webnovel

Elotalia : Love is Strange

Tora Yaguchi, 17 tahun, adalah siswa SMA yang pendiam, introvert,Di balik sikapnya yang dingin, Tora memendam depresi yang membuatnya sulit membuka hati pada cinta. Namun, semuanya berubah saat seorang gadis misterius muncul dan menyelamatkannya dari insiden memalukan. Tiba-tiba, Tora merasakan percikan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu hari, Tora tanpa sengaja menemukan portal ajaib yang membawanya ke dunia fantasi Elotalia. Di dunia baru yang penuh warna ini, Tora terkejut saat bertemu dengan versi dirinya di masa depan. Tora masa depan, yang telah menjadi penguasa harem yang sukses, memperingatkan Tora muda tentang kesalahan yang akan ia buat. Tora muda harus belajar menghargai orang-orang yang peduli padanya, terutama gadis yang telah menyelamatkannya. Petualangan Tora di Elotalia membawanya bertemu dengan berbagai gadis cantik dan unik, masing-masing dengan daya tarik dan kepribadian yang berbeda. Tora mulai menyadari bahwa setiap gadis memiliki peran penting dalam hidupnya. Seiring berjalannya waktu, Tora belajar membuka hati dan mengatasi traumanya, dibantu oleh dukungan dan cinta dari para gadis yang mengelilinginya. Namun, kebahagiaan Tora terancam saat terungkap rahasia kelam di balik portal Elotalia. Tora harus membuat keputusan sulit yang akan menentukan nasibnya dan orang-orang yang dicintainya. Akankah Tora memilih untuk mengorbankan kebahagiaannya demi menyelamatkan orang lain?

AryaRamadhan · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
5 Chs

Cinta Segitiga, dan Kegilaan Ratu

Setibanya di istana, suasana langsung berubah menjadi hiruk-pikuk. Para pelayan dan penjaga istana yang semula berduka karena hilangnya Ratu Elysia, kini bersorak gembira melihat kembalinya sang pemimpin. Tora dan Hana berjalan dengan hati-hati, menyokong Ratu Elysia yang masih tampak linglung.

"Yang Mulia!" seru seorang pelayan dengan mata berkaca-kaca, "Kami sangat senang Anda kembali!"

"Syukurlah, Yang Mulia selamat," tambah seorang penjaga istana, sambil membungkuk hormat.

Ratu Elysia tersenyum lemah, berusaha membalas sapaan mereka. Namun, tatapannya terus tertuju pada Tora, membuat Hana semakin tidak nyaman.

"Tora," Ratu Elysia memanggil dengan suara lembut, membuat Tora terlonjak kaget.

"Ya, Yang Mulia?" tanya Tora dengan gugup.

"Aku ingin berbicara denganmu... sendirian," pinta Ratu Elysia, sambil melirik Hana dengan tatapan yang sulit diartikan.

Hana merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa Ratu Elysia masih belum sepenuhnya pulih, tapi ia tidak bisa menahan rasa cemburunya. Ia menatap Tora dengan tatapan memohon, berharap Tora menolak permintaan Ratu Elysia.

Namun, Tora hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak bisa menolak permintaan seorang ratu, meskipun hatinya ingin tetap bersama Hana.

Ratu Elysia dan Tora masuk ke dalam kamar pribadi ratu, meninggalkan Hana yang berdiri terpaku di koridor istana. Hana merasa sedih dan kecewa. Ia tidak mengerti mengapa Ratu Elysia tiba-tiba tertarik pada Tora.

Di dalam kamar, Ratu Elysia duduk di tepi ranjang, menatap Tora dengan tatapan intens. "Tora," katanya dengan suara bergetar, "aku ingin berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku."

Tora membungkuk hormat. "Itu sudah menjadi tugas saya, Yang Mulia."

Ratu Elysia tersenyum. "Tidak, Tora. Ini lebih dari sekadar tugas. Kau telah menyelamatkan hidupku, dan aku tidak akan pernah bisa membalas budimu."

Ratu Elysia meraih tangan Tora dan menggenggamnya erat. "Aku... aku menyukaimu, Tora," katanya dengan suara pelan.

Tora terbelalak, jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Mungkin... mungkin Anda hanya merasa berterima kasih padaku, Yang Mulia," jawab Tora dengan gugup.

Ratu Elysia menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tora. Ini lebih dari sekadar rasa terima kasih. Aku... aku benar-benar menyukaimu."

Ratu Elysia mendekatkan wajahnya ke wajah Tora, bibirnya hampir menyentuh bibir Tora. Tora terpaku di tempatnya, tubuhnya kaku seperti patung. Ia ingin menjauhkan diri, tapi ia tidak bisa.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar. Hana berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam karena marah.

