webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
28 Chs

Bagian Sepuluh : Sebuah Pernyataan

~~~

Rangga melirik ke sampingnya, ia berjalan satu langkah lalu menarik lengan seorang wanita di samping Daniel dan membawanya ke tengah keluarga. Ia berdiri di samping Ravi dengan percaya dirinya. "Sebutin nama! Cepat!" bisiknya pada wanita di sampingnya.

Dengan kepala yang menunduk, "s-saya Salma Natalina," singkatnya.

Seluruh orang yang menyaksikan hal itu hanya saling bertatapan heran dan penuh tanya. Bahkan Herman hanya mengerutkan keningnya melihat Rangga yang terlalu tiba-tiba.

𝐾𝑒𝑚𝑎𝑟𝑖𝑛 𝑀𝑎𝑙𝑎𝑚

𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝐻𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑠𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑑𝑖 𝑚𝑒𝑗𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎𝑛𝑦𝑎. 𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑖𝑎𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑏𝑢𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑖𝑘𝑖𝑟𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔-𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔.

"𝑀𝑚𝑚 𝑗𝑎𝑑𝑖, 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑠𝑖𝑝𝑎𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑑𝑢𝑙𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑑𝑖𝑟𝑒𝑘𝑡𝑢𝑟?" 𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝐻𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛.

"𝐼𝑦𝑎!" 𝑠𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎.

"𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑏𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢, 𝑎𝑝𝑎 𝑎𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎?"

"𝑀𝑒𝑛𝑖𝑘𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑑𝑖𝑟𝑒𝑘𝑡𝑢𝑟. 𝐼𝑡𝑢 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟-𝑏𝑒𝑛𝑎𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑦𝑜𝑙. 𝐵𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑙𝑎𝑔𝑖, 𝑘𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑐𝑎𝑙𝑜𝑛 𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝐾𝑎𝑘𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖ℎ 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑑𝑖𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑛𝑎𝑛𝑡𝑖. 𝐵𝑒𝑛𝑎𝑟-𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑙!" 𝑔𝑒𝑟𝑎𝑚 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎.

𝐻𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑘𝑒ℎ, 𝑖𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑡𝑎𝑝 𝑐𝑢𝑐𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 𝑓𝑟𝑢𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑤𝑎𝑗𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ 𝑎𝑚𝑎𝑟𝑎ℎ. "𝑅𝑒𝑧𝑎, 𝑅𝑖𝑧𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝑅𝑎𝑣𝑖 𝑟𝑢𝑝𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝑐𝑎𝑙𝑜𝑛 𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖, 𝑗𝑎𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑠 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝐾𝑎𝑘𝑒𝑘. 𝐾𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎? 𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑖𝑙𝑖ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑚𝑢? 𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝐾𝑎𝑘𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑚𝑢, '𝑘𝑎𝑛?"

𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑡𝑎𝑘𝑘𝑎𝑛 𝑔𝑖𝑔𝑖𝑛𝑦𝑎, 𝑘𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎 𝑝𝑟𝑖𝑎 𝑡𝑢𝑎 𝑖𝑛𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑑𝑢𝑙𝑢. 𝑆𝑒𝑗𝑎𝑘 𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑙𝑙 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑡𝑒𝑙. 𝐼𝑎 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟-𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑡𝑎𝑘 ℎ𝑎𝑏𝑖𝑠 𝑝𝑖𝑘𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑑𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛. "𝑃𝑜𝑘𝑜𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔-"

"𝐻𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔!" 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑠 𝐻𝑒𝑟𝑚𝑎𝑛, "𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑖𝑙𝑖ℎ, 𝑘𝑎𝑚𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑠𝑖𝑝𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑠𝑜𝑘! 𝐼𝑛𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑡𝑢𝑎 𝑆𝑢𝑝𝑒𝑟𝑂𝑛𝑒 𝐺𝑟𝑜𝑢𝑝 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝐷𝑖𝑟𝑒𝑘𝑡𝑢𝑟 𝑆𝑢𝑝𝑒𝑟𝑀𝑎𝑙𝑙!"

Rangga melirik Salma yang hanya menunduk dan tangannya terangkat lalu menyentuh rambut wanita itu dan mengelusnya perlahan, Salma dengan otomatis menoleh hingga bertatapan dengannya. Melihat wajah wanita asing itu, Rangga hanya tersenyum, "percaya diri saja," ucapnya kaku.

Salma hanya melirik ke arah sekelilingnya dan merasa seperti orang paling bodoh di sana. Ia menelan ludahnya dan menatap ke arah depan hingga matanya bertemu dengan pria paruh baya yang tengah menatapnya. "Saya Salma Natalina, sekretaris-"

"Selamat datang di keluarga Maulana, Salma," ucap Herman yang perlahan berusaha berdiri dibantu oleh istrinya. Kemudian ia berjalan menghampiri empat pasangan di depan keluarga itu dan menyalaminya satu per satu.

Tiba di hadapan Salma, Herman menatap gadis muda itu dengan tatapan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di restoran hari itu. Ia bahkan masih mengingat nama Salma dan bagaimana gadis itu menceritakan kematian temannya secara singkat.

Salma perlahan menatap mata Herman dengan jantungnya yang berdebar dan sekujur tubuhnya bergetar terutama tangannya yang bersalaman dengan pria paruh baya itu.

