webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
28 Chs

Bagian Lima Belas : Pernyataan Tiba-Tiba

~~~

Rangga menghentikan mobilnya di depan perusahaan milik Daniel. Tanpa ragu, ia memasuki gedung itu dan mencari-cari seseorang. Ia mengunjungi ruangan pegawai tapi tak menemukan orang yang dicarinya. Tak ingin membuang waktu, ia berjalan menuju lift dan tak sengaja melihat seseorang yang ia kenal berada di sana.

"Rania!"

Rania yang awalnya sibuk membaca lembaran kertas di tangannya kini menoleh. "Pak Rangga?"

"Salma dimana?" tanya Rangga tanpa ragu.

"Dia sedang rapat di atas," jawab Rania.

"Rapat? Kamu sendiri mau kemana?"

"Saya mau mengantarkan daftar berita-"

"Kalau begitu, bilang ke Salma, saya nunggu dia di ruang pertemuan di lantai satu," ucap Rangga lalu pergi begitu saja meninggalkan Rania yang masih mematung di tempatnya.

Seorang pegawai menyajikan minuman untuk Rangga, setelahnya ia kembali meninggalkan Rangga sendirian. Rangga melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, sudah hampir setengah jam namun belum ada tanda-tanda kemunculan orang yang ia cari.

Pintu terbuka, Daniel yang menggunakan setelan jas merah tua datang bersama Salma yang memakai rok pendek dan berjas merah muda. Keduanya berjalan ke arah Rangga yang nampak terduduk santai di kursi paling ujung.

Melihat kedatangan dua orang itu, Rangga berdiri dan mendekati mereka. "Lo ngapain di sini?" sinis nya pada Daniel.

"Rania bilang lo di sini, jadi gue ke sini lah," jawab Daniel.

Salma memperhatikan dua pria yang berkomunikasi dengan bahasa yang santai itu. Ini juga pertama kalinya ia mendengar Daniel berkata seperti itu, biasanya direktur itu sangat sopan dan berbicara dengan suara yang pelan.

"Gue ada perlu sama Salma, bukan sama lo! Minggir!" ucap Rangga ketus.

"Sama gue?" heran Salma, lalu dirinya mendapat tatapan dari kedua laki-laki itu bersamaan. "Sama saya?" ucapnya lagi sambil tersenyum kikuk.

Daniel menatap penuh tanda tanya ke arah Rangga, "ada perlu apa sama Salma?"

"Bukan urusan lo! Pergi sana!" tegas Rangga, ia menerobos tubuh Daniel yang berdiri di hadapannya. Kini ia mulai bisa mengobrol dengan Salma yang berada tepat di hadapannya.

"Kenapa pula harus pergi dari perusahaan sendiri!" gumam Daniel yang mulai kesal dengan Rangga. Ia menarik kursi dan memilih untuk duduk di sana dan tak mempedulikan kedua orang yang tengah berhadapan itu.

"Ada perlu apa?" tanya Salma dengan polosnya.

"Salma Natalina, kamu kenal Herman Maulana?" tanya Rangga.

Salma menganggukkan kepalanya dengan cepat, "tentu saja, dia sangat terkenal-"

"Secara pribadi?" lanjut Rangga dengan penuh keingin tahuan.

"Secara pribadi? Tidak. Memang kenapa?"

"Kamu harus menikah dalam 3 bulan!" tegas Rangga.

Salma membulatkan matanya, ia menatap Rangga tak percaya. "Tiba-tiba? Sama siapa?" tanyanya heran.

Mendengar ucapan Rangga barusan, Daniel berdiri dan mendekati mereka, "jadi Pak Ketua milih Salma buat lo nikahin? Wahh kenapa?" ucapnya penuh rasa penasaran.

Rangga melirik Daniel yang berdiri di sampingnya, "jangan ikut campur! Minggir sialan!" tegasnya.

"Dia sekretaris-"

"Terus kenapa? Dia bukan istri lo 'kan?" teriak Rangga yang sudah tak mampu menahan amarahnya lagi. "Gua akan pergi sekarang, Daniel!" ucapnya. Ia kemudian meraih tangan Salma dan mengajaknya untuk pergi bersamanya.

"K-kenapa, kenapa saya harus ikut?" heran Salma.

