Hari yang cerah kembali datang di pagi ini. Aku memulai hari yang baru dengan semangat baru dan tubuh yang lebih baik dari kemarin. Dan aku berniat akan masuk kerja lagi besok lusa karena hari ini aku harus mengerjakan tugas dari Bu Dona.
Waktu kuliah telah berjalan. Aku duduk sambil mendengarkan materi yang disampaikan Bu Dona dengan seksama. Seperti biasa, Fita selalu duduk bersebelahan denganku. Saat pelajaran berlangsung terkadang ia membalas chat dari Fito dan malah asik bermain handphone. Dan aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelakuan sahabatku ini.
Waktu kuliah telah berakhir. Sekarang aku dan Fita berada di kantin untuk makan siang. Seperti biasa Fito juga datang berkumpul bersama kami.
Saat itu aku juga membawa laptop dan berniat mengetik materi yang diperintahkan dari Bu Dona secepatnya. Sedangkan Fita dan Fito sedang bermesraan sambil bercanda yang menurutku sangat tidak berfaedah. Dan terkadang aku juga tertawa keras kala candaan mereka membuatku merasa geli.
Suara dering handphone ku berdering di dalam tas. Aku segera membukanya dan ternyata itu telpon dari Revan.
"hallo" sapaku membuka percakapan
"lo dimana?" tanya nya di kajauhan sana yang masih dengan suara dingin nya.
"di kantin."
"ya udah gue kesana? "
"hah? Ngapain? "
"lo lagi ngerjain tugas itu kan? "
"iya sih, gue baru aja bikin slide nya. "
"ya udah, gue kesana"
"gak usah. Gue aja ke sana. Lo dimana? "
"di parkiran"
"ohh oke."
Aku segera menuju ke tempat dimana Revan sekarang. Fita sempat bertanya kala aku pergi, tapi aku tak menjawabnya.
Aku melihat Revan sedang bersam wanita yang pernah aku dan Fita bicarakan bernama Adila. Sepertinya mereka saling mengenal dan sedang membicarakan hal penting sehingga aku menghentikan langkahku dan memilih untuk menunggu.
Revan dan Adila berbicara dengan sangat serius. Lebih tepatnya Adila yang berbicara serius dengan Revan, sementara Revan seperti biasa malah terlihat cuek dan jutek dan bersikap tenang sambil melihat handphone nya dengan wajah watados alias wajah tanpa dosa.
Saat aku sedang memperhatikan mereka tiba-tiba ada pesan masuk di handphone.
From: Revan
Lo dimana sekarang?
Revan memberi pesan padaku. Dan tanpa sengaja Revan melihat ke belakang dab melihatku. Dia langsung menghampiriku, menarik tanganku, dan menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Aku sempat ragu, karena pasalnya wanita itu masih berada di sana dengan wajah kesalnya ditambah lagi dengan kehadiranku yang menambah rasa kesal dan amarahnya.
Seperti biasa di mobil tak ada percakapan. Hanya ada suara musik dan lantunan lagu sebagai penghiasnya. Aku juga tak tahu kemana Revan akan membawaku. Tapi tak lama kemudian, mobil hitam ini terparkir di depan rumah bercat biru yang pernah ku kunjungi waktu mengantar pesenan Fita. Yah. Itu rumah Revan.
Dia menyuruhku keluar mobil dan mengajaku masuk ke dalam rumahnya. Dia menyuruhku duduk di kursi sebentar sementara dirinya pergi entah kemana.
Saat itu, aku melihat-lihat sekeliling ruangan yang cukup megah itu. Dan dibelakangku ada sebuah Foto yang membuatku makin penasaran.
Di dalam foto itu ada dua orang anak laki-laki yang sedang bergandengan tangan. Apa itu Revan? Tapi siapa yang satunya? Apa revan punya saudara? Pikiranku di penuhi dengan pertanyaan itu.
Tak lama kemudian, Revan turun dari tangga dengan membawa laptop. Kami pun duduk berdampingan di depan sebuah meja. Kala itu, seorang paruh baya membawakan teh dan beberapa cemilan.
Dan dengan segera aku membuka laptop kala Revan telah membuka laptopnya. Ia menjelaskan terlebih dahulu padaku materi-materi yang harus ku masukan dalam power point ini karena materi yang cukup banyak.
Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan Revan kemudian mulai mengetik sedikit demi sedikit. Revan juga sedang mengerjakan sesuatu yang entah apa di dalam laptopnya.
Sesekali aku melihat ke arahnya, dan dia terlihat sangat serius mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku pun segera melanjutkan pekerjaanku.
"lo udah sehat? " ucap Revan yang tanpa kusadari sedang memperhatikanku.
"udah mendingan kok" jawabku yang masih fokus mengetik materi di dalam laptop.
Dia hanya menganggukan kepala kemudian beranjak dari duduknya dan pergi entah kemana. Tak lama kemudian, dia datang lagi dengan membawakan makanan, namun aku tak menyadarinya karena terlalu fokus pada laptop.
