webnovel

Exs Husband

Pernikahan antara Yuna dan Ervan sebelumnya tidak pernah sejalan. Kehidupan serta cara pemikiran keduanya sering kali bertolak belakang. Bahkan, ikatan yang berasal dari kesalahan itu tidak dapat bertahan lama. Sehingga perpisahan seolah menjadi jalan terbaik. Namun, Ervan yang hampir menyerah dari mencari Yuna kembali seperti mendapatkan titik terang. Tatkala wanita itu datang dengan sendirinya. Ervan yang ingin menghindari adanya perjodohan merasa terselamatkan dan menjadikan Yuna sebagai alasan. Terlebih, dengan adanya Vicky, sang putra yang tidak pernah ia ketahui kehadirannya. Akankah, Yuna menerima kembali sang mantan suami yang paling ia benci selama ini? A Story by: Araakim17

araa_kim17 · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
1 Chs

Bab Satu

Kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan dan takdir begitu menunjukkan sinkronisasi untuk mempertemukan dan menyatukan sepasang laki-laki dan wanita.

Entah itu berawal dari kesalahan sekali pun. Hingga menyadari bahwa itu telah menimbulkan konsekuensi kelewat berlebihan dengan adanya pernikahan tanpa adanya perasaan.

Lalu berujung pertikaian tak berkesudahan lengkap dengan jemari saling menunjuk demi menuding satu sama lain. Siapa yang salah di antara keduanya?

Hingga akhirnya sebuah kesepakatan demi sebuah pengakhiran. Dan tentu saja, ini tentang perpisahan.

.

Empat tahun berlalu. Pria dengan setelan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam itu melemparkan jas-nya ke atas sofa.

Tangannya terangkat memijit kening yang terasa kian pening. Memikirkan tentang pertemuan keluarga yang ingin ia hindari.

Hingga ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Memunculkan sosok wanita berbusana rapi menghadapnya penuh sopan.

"Ada apa, Selena?" tanyanya pada sang sekretaris.

"Ada yang ingin bertemu dengan anda, Pak." sahutnya.

Si pria dengan rahang penuh ketegasan itu menaikkan alis kanannya. "Siapa?"

"Pelamar kerja,"

"Bukannya semua sudah selesai?"

"Maaf, Pak. Tetapi dia cukup mendesak saya dan meminta agar memberi kesempatan,"

"Oke, biar kan dia masuk." timpal laki-laki berkaca mata berlensa tebal itu akhirnya menyerah.

.

Suara derap langkah kaki memasuki ruangan terdengar ragu. Bahkan sang pemilik raga bertopangkan sepatu high heels itu tampak mengeratkan berkas yang ia dekap.

Wanita itu tampak meliarkan pandangan dengan tatapan kelewat heran sebab di dalam ruangan yang ia pijaki tidak terdapat satu orang pun.

Hingga kucuran air dari dalam toilet jelas mengundang kelegaan bercampur gelisah karena sang pemilik perkantoran dengan lantai keseluruhan mencapai lima belas tingkatan ini segera memunculkan diri.

Ia semakin menundukkan kepala karena resah kian menjalar hingga keringat muncul dari pelipis pun telapak tangan.

"Ah, maaf membuat menunggu. Aku habis dari toilet terlebih dahulu." ucapnya. "Silakan duduk Nona." sambungnya.

Namun, perempuan dengan rambut rapi terikat itu merasa tidak asing dengan suara yang baru saja menyapa dirinya.

Dengan niat ingin memastikan. Wanita dalam balutan rok sebatas lutut dipadu tunik biru muda itu menaikkan pandangan.

Sampai-sampai mulutnya sedikit menganga ketika retinanya menangkap sosok yang tentu saja sangat ia kenali.

"Kau," pekiknya cukup kencang. Itu tentu saja membuat sang pria langsung mendongakkan wajah akibat terkejut.

"Yuna," gumamnya dengan tanpa sadar bibirnya melengkung menyambut senyum. Pun dengar mata terlihat bahagia.