"Karena lo harus nikah sama gue, Salma Natalina!" teriak Rangga untuk yang kesekian kalinya.

"Ehh?" Salma dengan tegas menepis tangan Rangga dan berdiri menghadap ke arahnya. "Saya harus nikah sama kamu? Kenapa?" ucapnya agak berteriak.

Rangga berdecak sebal sembari kedua tangannya ia silangkan di depan dadanya. "Iya pokoknya harus!" geramnya.

"T-tapi kenapa? Pasti ada alasannya 'kan?" tanya Salma yang tak mau kalah dengan amarah laki-laki di hadapannya.

Rangga hanya terdiam dengan kepalanya yang menunduk lelah. Ini memang gila dan jauh dari ekspetasinya. Jika tahu akan terpilih, ia mungkin akan memperkenalkan salah satu bawahannya lalu berpura-pura menikah dan berpisah lagi, tak perlu serumit ini.

"Pak Maulana?" tegur Salma.

"Berhenti manggil gue Maulana!" ketus Rangga.

"Tapi semua orang di sana bernama Maulana," cibir Salma.

"Untuk sekarang, kita bicarakan ini di luar saja, bagaimana?" tawar Rangga yang mendadak sopan dan menampilkan senyum kapitalis nya. Meski begitu, dalam lubuk hatinya ia masih kesal dan amarahnya masih bersarang.

Salma mendecih, "apa yang perlu dibicarakan, Pak Maulana?" ucapnya.

Rangga mengalihkan tatapannya ke arah lain sambil menggertak kan giginya penuh amarah. Ia kembali meraih tangan Salma dan membawanya pergi keluar perusahaan.

Salma memperhatikan bagaimana tangannya dipegang erat oleh Rangga dan sepintas bayangan masa lalu muncul di benaknya. Mereka berdua di tepi jalan, tanpa bicara Salma menarik Rangga untuk memundurkan langkahnya.

Rangga terkejut namun ia menurut saja dan memperhatikan wajah Salma yang tiba-tiba terdiam dengan tatapan yang aneh. "Salma? Salma? Kenapa lagi ini?" lelahnya.

Salma yang menundukkan kepalanya perlahan menggeleng, ia melirik ke arah kiri jalan, "masih lampu hijau," ucapnya.

Rangga mendecih, "kamu pikir saya gak bisa nyebrang?" ucapnya sinis.

Salma melirik ke arah Rangga dengan ragu lalu kembali mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia kemudian melepaskan tangannya dari Rangga perlahan.

Rangga kembali berdecak lalu mengantongi tangan kanannya. "Ayo," ajaknya namun ia menyebrangi jalan lebih dulu, sedangkan Salma berusaha mengejar di belakangnya.

Keduanya berada di kafe yang ada di dekat perusahaan milik Daniel. Tanpa menanyakan pesanan Salma, Rangga memesan dua minuman dingin untuk mereka. Suasana canggung sampai pelayan menyajikan minuman mereka.

Salma menyeruput minuman itu, tatapannya masih fokus pada jalanan di luar sana. "Pak Maulana?"

"Hmm? Kamu sudah tenang? Gak akan marah-marah lagi?" tanya Rangga dengan santainya.

Dengan cepat Salma mengalihkan tatapannya ke arah Rangga, tak percaya dengan apa yang dikatakan laki-laki itu barusan. "Dari tadi juga Pak Maulana yang marah-marah. Bahkan bentak-bentak Pak Daniel segala!" ucapnya.

"Memangnya kenapa? Daniel si sialan bodoh itu kenapa kamu sangat menghormatinya?" gerutunya.

Salma mengernyitkan bibirnya mencibir laki-laki itu. "Saya dididik untuk menghormati seseorang yang baik kepada saya," ucapnya.

"Baik?" Rangga mendecih dan tertawa, entah apa yang lucu namun ia sangat ingin tertawa. "Baik? Dia baik di luar tapi busuk di dalam," ucapnya.

"Daripada busuk luar dalam," ucap Salma.

Rangga mendeham, ia membenarkan posisi duduknya lalu melonggarkan dasinya. "Salma Natalina, saya akan buat penawaran sama kamu-"

"Penawaran apa? Saya gak tertarik," potong Salma.

