webnovel

Cherry

"Aduh duh… " Ian meringis sesaat..

Ia sebal seolah Elias memang sengaja melakukannya untuk membuatnya kesakitan. Ditatapnya tangan Elias yang terlihat seperti monster di bahunya. Ian kemudian menyingkirkannya pelan tapi tegas. Elias terhenyak sejenak.

"Bisakah kau memegangnya pelan-pelan?" rintih Ian.

"Kau tahu apa yang menarik dari menjadi dokter?" Elias berdiri tegak lalu menaruh kedua tangannya ke belakang.

Ian mengerutkan alisnya tak nyaman. Wajah Elias sangat tidak berperasaan. Ia seperti dokter robot yang tidak peduli pada perasaan manusia. Ian menelan ludah susah payah.

"Apa yang kau bicarakan sih?" protes Ian. "Memangnya aku peduli tentang menariknya menjadi dokter?"

"Tentu saja kau harus peduli."

"Apa?" Ian menyipitkan matanya.

"Dokter, mereka bisa menggunakan satu pisau kecil untuk menyembuhkan sekaligus membunuh di waktu yang bersamaan. Bukankah itu terdengar hemat? Karena itulah aku menyukainya. Menjadi dokter...benar-benar menarik."

Setelah mengatakannya, Elias mendekat lagi lalu mencondongkan tubuhnya. Ia mengambil sebuah suntik dan menyuntik bahu Ian. Kali ini Ian hanya diam, agak merinding dan menurut saja. Toh Elias tidak mungkin menyuntiknya mati.

"Kau tidak menyuntikku ma…mati kan?" Ian gagap. Mendengarnya membuat Elias menahan tawanya.

"Kau benar-benar percaya aku akan menyembuhkanmu, di saat aku punya kesempatan membunuhmu?"

"Arggh dokter sialan kau!" Ian mengumpat, meski begitu Elias bisa melihat wajahnya yang tiba-tiba ketakutan.

Setelah itu, Elias melangkah keluar dengan ekspresi datar seperti biasa. Ian memasang wajah tegang. Bahkan dirinya yang menganggap segala hal adalah lelucon, tetap sulit untuk terbiasa berhadapan dengan Elias. Setelah memastikan Si muka dingin itu keluar, Ian kembali menyandarkan punggungnya di bantal dan mengumpat kecil.

"Cih. Dia benar-benar wujud dari psikopat yang sesungguhnya. Sialnya dia malah seorang dokter. Apa ini serial drama?"

***

Seorang perempuan tengah duduk di antara lelaki di lounge bar mewah. Sembari mengunyah permen karet ia minum seteguk wine. Gaun merah menyalanya terbuka hingga paha, belahan dadanya jadi incaran para pria-pria yang mabuk. Bibirnya yang merah dan rambut blonde nya yang panjang seolah tengah dinikmati pelanggan VIP.

"Sayang, tuangkan minuman lagi."

Suara seorang pria berkumis yang setengah mabuk mendekatinya. Pria lain yang mengerumuninya ia usir dengan kasar. Matanya penuh nafsu hingga tak mempedulikan pelanggan lain.

"Aku yang paling kaya diantara mereka. Berapapun yang kau minta akan kuberi. Berapa hargamu?" pria itu mengelus pahanya.

Wanita itu menarik sudut bibirnya seolah mendapat tangkapan yang bagus malam ini. Ia sengaja merangsang pria mabuk kaya itu dengan duduk di atas pahanya dan menarik dasinya sambil melumat bibirnya lembut, hingga pria itu mendesah. Sedetik kemudian pria itu tertawa dan mengeluarkan unlimited black card dari dompetnya. Wanita itu tersenyum nakal dan menerima kartu itu dengan senang hati.

Drfftt drfftt...

Ponsel wanita itu bergetar di atas meja yang penuh wine dan alkohol kelas tinggi lainnya. Pria yang diajak bercumbunya tadi sedikit hilang kesadaran. Ia menggunakan kesempatan itu untuk meraih ponselnya dan keluar dari lounge. Terdengar suara tak asing dari seberang ponsel.

"Ah lihat siapa yang menghubungi lebih dulu," ledek wanita itu.

Terdengar tawa renyah seorang pria di telepon.

"Sapaan yang manis setelah lama tak berbincang," sahut pria itu. "Sayangnya aku tak punya waktu berbasa-basi."

"Kutebak kau berniat menyewa salah satu karyawanku."

