Jeni menguburkan wajahnya diatas bantal. Sejujurnya gadis itu amat sangat menyesali perkataannya pada Unaya tadi. Meski memang apa yang ia katakan sesuai dengan isi hatinya namun, tidak disangka akan kelepasan seperti ini. Jeni lupa kalau kakaknya tukang overthinking, dan ia baru ingat jika mental tiap orang berbeda. Kalau ia ada di posisi Unaya mungkin ia akan melupakan perkataannya tadi dan menganggapnya angin lalu. Tapi masalahnya Unaya bukan orang yang seperti itu. Kendati terlihat cuek dan tidak peduli, namun Jeni sangat yakin kalau pikiran kakaknya sudah bercabang kemana-mana.
"Bodoh! Kok bisa sih gue lupa kalau menjatuhkan mental seseorang itu sangat mudah, cukup dengan kata-kata". Jeni memukul-mukul kepalanya sendiri dengan tangan. Rasa marahnya pada Unaya menguar begitu saja dan tergantikan dengan perasaan khawatir. Unaya pasti lebih tersakiti daripada dirinya. Belum lagi akhir-akhir ini gadis itu banyak mengalami kejadian tak terduga, bahkan belum sempat menyelesaikannya. Dan sekarang Jeni justru menambah beban kakaknya sendiri.
"Harusnya gue kasih support ke Kak Una, bukan nambah bebannya. Kayaknya yang pantas disebut beban hidup tuh gue deh". Gerutu Jeni.
"Gak ada gunanya salahin diri sendiri, minta maaf sana". Jeni sontak menatap kearah pintu. Dilihatnya sosok Jun yang berdiri disana.
"Om Papa? Sejak kapan ada disitu?". Tanyanya dengan mata membulat.
"Sejak kamu bilang menjatuhkan mental seseorang itu mudah, yaitu dengan kata-kata. Gak nyangka nih Om Papa kalau Jeni si mode silent begitu puitis". Ledek Jun yang kini beringsut mendekati Jeni. Jeni manyun, gadis itu kesal karena diledek namun dengan manjanya minta dipeluk.
"Ihhh... Om Papa nyebelin banget. Tapi Om seriusan deh pasti Kak Una terluka banget kan sama kata-kata aku tadi?". Jeni mendongak untuk menatap Jun yang tengah berfikir.
"Mungkin sih. Tapi mungkin juga kata-kata kamu tadi dipakai Unaya buat introspeksi diri. Akhir-akhir ini dia kalau bertindak gak pakai mikir panjang dulu. Akibatnya orang lain yang kena imbasnya. Contoh aja nih, hiks... Bisnis Om yang bau-baunya bakal hancur". Curhat Jun sembari menunjukan pesan dari client-nya.
"Semua client batalin kerjasama. Bayaran yang udah ditransfer minta di balikin. Padahal uangnya udah Om pakai buat gaji karyawan". Lanjutnya dengan lesu. Jeni prihatin dengan nasib calon papanya itu. Ya ampun kasihan banget ngerekrut Unaya sebagai artis di agensinya ternyata tidak sesuai ekspektasi.
"Sabar ya Om Papa. Jeni yakin kok pasti Om dapet ganti yang lebih". Hibur Jeni.
"Gak apa-apa kok. Namanya juga terjun di dunia bisnis, rugi itu wajar. Yang penting Unaya bisa selesaiin masalahnya dulu. Dan kamu harus minta maaf, masa saudara berselisih kayak gitu". Nasehat Jun yang langsung diangguki Jeni.
"Iya Om, Jeni paham kok. Jeni pasti minta maaf. Kalau sekarang minta maafnya, gak tepat kan ya timingnya? Kak Una pasti butuh waktu sendiri dulu". Jun menyetujui perkataan Jeni. Tadinya ia hendak menasehati Jeni untuk tidak berburuk sangka pada Unaya, tapi ternyata gadis itu sudah menyadari kesalahannya. Jun bangga pada Jeni, meski masih kecil namun gadis itu sudah mampu berfikir dewasa.