~~~

Salma keluar dari kamar mandi lalu menarik kursi di hadapan meja belajar dan duduk di sana. Ia memperhatikan laptopnya yang sepertinya berubah posisi sejak ia meninggalkannya pagi tadi. Ia meraba bagian bawah meja itu dan tersentak ketika pintu kamarnya tiba-tiba dibuka oleh seseorang yang membuatnya langsung berdiri dan menodongkan gunting ke arah pintu.

"Kak?!" jerit Tiara yang sama terkejutnya setelah melihat Salma tiba-tiba menodongnya degan gunting.

Salma dengan napasnya yang masih menderu menurunkan tangannya dan kembali duduk di sana, membalikkan kursinya dan memperhatikan Tiara yang langsung merebahkan dirinya di kasur. "Ra, lo baru sekarang ke sini, 'kan? Tadi siang ke sini gak?"

"Lo tahu hari ini mata kuliah wajib, mana sempat gue ke sini!" jawab Tiara. Ia lalu mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap ke arah Salma, "kenapa emang? Ada yang hilang?"

Salma menggelengkan kepalanya, "enggak ada sih, yang punya kunci cadangan cuma lo doang 'kan?"

"Iya!" jawab Tiara, "emang kenapa? Ada apa?"

"Enggak apa-apa," jawab Salma, ia lalu berdiri dan mengambil jaket tebal yang tergantung, "gue mau ke restoran Kak Yumi, mau ikut?"

Tanpa menjawab, Tiara malah kembali merebahkan tubuhnya dan memainkan ponselnya, "bawain ayam saja nanti pulangnya," ucapnya.

Salma yang sedang memakai jaketnya hanya mendecih, "iya oke, hati-hati kunci saja pintunya," ucapnya lalu berjalan ke arah pintu.

"Lo yang hati-hati Kak," balas Tiara.

Salma terkekeh lalu menutup pintu kamar kontrakannya, tak ada tanda-tanda membuka pintu dengan paksa. Mungkin ia kelelahan, entah kenapa ia memikirkan posisi laptopnya yang berubah dan beberapa bukunya juga seperti dibuka seseorang.

Salma berjalan keluar kontrakan dan melihat Aryo yang baru saja menghentikan motornya. Ia berlari ke arah Aryo yang memang datang untuk menjemputnya. Tanpa banyak bicara, ia langsung naik ke motor.

"Tumben langsung naik! Biasanya-"

"Ayo berangkat!" potong Salma.

Setelah beberapa menit perjalanan, Aryo menghentikan motornya di depan restoran ayam milik Yumi. Keduanya turun dan memasuki restoran itu bersama.

"Jenny!" jerit Salma begitu membuka pintu restoran dan mengejutkan orang-orang yang ada di sana.

"Mbak Salma?" ucap Jenny yang tiba-tiba berdiri terkejut.

"Sudah gue duga sejak awal, Jenny dan Salma bekerja di perusahaan yang sama," ucap Jordy.

Salma berjalan menghampiri meja yang berisikan Alan, Jordy, Yumi dan Jenny juga di hadapannya terduduk Revan yang di paling ujung dekat dinding dan Jaenal di ujung lainnya.

"Geser Bang!" sinis Salma yang membuat Jaenal bergeser dan duduk di samping Revan. Ini kini berhadapan dengan Jenny yang baru saja kembali duduk di kursinya semula.

"Jadi, Mbak Salma juga bagian dari ini?" ucap Jenny yang masih keheranan.

"Hmm, tapi karena gak ada ruangan yang kosong jadi gue terpaksa harus tinggal terpisah dari lingkungan ini, Jenny." Salma beberapa kali melirik Jaenal yang nampak acuh padanya sementara Aryo yang duduk di sampingnya tertawa puas.