"Apa yang kalian lakukan?" teriak Hana dengan suara penuh amarah.

Ratu Elysia dan Tora langsung menjauhkan diri, terkejut dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Hana menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, air mata mengalir di pipinya.

"Hana, ini tidak seperti yang kau pikirkan," kata Tora berusaha menjelaskan.

Namun, Hana tidak mendengarkan penjelasan Tora. Ia berlari keluar kamar, meninggalkan Tora dan Ratu Elysia yang saling berpandangan dengan bingung.

Tora merasa bersalah karena telah menyakiti Hana. Ia ingin mengejar Hana dan menjelaskan semuanya, tapi ia tahu bahwa itu tidak akan mudah. Hana sedang terluka, dan ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.

Hana berlari tanpa tujuan, air mata terus mengalir di pipinya. Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia tidak menyangka Tora akan mengkhianatinya seperti itu. Ia merasa bodoh karena telah jatuh cinta pada Tora.

Hana terus berlari hingga ia sampai di hutan tempat Geiso bersembunyi. Ia menemukan Geiso sedang duduk di bawah pohon besar, matanya terpejam.

"Geiso!" teriak Hana sambil berlari ke arah Geiso.

Geiso membuka matanya, terkejut melihat Hana yang datang dengan tergesa-gesa.

"Hana, ada apa?" tanya Geiso dengan cemas.

Hana langsung memeluk Geiso erat-erat, menangis sejadi-jadinya. Geiso mengelus punggung Hana, berusaha menenangkannya.

"Ada apa, Nak?" tanya Geiso lagi. "Ceritakan padaku apa yang terjadi."

Hana terisak-isak, menceritakan semua yang terjadi di istana. Ia menceritakan tentang pengakuan Ratu Elysia pada Tora, tentang ciuman yang hampir terjadi, dan tentang bagaimana Tora tidak membelanya.

Geiso mendengarkan dengan seksama, hatinya ikut sakit melihat Hana yang terluka. Ia tahu bahwa Hana sangat mencintai Tora, dan pengkhianatan Tora pasti sangat menyakitkan bagi Hana.

"Tenanglah, Hana," kata Geiso sambil mengusap air mata Hana. "Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kau harus kuat. Jangan biarkan rasa sakitmu menguasai dirimu."

Hana mengangguk, berusaha menahan tangisnya. Ia tahu bahwa Geiso benar. Ia harus kuat, demi dirinya sendiri dan demi Elotalia.

"Geiso, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Hana dengan suara lirih. "Aku merasa sangat hancur."

Geiso memeluk Hana erat-erat. "Aku tahu, Nak. Aku tahu. Tapi kau tidak sendirian. Aku akan selalu ada untukmu."

Hana bersyukur memiliki Geiso di sisinya. Geiso adalah orang yang selalu bisa ia andalkan, baik dalam suka maupun duka. Hana tahu bahwa ia akan bisa melewati masa sulit ini dengan bantuan Geiso.

Tora, dengan perasaan bersalah yang menggunung, berlari menyusul Hana menuju hutan. Ia tidak bisa membiarkan Hana pergi sendirian dalam keadaan seperti ini. Ia harus menjelaskan semuanya pada Hana, meminta maaf, dan berusaha memperbaiki kesalahannya.

Setelah beberapa saat mencari, Tora akhirnya menemukan Hana di gubuk Geiso. Hana sedang menangis di pelukan Geiso, sementara Geiso berusaha menenangkannya.

"Hana," panggil Tora dengan suara lirih.

Hana mendongak, matanya merah dan bengkak. Ia menatap Tora dengan tatapan penuh luka.

"Tora, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hana dengan suara dingin.

Tora mendekat, berlutut di hadapan Hana. "Hana, aku minta maaf," katanya dengan tulus. "Aku tahu aku salah. Aku tidak seharusnya membiarkan Ratu Elysia menciumku."

Hana terdiam, tidak menjawab. Ia masih merasa sakit hati karena pengkhianatan Tora.

"Hana, aku mencintaimu," kata Tora lagi. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya... aku tidak tahu harus berbuat apa."

Hana menatap Tora dengan tatapan ragu. Ia ingin percaya pada Tora, tapi ia takut terluka lagi.

"Hana, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan," pinta Tora. "Aku akan menceritakan semuanya padamu."

Hana akhirnya mengangguk. Ia mendengarkan dengan seksama penjelasan Tora tentang apa yang sebenarnya terjadi di kamar Ratu Elysia. Tora menceritakan tentang bagaimana Ratu Elysia tiba-tiba mengaku menyukainya dan bagaimana ia tidak bisa menolak ciuman Ratu Elysia karena ia takut akan menyakiti perasaan Ratu Elysia.