***
Unaya menggenggam erat ponselnya, sedari tadi Guan mengirimkan pesan yang membuat hatinya goyah. Bahkan gadis itu sampai tidak bisa tidur karena memikirkannya. Wajah Unaya kusut menunjukkan kegelisahan, segalanya terlihat jelas sekarang. Sepertinya ia memang menyerah pada keyakinannya. Gadis itu menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, setetes air mata terjatuh karenanya.
"Sedari awal emang harusnya kita gak ketemu lagi, Jek. Ternyata gue belum cukup berani buat melawan restu. Gue masih labil, dan lagi-lagi lo yang tersakiti". Isak Unaya. Gadis itu melepaskan cincin pemberian Jeka dan ia letakkan diatas nakas. Unaya merasa tidak pantas memakainya, Jeka berhak mendapatkan gadis yang mampu menghargai kasih sayangnya. Tidak seperti dirinya yang penakut, menyambut kasih sayang tulus dari pemuda itu saja tidak berani. Unaya menatap kearah jam yang menunjukan pukul tiga dini hari. Setelah menghapus air matanya kasar, gadis itu menghubungi seseorang.
"Ayo kita bicara. Aku kesana sekarang".
"...".
"Gak usah, aku bisa sendiri". Unaya berujar dingin. Gadis itu kemudian menutup teleponnya. Tanpa berdandan dan berganti dengan pakaian yang lebih pantas, gadis itu bergegas menuju satu lokasi. Yaitu rumah Guan.
Di dalam taksi, Unaya terdiam dengan pikiran berkelana kemana-mana. Ia tatap pemandangan diluar jendela taksi dengan hampa. Berat rasanya pergi meninggalkan malaikatnya hanya demi iblis. Namun tidak ada pilihan lain, ia tidak ingin papanya menjadi korban atas keegoisannya. Toh sedari awal Papanya juga tidak memberikan restu untuk berhubungan dengan Jeka. Rasa-rasanya Unaya paham kenapa hubungannya dengan Jeka terasa berat dijalani, itu karena tidak ada restu didalamnya.
Apa gunanya menjalani hubungan kalau rasanya seperti di kutuk? Lebih baik ia merasakan kutukan itu sendiri daripada Jeka yang tidak bersalah ikut merasakannya. Unaya sekuat tenaga menahan tangisnya tapi ternyata tidak bisa. Akhirnya gadis itu terisak dengan sangat pilu hingga sopir taksi kasihan melihatnya. Mau bertanya kenapa menangis, namun rasanya terlalu lancang. Hingga yang bisa sopir itu lakukan hanyalah memberikan selembar tisu untuk Unaya.
"Makasih Pak". Ujar Unaya dengan suara serak. Gadis itu menghapus air matanya dan terus menatap kesamping karena malu menangis didepan orang asing.
"Menangis bukan berarti lemah, juga bukan sesuatu yang memalukan. Jika menangis bisa membuat perasaan membaik, maka lakukanlah". Kata sopir taksi bernama Teguh itu. Unaya tersenyum kecil, agak geli karena baru kali ini menemukan sopir taksi yang puitis.
***
Keesokan paginya, ralat Subuh. Jeka hendak mengecek kondisi Unaya di kamar namun kaget karena gadis itu tidak ada ditempat. Ia sempat mengecek di kamar mandi namun gadis itu juga tidak ada. Panik tentu saja, namun Jeka berusaha rileks. Pemuda itu meletakan nampan yang diatasnya terdapat air dan Vitamin untuk Unaya. Namun begitu melihat cincin yang ia ketahui siapa pemiliknya, Jeka meneteskan air matanya. Rasa kehilangan dan luka yang pernah ia alami seakan kembali datang. Ini tidak asing dan Jeka lemas dibuatnya.