"Beraninya motong ucapan saya! Wanita ini!" ucap Rangga tak percaya. "Pokoknya kalau kamu menikah dengan saya-"

"Kenapa? Kenapa saya harus nikah sama Pak Maulana? Apa yang akan saya dapat?" lagi-lagi, dengan berani Salma memotong ucapan Rangga.

"Iya nantinya kamu akan jadi istri saya!" ucap Rangga dengan percaya dirinya.

"Apa bagusnya itu?" tanya Salma dengan entengnya.

Rangga menganga dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tak bisa berkata-kata lagi sekarang. "Kamu sadar apa yang kamu lakukan sekarang? Saya Rangga Maulana-"

Tanpa bicara lagi, Salma berdiri dan bersiap akan pergi. Rangga mendelik kan matanya kesal, meski begitu ia tetap berdiri dan menahan tangan Salma yang menatap ketus padanya.

"Saya mohon, ini permintaan dari Kakek, bukan keinginan saya," ucap Rangga memelas.

"Kakek? Apa maksudnya Pak Herman Maulana?" tanya Salma yang tiba-tiba tertarik dengan ucapan Rangga barusan. Ia perlahan duduk kembali bersamaan dengan Rangga juga yang kembali pada posisinya semula. "Kenapa Pak Herman Maulana ingin kamu..." ucapnya ragu.

"Makanya dengarkan penjelasan saya!" tegas Rangga. Ia kemudian menjelaskan dari awal permasalahannya. Sejak ia yang mendatangi rumah utama Maulana setelah 5 tahun lamanya, ia kemudian menerima wasiat dan mengetahui persyaratannya. Di hari saat perayaan ulang tahun SuperOne Group, ia memilih Salma secara tak sengaja karena saat itu tidak ada wanita lain yang berada di sana.

"Lalu Pak Herman Maulana memilih saya untuk menikahi salah satu cucunya agar cucu tersebut menjadi direktur?" ucap Salma sambil tersenyum dan mendapatkan rasa percaya diri.

Rangga menghembuskan napas pendek melihat Salma yang mulai bertingkah aneh. Ia sudah tak tahan lagi, "dalam seratus hari, kamu mau?" tanyanya sambil tersenyum manis ke arah Salma, berharap gadis itu akan masuk dalam perangkapnya.

Salma terdiam sejenak, nampak berpikir. "Tapi yang jadi direktur juga bukan saya, terus kenapa saya harus mau menuruti ucapan Pak Maulana?"

Rangga menghembuskan napas lelah, ia kembali melonggarkan dasinya dan membuka kancing jasnya. "Kalau begitu, apa yang kamu inginkan? Supaya kamu mau menerima penawaran saya. Saya akan berikan apapun, asalkan kamu mau menuruti semua ucapan saya selama 3 bulan ini," ucapnya dengan yakin.

"Entahlah, saya..." ucapan Salma terhenti, ia mengambil handphone yang berada di saku jasnya. Ia mengangkat panggilan masuk itu dan mengangguk, "saya ke sana sekarang, Pak," ucapnya.

"Apa lagi? Daniel?" ketus Rangga.

Salma mengangguk sambil tersenyum, ia kemudian berdiri dan mengeluarkan uang dua puluh ribuan dan menaruhnya di atas meja. "Untuk minumannya, saya permisi," pamitnya sambil melambai kecil ke arah Rangga yang masih ketus melihatnya. Setelah beberapa langkah, ia kembali menoleh dan mata mereka kembali bertatapan. Ia kembali tersenyum dan melambaikan tangannya.

Rangga berdecak sebal, "wanita sial itu!" umpatnya.

Salma berlarian menyebrangi jalan lalu menggandeng Jenny yang tengah berjalan ke arahnya. Sebenarnya, orang yang menelepon tadi bukanlah Daniel, melainkan Jenny yang mengajaknya untuk makan siang di luar.

"Kenapa sih?" tanya Jenny.

"Terima kasih, lo sudah menyelamatkan gue hari ini," bisik Salma.

Daniel yang berdiri di ruangan pribadinya hanya tersenyum sinis dan meyakini bahwa pertemuan antara Rangga dan Salma tak berjalan dengan baik. Memang, tak seharusnya Salma berurusan dengan Rangga apalagi dengan keluarga Maulana.