"Sudah kubilang kan, aku tak punya waktu basa-basi." Wanita itu hanya menggoda pria yang selalu serius dan tidak bisa bercanda.

"Ya ya baiklah. Sekarang apa yang kau butuhkan dariku... " kata wanita itu yang berubah serius. "...Onyx."

Dia adalah Mary.

"Perempuan? Sejak kapan Dean membawa perempuan di rumah itu? Apa Elias lagi?" tanya wanita itu, Mary.

"Tidak, bukan begitu."

"Lalu? Apa ada yang membuatmu khawatir?"

"Tentang kejadian lima tahun yang lalu…" Onyx ragu mengatakannya. "Aku punya firasat yang buruk."

"Apa?! Bagaimana kau bisa mengatakan itu? Ini tidak bisa dibicarakan di telepon, kita harus bertemu."

"Aku akan mengunjungimu."

"Di bar? Tidak, tidak. Ayo bertemu di luar saja."

"Baiklah. Terserah kau."

Hingga tengah malam Dean belum kembali. Semua orang berkumpul di ruang tengah. Sano, Elias, Zen dan juga Ian yang masih membawa infusnya. Seluruh pengawal masih berjaga di depan. Semua orang terdiam saling memikirkan bagaimana selanjutnya. Ketua mereka telah menghilang beberapa jam yang lalu dan belum kembali. Semuanya dikerahkan tapi tidak ada yang bisa menemukannya, Dean maupun gadis itu, Cherry.

"Seseorang tolong katakan sesuatu? Apa kita akan terus diam saja?" Zen merengek membuat semuanya menoleh.

"Dean pasti akan kembali. Lagipula dia mau kemana?" sahut Sano yang berusaha santai, namun wajahnya kaku.

"Kalian mencemaskan hal yang tak perlu." Elias menyilangkan kedua lengannya. "Aku akan kembali ke kamar dan tidur." Elias dengan wajah dinginnya melenggang begitu saja tanpa merasa khawatir sedikit pun.

"Woy, Elias! Elias! Berhenti di situ!"

Sano bangkit dari duduknya dan menunjuk tepat di wajah Elias dengan jari telunjuknya yang mengeras. Elias terpaksa berhenti di tengah-tengah tangga. Ia menoleh ke bawah.

"Apa maksudmu dengan kembali ke kamar dan tidur?! Apa kau melawak, huh!"

"Melawak? Cih!" Elias kembali menaiki tangga menuju kamarnya dan membiarkan Sano harus menahan emosinya.

"Elias sudah gila dan Onyx bahkan belum kembali. Arghhhh!" Sano menjatuhkan dirinya di sofa sembari mengacak rambut frustasi.

"Oh! Kau benar! Kenapa aku baru menyadari kalau dia (Onyx) tidak ada?" Ian heran sendiri.

"Seperti biasa, dia pasti menyelidiki sesuatu seperti Sherlock Holmes."

Setelah mendapatkan telepon dari Onyx, Mary bersiap keluar dari barnya dengan tergesa. Ia memakai mantel dan merapikan rambutnya. Namun seorang pramusaji perempuan menghampirinya dengan panik, dia adalah Maya.

Flashback End

Kembali ke saat Maya mendapati gadis aneh yang ingin menjual dirinya di depan bar. Ternyata dia adalah Cherry yang tengah melarikan diri. Maya kemudian segera melaporkannya kepada Mary. Namun belum sampai beberapa saat ia pergi, tiba-tiba seorang pria tinggi dan mabuk merangkul bahu Cherry dan membawanya ke kamar. Karena hanya melintas, Maya tidak bisa melihat wajah pria itu, namun dia tahu gadis yang dibawanya adalah gadis yang tadi di depan. Maya makin panik. Ia lalu berlari ke ruangan Mary.

"Nyonya, di luar ada perempuan aneh," kata Maya.

"Aneh bagaimana?"

"Dia basah kuyup dan terlihat seperti masih di bawah umur. Saat aku bertanya dia terus menjawab ingin menjual dirinya. Aku sudah mengusirnya namun tiba-tiba pengunjung VVIP yang mabuk tidak sengaja lewat.

"Lalu?"

"Seperti tamu itu membawanya ke kamar. Bagaimana ini?"

"Pastikan usianya dulu, jika aman biarkan saja."

"T..tapi Nyonya…"

"Aku ada urusan penting. Nanti kita bahas lagi. Pastikan kau mengurusnya."

Setelah menata rambut dan riasannya Mary melewati Maya begitu saja lalu keluar dan melenggang pergi. Maya semakin panik.