"Segitu gak maunya kah kamu sama aku, Na?". Gumam pemuda itu sok kuat. Tangannya yang lemas merogoh saku celananya dan mencoba menghubungi Unaya. Sayang nomor Unaya tidak aktif. Kenapa Unaya selalu pergi tiba-tiba? Setelah memberi harapan kemudian menghilang. Tak ada bedanya dengan indahnya pelangi yang hanya sementara, menemani langit kemudian hilang secara tiba-tiba. Apa susahnya berpamitan? Meskipun pada akhirnya Jeka juga tidak akan bisa merelakan Unaya meski gadis itu mengucapkan kata selamat tinggal.
"Aku gak akan nyerah kalau bukan kamu yang minta". Jeka menggenggam erat-erat cincin Unaya. Pemuda itu bertekad akan membawa Unaya kembali. Atau setidaknya mengejar kepastian, Jeka tidak suka digantung.
"Jae, gue pinjem pistol bokap lo". Ujar Jeka kaku. Ia hubungi Jaerot tanpa pikir panjang, hendak bertindak sesuai nalurinya seperti saat masih SMA dulu. Biarpun dulu ia nekat, tapi berkat kenekatan itu ia selalu berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
***
Unaya masuk kedalam rumah Guan tanpa ragu meski ia tahu, sekali masuk kedalam sana ia tidak akan bisa keluar. Unaya sudah jatuh, biarkan terjebak sekalian. Toh ia juga sudah tidak punya tujuan hidup. Pekerjaannya sekarang hanyalah melayani obsesi Guan. Ia akan menjadi patung manekin pajangan milik Guan. Berpose dan bergaya untuk memuaskan pemiliknya. Tidak masalah, asalkan pemuda itu tidak menyakiti orang-orang yang ia sayangi.
Gadis itu langsung disambut oleh para maid, ia mengibaskan tangannya dan tidak mau disentuh oleh maid-maid itu. Tujuannya hanya satu, bertemu Guan dan menanyakan apa maunya pemuda itu. Tanpa sopan santun dibukanya pintu ruangan yang Unaya yakini adalah kamar Guan.
"Nona... Jangan...".
"Wow. Welcome back my baby Unaya...". Sambut Guan penuh suka cita. Pemuda itu hendak memeluknya namun Unaya mundur selangkah.
"Langsung aja. Apa mau kamu? Apa yang harus aku lakukan untuk membebaskan Papa?". Teriak Unaya.
"Astaga santai saja Beb. Kenapa kamu jadi kasar begini, heum...".
"JANGAN SENTUH AKU!". Teriak Unaya semakin menjadi. Gadis itu sungguh jijik dan enggan tangan kotor Guan menyentuhnya. Karena Unaya seakan menantangnya, maka Guan pun terpaksa menunjukkan sifat aslinya. Pemuda itu meremat lengan Unaya kasar dan menatap gadis didepannya tajam. Sungguh mengerikan, tapi Unaya tidak takut. Gadis itu justru menatap Guan tak kalah tajam.
"Kamu berani teriak didepan ku? Akhirnya kamu balik lagi kan ke pelukanku? Kamu itu gak bisa apa-apa tanpa aku Unaya. Apa yang bisa kamu harapkan dari cowok gak jelas kayak Jeka? Bahkan dia gak bisa diandalkan dalam situasi kayak gini". Kata Guan remeh. Unaya tidak suka dengan penilaian Guan terhadap Jeka.
"Jangan bandingkan Jeka sama kamu. Dia jauh lebih baik ketimbang mulut sampah kamu". Desis Unaya.
Plak!!
Guan menampar pipi Unaya hingga gadis itu jatuh dilantai. Bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Para maid yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka kasihan pada Unaya namun tidak berani menentang majikan mereka.
"Mulut kamu yang seperti sampah! Tutup mulut kamu atau papa kamu akan lebih menderita". Ancam Guan. Unaya mendongak kemudian menatap bengis kearah Guan. Dasar lelaki pengecut, bisanya cuma ngancem.
"Tepati janji kamu, bebasin Papa. Aku udah lepasin semuanya dan dateng ke neraka ini". Desis Unaya. Guan tersenyum puas, pemuda itu berdiri dengan pongah.