Revan menawarkan makanan padaku sehingga membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya dan diam sejenak karena tak percaya.
"nihh makan" ucap Revan sambil memberikan sepiring nasi lengkap dengan lauknya
"nanti aja. Nanggung sedikit lagi" jawabku yang tetap terfokus pada laptop
Revan hanya terdiam. Kemudian dia menutup laptopku secara tiba-tiba sehingga membuatku kaget.
"gue kan udah bilang. Kesehatan lo lebih penting. Makan dulu" ucap Revan dengan perhatiannya walaupun masih dengan sikap dinginnya.
Aku terdiam sejenak. Kemudian mengambil makanan yang diberikan Revan dengan ragu. Dan mencoba memakan nya sedikit demi sedikit.
"sejak kapan lo kerja di resto itu? " tanya Revan ketika aku sedang makan
"sejak gue kuliah" jawabku sambil mengunyah makanan di mulutku
"sampe malem?" tanya Revan lagi
"enggak, biasanya gue lembur dua kali dalam seminggu"
"kenapa? "
"apa? "
"kenapa harus kerja?"
Suapanku berhenti sejenak, kemudian melihat Revan yang kini juga sedang melihatku. Aku menarik napas panjang kemudian tersenyum ke arahnya. " karena gue harus kuliah" ucapku kemudian melanjutkan melahap makananku.
Revan tersenyum kepadaku kemudian ia melanjutkan kegiatannya.
Aku dan Revan cukup lama mengerjakan pekerjaan masing-masing. Tanpa kami sadari waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku masih fokus pada tugasku begitu pun dengan Revan.
Namun, tak lama setelah Revan menghentikan pekerjaannya, dia mengajakku untuk keluar mencari angin. Aku tak menolak karena aku pun ingin keluar untuk sekedar menenangkan pikiran.
Kami berjalan bersama sambil menikmati aromanis yang kami beli di pinggir jalan.
"gue gak nyangka lo suka makanan kayak gini? " tanya ku ketika berjalan berdampingan dengan Revan sambil memakan aromanis
"kenapa emang? " tanya nya yang juga sibuk makan.
"ya enggak, aneh aja gitu"
"gue suka makanan manis" ucapnya membuatku kaget sambil melihat ke arahnya
"ohh yah? " tanya ku tak percaya
"iya"
"kenapa? " tanyaku penasaran
"karena bisa ngilangin stress "
"stress? Gue kira lo orang nya gak terlalu banyak masalah" ucapku sambil memakan lagi aromanis
Revan tersenyum ke arahku sekarang. Kemudian kami terdiam sejenak.
"menurut lo, gue orangnya kayak gimana? " tanya Revan
"maksud lo?" tanya ku seakan tak mengerti
"ya menurut lo gue kayak gimana? "
"eumm.. Lo baik kok" jawabku sambil sedikit berpikir
"cuma itu doang? " tanya Revan lagi
"sebenarnya sih... Waktu pertama ketemu lo ituh orangnya cuek, jutek, dan dinginnn banget. Dan di kelas pun lo kelihatan banget orang yang dinginnnya sedingin es" jawabku yang membuat Revan sedikit menyiratkan tawanya.
"ohh yah? " ucap Revan kemudian
"iyah, tapi itu pikiran gue karena gue gak tahu banyak tentang lo. Dan sekarang gue jadi tahu kalau lo orang yang baik dan juga peduli sama semua orang" jawabku sambil menyimpulkan senyumanku ke arahnya begitupun dengan dia yang sekarang mulai ramah terhadapku mungkin karena kita sudah saling dekat.
" tapi gue boleh nanya gak sih? " tanyaku pada Revan
"apa? "
"kenapa sih lo harus bersikap sedingin es? " tanyaku yang seketika membuat Revan tertawa. Dan untuk aku melihat dia tertawa dengan bahagianya.
"hahaha.. Emang gue sedingin itu ya? " tanya nya tak percaya
Aku menganggukkan kepala mengiyakan.
"jadi menurut lo gue harus kayak gimana? " tanya nya kemudian
"ya gak gimana-mana sih. Cuman lo tahu gak, semua cewek selalu aja ngomongin lo" jawabku
"gue tahu kok"
"ngomongin apa? " tanyaku mencoba mengetes
"gue ganteng. Iya kan? " jawab Revan dengan pedenya
Aku tertawa keras saat Revan mengatakan itu.
"lo pede banget sih" ucapku kemudian
"ya iyalah"
Obrolan kami cukup panjang malam itu. Obrolan tentang aku dan juga Revan. Sekarang aku jadi tahu, Revan adalah orang yang cukup menyenangkan. Tak kenal maka tak tahu, itu yang kurasakan kala mengenal Revan. Di luar dia memang terlihat dingin, tapi saat mengenalnya dia adalah orang yang cukup hangat dan juga peduli.
Aku pun merasa kami mulai dekat. Dan dia bukan orang yanh secuek itu.