Alfa. Alfa Aramba."

"Kau pikir menemukan orang hanya dengan namanya itu mudah?"

Bahu Viola turun, ia cemberut.

Sesampainya di sekolah, Roy melambai padanya, namun Viola abaikan karena marah. Roy hanya menghela napas, namun sedetik kemudian wajahnya berubah serius.

"Jadi namanya Alfa Aramba ya," gumamnya. "Aku akan mencari tahu tentang anak itu."

Selama ini Roy memang sudah mencari tahu tentang identitas anak laki-laki yang sering menemui adiknya hingga Viola salah memahaminya sebagai ilusi. Kali ini Roy akan menemukannya sebelum anak itu muncul lagi. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jas nya dan menghubungi kenalannya.

"Temukan keberadaan dan identitas seorang anak remaja untukku."

***

"Berapa? Berapa uang arisan yang Mama hilangkan?"

"10 juta."

Maya melangkah lesu di lorong kampus. Ia berjalan pelan sembari mengingat percakapannya dengan ibunya beberapa hari yang lalu. Gaji dari kafe dan uang beasiswa yang ia terima 3 bulan sekali kini ludes tak tersisa. Hanya cukup untuk membayar sewa akhir bulan. Maya menghela napas sembari mengeluarkan lembar kertas yang baru ia minta dari ruang staf tata usaha. Itu adalah lembar pengajuan cuti kuliah.

Maya sampai di depan ruang club dan hendak memberitahu Olla selaku ketua club, setidaknya ia harus tahu kalau dirinya akan cuti bulan depan. Maya memasukkan kembali kertas itu ke dalam tasnya. Ia masuk ke ruangan. Namun siapa sangka rupanya, Tian dan Rimba tengah berbincang dengan Olla mengenai kompetisi badminton tunggal antar kampus, Olla menyinggung Maya yang kemarin hendak mengajukan diri bahkan niat Rimba yang memberikan informasi itu lebih dulu ke Maya. Dan Maya mendengar percakapan mereka.

"Aku belum memberi info ini kepada para junior tapi Maya kemarin sudah tanya-tanya tentang ini padaku," kata Olla.

"Aku yang memberitahunya lebih dulu," sahut Rimba.

Tian dan Olla menoleh heran.

"Ini semua salahmu," tudingnya pada Tian. "Kau membuatku merasa bersalah padanya. Aku tidak akan membandingkan para junior kita satu sama lain."

Tian membuang muka.

"Ada apa ini. Kalian bertengkar?" Olla menatap mereka bergantian.

"Aku tidak sengaja membandingkan Maya dengan Ella kemarin, yah meskipun niatnya tidak begitu sih."

"Jadi apa niatmu memberi info ini ke Maya karena kasihan?"

Tian menyadari pertanyaan Olla ada benarnya. Ia melirik tajam ke arah Rimba.

"Oi kenapa kata-katamu kasar seperti itu? Aku tahu Maya memang pendek, tapi aku tidak meremehkannya. Kau jangan asal bicara Olla!"

"Apa salahku? Aku kan hanya tanya."

Tian berdiri dan menarik baju bagian bahu Rimba dengan kasar.

"Ayo bicara."

"Oi, mau kemana? Bicara di sini apa tidak bisa?"

Namun terlanjur Rimba diseret oleh Tian kasar. Mereka bicara di sisi ruangan lain dekat loker. Sementara mereka berdua tidak ada, Maya lalu masuk dan menemui Olla yang sedang duduk seorang diri. Tentu Olla kaget karena Maya nampaknya mendengar pembicaraan mereka.

"Kak Ketua," sapanya.

'Loh? Maya?" Olla berdiri.

"Aku mau bilang sesuatu."

"Apa kau mendengar kami? Astaga, bagaimana ini?"

"Tidak apa-apa, itu tidak menyakitiku. Aku berterima kasih sama kak Rimba. Aku ke sini mau bilang kalau aku akan cuti bulan depan."

"Apa? Cuti? Tapi kenapa?"

"Aku tidak bisa menjelaskan alasan detailnya."

"Oh maaf, pasti urusan personal ya, tapi kau bilang ingin ikut kompetisi kan? Bagaimana dengan itu?"

"Aku tidak ada biayanya, Kak. Katamu menunggu dana klub cukup lama kan? Aku masih harus memikirkan hal lain."

"Maafkan aku ya, Dek Maya. Aku sungguh tidak bisa membantu apa-apa. Periodeku sebentar lagi habis, kalau aku mengajukan dana untuk hal yang belum pasti, itu akan jadi mencurigakan."

"Betul kata Kak Rimba kalau belum tentu juga aku menang kan, lawannya pasti tinggi-tinggi," Maya menunduk sedih. Olla merasa bersalah melihatnya.

Ia mendekat dan memegang bahu Maya. "Jadi kau akan cuti di semester dua nanti?"

"Iya, sampai semester ini berakhir."

"Apa itu artinya bulan depan?"

Maya mengangguk.