"Okay. Welcome to the hell Unaya...". Guan berjongkok kemudian mengusap-usap rambut Unaya.
"Kalian semua urusi dia. Jangan sampai kabur atau dibawa kabur. Kurung dikamar ini, saya harus bekerja". Perintah Guan sebelum keluar dari kamarnya. Para maid itu menuruti perintah tuannya, mereka membantu Unaya berdiri kemudian salah satu dari mereka membisikkan sesuatu.
"Harusnya nona tidak datang ketempat ini. Harusnya nona pergi sejauh mungkin sampai tuan muda tidak bisa menemukan nona".
***
"Bos, lo mau ngapain sih sampai minjem pistol bapak gue? Kalo gak karena permintaan lo, gak berani gue ngambil tanpa ijin gitu". Tanya Jaerot. Jeka tersenyum kecil sembari menatap pistol yang ada ditangannya. Pemuda yang kini mengenakan baju serba hitam dan juga topi itu menarik keatas masker yang ia kenakan.

"Lo santai aja. Kalo ada apa-apa gue yang tanggungjawab". Kata Jeka sambil menepuk pundak Jaerot. Pemuda itu hendak pergi namun dicegah oleh Jaerot.
"Butuh bantuan? Kalo ada apa-apa bilang aja Bos". Jeka menunduk. Pemuda itu ingin minta tolong tapi tidak mau melibatkan teman-temannya. Sudah cukup ia hampir mencelakai mereka.
"Lo tahu kan, gue gak akan mati semudah itu". Jeka bergegas pergi sebelum Jaerot bertanya lebih lanjut lagi. Karena tahu ada yang tidak beres, maka pemuda itu segera menghubungi Victor si tangan kanan Jeka.
"Halo Vi, ada yang gak beres sama si Bos". Victor yang tengah menggendong baby Tiger itu menatap kearah Ririn sekilas sebelum menjauh dan menyahuti Jaerot.
"Maksud Lo?".
"Dia minjem pistol bokap gue. Ditanyain mau buat apa, gak jawab. Gue curiga ini ada hubungannya sama cowok yang waktu itu kirim kelompok bersenjata".
"Lo ikutin dia. Shareloc! Gue sama yang lain bakal nyusul". Perintah Victor. Pemuda itu langsung kalang kabut mendekati istrinya.
"Mah, aku nyusul si Bos dulu ya?". Victor langsung menyerahkan Baby Tiger pada Ririn padahal perempuan itu sedang memasak.
"Nyusul kemana? Gak ada hubungannya sama Guan kan?". Tebak Ririn. Victor terdiam, mau bohong tapi kasihan pada istrinya. Tapi kalau jujur pasti perempuan itu melarangnya untuk menyusul Jeka. Padahal Jeka jelas butuh bantuan.
"Maaf Mah, tapi Papah janji gak akan kenapa-napa".
"Unaya dalam bahaya?". Tanya Ririn memastikan.
"Mungkin". Ririn menghela nafas panjang sebelum mengangguk.
"Inget, kamu masih punya kita berdua yang harus dinafkahi. Jangan sampai kenapa-napa". Pesan Ririn. Victor mengangguk, pemuda itu mencium Ririn dan anaknya bergantian kemudian berlari keluar rumah.
Sementara itu, Jeka menatap bangunan besar didepannya. Rumah Guan memiliki pagar tinggi dan sepertinya dijaga ketat. Jeka turun dari motornya kemudian memencet bel. Pemuda itu menurunkan topinya agar wajahnya tidak kelihatan. Tak lama seorang satpam keluar dan menanyakan kepentingan Jeka.
"Gue mau ketemu yang punya rumah. Kalau gak salah namanya Guanjing". Katanya kurang ajar.
"Maaf, Tuan Guan tidak bisa ditemui sembarang orang". Sebelum satpam itu menutup pagar rumah, Jeka sudah lebih dulu menodongkan pistol ke pelipis satpam itu.