"S-Salma, waktu itu gue juga nawarin, bukan?" ucap Jaenal.

"Kak Alan, Kak Aryo sama Revan nawarin, tapi Bang Jaenal enggak," jawab Salma dengan datarnya, meski begitu Aryo yang di sampingnya kembali tertawa.

~~~

Daniel menutup pintu lalu berjalan menghampiri Rangga yang berdiri di dekat jendela. Keduanya sedang berada di ruangan pribadi milik Rangga. Sebenarnya ia cukup sibuk namun ia juga membutuhkan penjelasan dari tindakan pria yang tiba-tiba merangkul sekretarisnya dan sekarang malah bersikap dingin padanya.

Fokus Rangga masih tertuju pada pemandangan di langit malam ini, ia melihat beberapa bintang dan bulan sabit. Ia kemudian menghela napas berat dan membuangnya perlahan, "enam tahun lalu, malam sebelum kecelakaan, Papa bilang kalau gue harus bangga karena satu-satunya cucu yang bernama Maulana. Meski Papa anak ketiga, Papa dipastikan jadi pewaris SuperOne Group karena Papa satu-satunya anak laki-laki dari keluarga Maulana. Dan hari ini..."

Daniel tak bereaksi apapun, rasanya dengan berdiri di sana dan mendengarkan pun sudah cukup untuk menghibur temannya itu. Ia ikut menatap ke arah langit, "hari ini lo-"

"Akhirnya gue benar-benar tahu betapa berartinya nama Maulana. Meski sudah awal tempat itu akan menjadi milik Ravi Aryatama," ucap Rangga.

"Belum tentu, Pak Ketua Herman belum membuat keputusan," ucap Daniel. Ia lalu menepuk bahu pria itu dan membuatnya menoleh, "ada 25% kemungkinan, lo masih bisa berharap," ucapnya dengan enteng.

Rangga menatap Daniel dengan wajah datarnya, "25% itu ada kalau gue pilih cewek lain, tapi karena itu sekretaris lo jadi 25% nya hilang!" ketusnya.

Daniel mendecih, ia tak mengerti dengan pola pikir laki-laki itu. "Kenapa pula lo pilih Salma? Banyak cewek di luar sana yang bisa lo rangkul tapi ini Salma? Dia bukan-"

"Kenapa? Lo suka sama dia?" potong Rangga.

"Bukan soal gue suka atau enggak, tapi Salma seharusnya gak ikut campur di urusan keluarga lo! Gue saja terkejut apalagi Salma, lo gak pernah pikiran hal itu 'kan?" ucap Daniel.

Rangga terkekeh lalu ia menarik kursinya dan duduk di sana, "walaupun begitu, gue rasa si Salma ini lebih baik dari mantan lo, si Alisa," ucapnya lalu ia tertawa dengan puasnya, "dan si Reza? Wahh kenapa si Reza pilih Alisa? Apa dia gak tahu kalau Alisa ninggalin bayi akibat cinta satu malamnya dengan Direktur DN News?" ucapnya yang tak berhenti tertawa. Ia lalu melirik Daniel dan berhenti tertawa, "ahh maaf," ucapnya pelan.

Daniel mengepalkan kedua lengannya namun ia hanya menutup matanya dan berusaha menahan amarahnya. "Rangga, 25% itu akan benar-benar hilang walaupun Salma yang terpilih oleh Kakek!" ketusnya.

Rangga kembali berdiri, kali ia menunjukkan wajah serius, "seandainya Salma yang dipilih oleh Kakek, dan gue ada di keadaan harus nikah sama dia demi menjadi direktur, gue juga pasti nolak dia. Lo gak perlu khawatir, gue gak bakal ambil cewek-cewek yang ada di sekitar lo, Daniel!" ucapnya.

Daniel menatap Rangga sekilas, "syukurlah, gue pamit!" singkatnya lalu meninggalkan Rangga dan membanting pintu ruangan itu dengan keras.

Rangga kembali terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia berusaha mengingat kejadian tadi siang. Sejujurnya ia tak berniat menghadiri pesta itu apalagi memperkenalkan calon istrinya dengan cara yang konyol seperti itu, namun ambisinya untuk jadi direktur sempat membuatnya hilang kesadaran sehingga ia meraih tangan wanita itu tanpa peduli siapapun itu.

"Daniel berlebihan! Mana mungkin Kakek akan pilih sekretarisnya, sementara ada Alisa di sana!" ketusnya.