Akan tetapi, reaksi seperti itu tentu saja tidak ditunjukkan oleh perempuan yang sampai detik ini masih terperangah tak percaya. Hingga kesadaran menariknya secara sempurna.

"Ah, aku salah tempat rupanya." ucapnya lantas langsung berbalik dan melangkah cepat menuju pintu.

Sayang, tangan yang sudah hampir menyentuh gagang dari bentang kayu itu terhalang oleh tubuh gagah nan atletis dari sang pemilik ruang.

"Menyingkir dari sana, Brengsek." Jeritnya lagi yang tentu saja ini dua kali lebih keras dari pekikan pertama. Bahkan bisa saja, pegawai yang berada di luar ruangannya bisa mendengar umpatan kelewat kasar itu.

"Tenanglah, aku tidak akan menggigitmu. Cobalah duduk sebentar, kita kan sudah lama tidak bertemu." ajaknya tanpa ragu.

"Ck! Dalam mimpimu," desisnya lengkap dengan tatapan galak.

"Ayolah Yuna,"

"Apa kau tuli Ervan!" Perempuan bernama Yuna Anggita itu lagi-lagi tak ragu terus mengeluarkan kalimat yang seharusnya memang tidak pantas diucapkan. Apalagi ia sedang berada di tempat umum.

"Aku tidak akan menyingkir sebelum kau duduk terlebih dahulu,"

"Apa aku harus menginjak kakimu dengan sepatuku agar kau mengerti?" ancamnya.

Akan tetapi, laki-laki bersurai hitam legam itu tentu saja sangat mengabaikan ocehan wanita yang selama ini ia cari. Bahkan tanpa ragu, tangannya terangkat untuk meraih raga Yuna dan memangkunya hingga tubuh yang sekarang sedang meronta itu duduk di atas sofa.

"Lepas,"

"Tidak,"

"Memang apa maumu?"

" Menikah lagi denganku,"

"Dasar gila!"

"Ya, sepertinya aku memang sudah gila akibat terlalu lama mencarimu dan ternyata kau datang dengan membawa kewarasanku," paparnya panjang lebar.

Yuna merasa ingin mencakar dinding sekarang. Kenapa Dewi Fortuna bukannya membawa keberuntungan, tapi malah menjerumuskan dirinya ke dalam musibah.

"Dengar aku harus pergi dan mencari pekerjaan." ucap Yuna, tegas.

"Kau bisa bekerja di sini atau bahkan kau tidak perlu bekerja. Aku akan menafkahimu lahir dan batin." oceh Ervan terdengar memuakkan untuk Yuna.

"Hentikan ocehanmu,"

"Aku sedang tidak mengoceh, Yuna. Aku serius. Oh, Tuhan terima kasih telah membawa wanita ini kembali ke pangkuan," celetuk Ervan dengan senyum semringah.

Merasakan telinganya begitu pengar dan tidak tahan. Yuna melirik pada cangkir berisi cairan kecokelatan di atas meja. Meski tahu ini sangat keterlaluan, tetapi Yuna merasa tidak memiliki pilihan, kecuali mengangkat cangkir itu tanpa permisi ia menyiramkannya pada pria yang baginya sampai kapanpun akan tetap menyebalkan.

"Astaga, Yuna apa yang kau lakukan?"

"Tentu saja pergi darimu," ucap Yuna sedikit mendorong tubuh Ervan dan segera berlari dari sana.

"Aku tidak mau tahu, kita harus tetap menikah lagi!" Laung Ervan meski wajahnya dipenuhi cairan kopi.

.

Yuna melempar berkas surat lamaran kerja yang ia bawa ke atas meja. Wajahnya sudah pun memerah sejak keluar dari ruang kerja Ervan yang tidak lain adalah bekas suaminya.

Pikirannya sama sekali tidak menangkap kebodohan apa yang sedang terjadi saat ini padanya. Kenapa tidak menyadari bahwa ada gambar Ervan terpampang begitu besar menggantung di atas dinding?

Namun, selang di detik selanjutnya rasa pening berangsur membaik saat indera rungunya mendengar sebuah sambutan dari ruang lain.

"Ibu."

.

Bersambung ....