"Gue cuma mau mastiin bentar, kepunyaan gue ada disini atau enggak". Satpam yang kini gemetar ketakutan itu membuka lebar-lebar pagar rumah. Jeka langsung masuk ke pekarangan rumah dan dihadang oleh ajudan Guan. Namun mereka pun tidak berani walau hanya sekedar melawan Jeka karena pemuda itu membawa senjata.
Unaya yang sedari tadi melamun dijendela kamar pun dibuat kaget saat menangkap presensi pemuda yang ia kenali perawakannya. Kenapa Jeka harus senekat itu sih? Datang ke tempat ini hanya akan membuat pemuda itu terluka. Unaya sengaja tidak mengucapkan salam perpisahan karena tidak tega menyakiti Jeka secara langsung.
"Gimana ini Bi?". Tanya Unaya pada salah satu maid yang menjaganya di kamar.
"Gimana apanya Non?".
"Laki-laki yang saya cintai nekat datang kesini. Saya takut Guan mencelakainya". Unaya mondar-mandir tak karuan. Si maid pun juga bingung hendak memberikan solusi apa.
"Bagiamana kalau Nona keluar dan temui dia sebelum Tuan Guan tahu". Katanya kemudian.
"Emang gak apa-apa Bi? Kalau Guan tahu, nanti bibi...".
"Tuan sedang ada di ruang kerja. Ruangannya kedap suara, dia tidak akan tahu. Cepat Non". Si maid menarik tangan Unaya dan membawanya keluar dari kamar. Di depan kamar, para ajudan hendak menahan Unaya namun dihalau oleh maid itu.
"Jeka!". Teriak Unaya. Gadis itu berlari mendekati Jeka. Jeka yang melihat pun langsung menyambut Unaya. Pemuda itu memeluk Unaya erat-erat.
"Kamu kenapa pergi sih? Aku khawatir. Ayo kita pulang". Jeka hendak menarik tangan Unaya namun gadis itu menolak.
"Bibir kamu kenapa?". Jeka beralih menatap sudut bibir Unaya yang berdarah kemudian mengusapnya namun gadis itu menepis tangannya.
"Kenapa?". Tanya Jeka. Unaya mundur selangkah kemudian menatap Jeka dengan sendu.
"Aku gak bisa. Tempat aku disini Jek". Ujarnya pelan. Hati Jeka sakit sekali mendengarnya, Unaya tidak mau pulang ketempat yang semestinya.
"Kamu ngomong apa? Tempat kamu itu disini". Jeka menunjuk dadanya sendiri. Unaya menggeleng tegas, gadis itu mendorong-dorong dada Jeka agar pergi.
"Enggak Jek, aku gak pantas nempatin hati kamu. Kamu terlalu baik buat aku". Jeka berdecih mendengar jawaban Unaya.
"Klise banget alasan kamu Unaya. Kalau aku terlalu baik buat kamu, aku bisa jadi jahat dengan ngebunuh orang-orang yang ada ditempat ini". Jeka mengangkat pistolnya.
"Gak Jek, gak!".
"Wow! Ada drama apa ini?!". Guan turun dari tangga sambil bersedekap dada. Pemuda itu dihubungi ajudannya jika ada penyusup masuk ke rumah.
"Oh ada si cowok sok jagoan rupanya". Ejek Guan. Jeka yang memang sudah gatal hendak menghabisi Guan pun berjalan cepat mendekati pemuda itu.
"Bajingan! Lo apain Unaya Ha?!".
Buaghhhhh...
Jeka memukul dahi Guan dengan pistol yang ia bawa hingga berdarah. Ajudan Guan hendak menyerang Jeka namun ditahan oleh tuan mereka.
"Jangan apa-apain orang ini karena saya sudah janji pada seseorang". Guan menatap kearah Unaya hingga membuat gadis itu tertunduk dalam.
"Unaya sayang, sepertinya kamu harus membayar mahal untuk dahi saya ini". Ancamnya.
