"Maaf, tadi Bapak bicara apa sama saya?" Dirman ingin menguji, apakah telinganya mampu membedakan fantasi dengan kenyataan, dan apakah Pak Dewanto betul-betul penunggu buku gaib yang dijuduli Fate Grant Order itu.
"Oh? Tadi aku ada bicara? Tapi aku gak ingat bicara apa, Man. Anggaplah itu melindur, mungkin bawaan ngantuk, ya, siang-siang begini." Pak Dewan menyahut kalem, lalu menutupi mulutnya yang menguap dengan kedua tangannya.
"Berarti saya salah dengar kali ya, Pak." Dirman menjawab agak ragu-ragu.
Salah dengar ataupun bukan, Dirman terlanjur tersentil perkataan Pak Dewan. Kamu merasa nasibmu akan membaik setelah kesempatan kedua itu? Ya, itu inti yang ingin Dirman tanyakan pada nasibnya sendiri. Kesempatan kedua bisakah memperbaiki keadaan atau justru membuatnya jadi lebih buruk? Setidaknya dengan menolong Izinuddin, kakaknya dari kematian dini, Dirman menambah berat bebannya, terutama soal utang budinya pada sang bibi bidan.
Semestinya bibinya sudah pensiun dengan tenang bila bukan perawatan Izinuddin jadi beban tanggung jawabnya. Jangan-jangan penyakit ALS atau sklerosis lateral amiotrofik yang merundung bibinya bersumber dari tekanan batin, seperti ajaran seorang pemuka agama, bahwa kesedihan dan kecemasan bisa melukai paru-paru dan organ-organ vital lainnya. Intinya penyakit fisik sumbernya tak melulu dari ragawi, keseimbangan mental juga memainkan peran penting.
Trik-trik matematika mudah dipelajari, tapi bagaimana dengan kiat-kiat hidup? Bila bukan karena segan, Dirman pasti sudah menanyakan poin penting itu. Pak, bagaimana mensyukuri hidup agar kita tidak merasa takdir kurang adil terhadap kita? Mempersalahkan nasib adalah cara Dirman menghibur diri, bahwa kegagalannya bukan disebabkan kesalahan atau kebodohannya. Semua gara-gara takdir yang tak berpihak, maka insan miskin seperti Dirman ditakdirkan terpuruk sepanjang hidupnya.
"Aku dulu juga miskin, Man. Cuma anak gembala kambing. Modalku baju di badan sama otak lumayan encer doang. Semua orang bilang, masa depanku paling jadi pengangon kambing. Nyatanya lihat aku jadi apa sekarang?" Pak Dewan lagi-lagi sukses membaca pikiran Dirman secara lantang.
"Bapak beruntung bisa jadi kepsek seperti sekarang."
"Salah. Aku beruntung karena tidak menyerah pada nasib. Juga tak pernah menolak rencana-Nya, termasuk kemalangan dan nahas sekalipun."
Lalu buku itu bagaimana, Pak? Dirman mengubur keraguannya dalam hati. Bagaimana bisa ia jujur bila buku itu diam-diam diselundupkannya dari ruang kepsek? Tak ada pencuri yang mau mengakui ia mencuri, kan?
"Bagaimana kabar kakakmu, Man?" Pak Dewan menyambar tiba-tiba.
Ternyata Pak Dewan tahu kakaknya Izinuddin masih hidup? Dirman takut-takut mengerling pada kepsek yang menyeringai tipis. Ekspresinya tak kentara, antara bersimpati atau meremehkan, antara curiga atau sekadar memastikan praduga. Belum sempat Dirman membuka mulut, omongan si bapak kelimis melegakan hatinya. "Seminggu yang lalu kamu sempat izin, kan, karena kakakmu demam ringan?"
Oh, begitu rupanya. Jadi sebelumnya Pak Dewan sudah tahu soal kakaknya yang sakit karena ia minta cuti. Dirman mengendurkan kepalan tangannya seketika. "Baik, Pak. Keadaannya stabil, Pak."
"Seharusnya aku punya kakak. Seperti kamu dan kakakmu, kami selisih dua tahun, Man. Sayang ia jatuh dari motor kala usianya delapan tahun. Seandainya dikasih kesempatan lagi, apa aku semestinya menolong kakakku supaya gak jadi anak tunggal kesepian?"
Seusai istirahat siang, Dirman bekerja antara sadar tak sadar. Raganya bekerja mengepel lantai, tetapi jiwanya melayang-layang, gara-gara pertanyaan Pak Dewan yang tak bisa dijawabnya. Kok bisa Pak Dewan senasib dengannya, punya penyesalan soal kematian kakak kandung. Juga sama-sama anak tunggal sejak kematian kakak mereka, bedanya Dirman berhasil "menghidupkan" lagi saudara satu-satunya itu.
Bagaimana kalau buku terkutuk itu diserahkan pada pak kepsek selaku pemiliknya? Mengingat buku itu diambil Dirman dari ruang kepala sekolah, pastilah pemiliknya Pak Dewanto Imantara yang misterius pembawaannya. Hanya saja, mengembalikan barang curian tak segampang yang kamu kira. Diletakkan di tempatnya semula sepertinya solusi yang terbaik, tapi apa mungkin sesederhana itu perkaranya?
Sewaktu SD dulu, Dirman pernah mencuri uang. Tidak banyak, sebetulnya ia cuma melampiaskan kesal pada teman sekelas yang sok kaya dan meremehkan teman-teman yang tak berpunya. Wali kelas mereka mencoba bijaksana, mengultimatum pelaku pencurian untuk menyerahkan uang curian ke dalam laci meja guru sebelum pukul 12 siang. Pelakunya akan dimaafkan asal uang itu kembali.
Dengan polosnya, Dirman menuruti anjuran gurunya. Uang sebesar sepuluh ribu itu diselipkannya dalam laci meja guru di kelasnya. Rupanya itu jebakan mematikan. Dirman tertangkap basah, atau tepatnya tertangkap tangan dan ditetapkan sebagai pelaku pencurian. Janji sang guru tinggallah janji belaka, karena Dirman yang berupaya jujur malah dipermalukan habis-habisan.
Sekarang, dengan situasi yang mirip, masakan Dirman mau terjebak sekali lagi dan dinista kejujurannya sendiri? Firasatnya berucap, jangan serahkan buku itu, karena kamu bakal termakan oleh perangkap usang.
Jujur bukan berarti mujur. Namun jadi orang jujur masih lebih barokah daripada dicap manusia lancung.