"Gak usah bawa-bawa Unaya, Sat! Urusan Lo sama gue!". Jeka menendang tulang kering Guan. Guan mengaduh kesakitan namun tidak melawan. Baginya Unaya lebih berharga, gadis itu kembali kepelukannya saja sudah bahagia bukan main.
"Ayo coba kita bicara lebih santai. Sekarang lo tanya gih sama Unaya. Dia pilih Lo atau gue?". Tantang Guan dengan lagak yang sama dengan Jeka waktu itu. Jeka yang sudah muak dengan Guan pun meletakkan ujung pistolnya ke pelipis Guan.
"Jeka! Jangan Jek!". Kata Unaya namun Jeka tidak mengindahkannya.
"Kenapa dari tadi Lo bawa-bawa Unaya Ha?! Lo ancem apa dia sampai mau balik sama Lo? Dasar pengecut!". Desis Jeka. Dua pemuda yang berlomba untuk mendapatkan hati Unaya itu melempar tatapan tajam satu sama lain.
"Please Jek, jangan nekat. Maaf karena udah ngomong ini ke Lo. Gue gak bisa sama Lo lagi Jek, gue pilih Guan". Kata Unaya dengan berat hati.
"Maaf Jeka, ini demi kamu". Lanjut Unaya dengan berat hati. Perkataan Unaya sontak membuat Jeka menurunkan tangannya. Pemuda itu berbalik dan menatap Unaya serius.
"Coba bilang sekali lagi. Gue cuma akan nyerah kalo lo yang minta". Unaya meremas dress yang ia kenakan. Ia pejamkan matanya rapat-rapat sebelum bersuara.
"Gue pilih Guan, Lo bisa pergi". Kata Unaya tanpa menatap Jeka. Jeka mengangguk sekali kemudian berjalan mendekati gadis itu. Diangkatnya dagu Unaya agar gadis itu menatap matanya. Nampak bulir-bulir air mata yang hendak jatuh dari sana.
"Kalo itu memang mau Lo, kenapa harus nangis heum". Kata Jeka lembut seakan baik-baik saja. Jeka tahu semua ini bukan keinginan Unaya, keadaan yang memaksa gadis itu untuk bertindak demikian. Tapi kalau memang Unaya sudah memutuskan, Jeka bisa apa? Unaya meremat ujung kaos Jeka seakan tidak mau melepaskan.
"Jika nanti semesta bercanda dan mempertemukan kita lagi, aku harap kamu paham. Meninggalkanku seperti kemarin dapat melukaiku dengan dalam". Bisik Jeka. Pemuda itu melepaskan cekalan Unaya ditangannya kemudian pergi. Pergi membawa luka yang kembali gadis itu torehkan. Bekas luka yang kemarin saja belum kering, tapi lagi-lagi Unaya mengulangi kesalahannya. Unaya menatap punggung Jeka dengan penuh luka. Bukan hanya Jeka saja yang terluka, dirinya juga sama.
"Maaf, maaf". Gumam Unaya sambil memukul-mukul dadanya.
Jeka mengusap air matanya dengan lengan. Ada yang bilang jika seorang lelaki tulus mencintai seorang wanita, maka ia akan menangis karenanya. Sudah tidak perlu ditanya seberapa tulus perasaan pemuda itu pada Unaya, yang jelas tidak terukur. Mengikhlaskan memang sulit, namun ia akan mencoba. Sesuatu yang ditakdirkan untuk kita, tidak akan menjadi milik orang lain. Kalaupun Unaya berakhir di pelaminan dengan Guan, maka Jeka siap menunggu jandanya.
"Bos?". Begitu Jeka membuka gerbang, antek-anteknya langsung menyambut. Awalnya Jeka kaget akan kehadiran mereka, namun setelahnya pemuda itu tersenyum.
"Gimana Bos? Aman?". Tanya Jimi memastikan. Jeka menghela nafas panjang. Serangan baliknya gagal, yang ia dapat hanya kekecewaan.
"Gue tunggu jandanya aja". Sahut Jeka tidak jelas hingga membuat antek-anteknya saling pandang.
***