Hana mendengarkan penjelasan Tora dengan hati yang terbuka. Ia mulai mengerti bahwa Tora tidak bermaksud mengkhianatinya. Tora hanya bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku memaafkanmu, Tora," kata Hana akhirnya. "Tapi aku tidak bisa kembali ke istana bersamamu. Aku tidak bisa melihatmu bersama Ratu Elysia."

Tora mengangguk mengerti. Ia tahu bahwa Hana membutuhkan waktu untuk menyembuhkan lukanya.

"Baiklah, Hana," kata Tora. "Aku akan kembali ke istana dan mencoba menyelesaikan masalah ini. Aku akan kembali menjemputmu setelah semuanya selesai."

Tora mencium kening Hana, lalu berbalik dan pergi. Ia merasa sedih karena harus meninggalkan Hana, tapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang terbaik.

Tiba-tiba, Ratu Elysia muncul di depan gubuk Geiso. Ia terlihat sangat marah.

"Tora, mengapa kau meninggalkan istana?" tanya Ratu Elysia dengan suara dingin.

Tora terkejut melihat Ratu Elysia. Ia tidak menyangka Ratu Elysia akan menyusulnya ke sini.

"Yang Mulia, saya hanya ingin menenangkan diri," jawab Tora dengan gugup.

"Menenangkan diri?" Ratu Elysia tertawa sinis. "Kau pikir kau bisa lari dariku?"

Tora menggelengkan kepalanya. "Tidak, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud lari dari Anda."

"Lalu mengapa kau meninggalkan istana tanpa seizinku?"

"Saya... saya hanya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara saya sendiri, Yang Mulia."

Ratu Elysia menatap Tora dengan tatapan tajam. "Masalah apa? Masalahmu dengan Hana?"

Tora mengangguk.

"Kau tidak perlu khawatir tentang Hana, Tora," kata Ratu Elysia dengan nada meremehkan. "Dia hanya seorang gadis desa biasa. Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih baik darinya."

Tora menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak, Yang Mulia. Hana adalah wanita yang saya cintai. Saya tidak bisa hidup tanpanya."

Ratu Elysia terdiam sejenak. Ia menatap Tora dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Baiklah, Tora," kata Ratu Elysia akhirnya. "Aku akan membiarkanmu kembali ke istana bersama Hana. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa, Yang Mulia?"

"Geiso harus ikut dengan kalian."

Geiso melangkah maju, matanya menatap Ratu Elysia dengan tenang. "Saya bersedia menemani Anda kembali ke istana, Yang Mulia," katanya dengan suara lembut namun tegas.

Ratu Elysia tersenyum lega. "Terima kasih, Geiso. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."

Ia kemudian menoleh ke arah Hana, ekspresinya berubah menjadi penuh penyesalan. "Hana, aku ingin meminta maaf atas perkataanku yang menyakitimu tadi," katanya dengan tulus. "Aku masih belum sepenuhnya pulih dari pengaruh Bayangan Kegelapan. Aku harap kau bisa memaafkanku."

Hana tertegun sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya memaafkan Anda, Yang Mulia," jawabnya. "Saya mengerti bahwa Anda tidak sepenuhnya mengendalikan diri Anda saat itu."

Ratu Elysia tersenyum lega. "Terima kasih, Hana. Aku berjanji akan berusaha menjadi ratu yang lebih baik lagi."

Ia kemudian menoleh ke arah Geiso. "Geiso, aku ingin kau menemaniku di istana. Aku merasa kesepian dan takut jika Bayangan Kegelapan akan kembali menguasaiku jika aku sendirian."

Geiso mengangguk. "Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan dengan senang hati menemani Anda."

Mereka berempat kemudian kembali ke istana. Sepanjang perjalanan, Ratu Elysia terus menggenggam tangan Tora, membuat Hana semakin tidak nyaman. Namun, Hana berusaha untuk tetap tenang dan percaya pada Tora. Ia tahu bahwa Tora mencintainya, dan ia yakin bahwa Tora tidak akan mengkhianatinya lagi.

Setibanya di istana, Ratu Elysia langsung disambut oleh para pelayan dan penjaga istana. Mereka semua sangat senang melihat Ratu Elysia kembali dengan selamat.

Ratu Elysia kemudian memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar untuk Geiso. Ia juga memerintahkan para penjaga istana untuk meningkatkan keamanan di sekitar istana, untuk mencegah Bayangan Kegelapan kembali menyerang.

Malam itu, Tora dan Hana makan malam bersama Ratu Elysia dan Geiso di ruang makan istana. Suasana makan malam terasa canggung, terutama bagi Hana. Ia masih merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ratu Elysia, yang terus-menerus menatap Tora dengan tatapan penuh arti.

Setelah makan malam, Tora dan Hana pamit undur diri. Mereka berjalan menuju kamar mereka masing-masing.

"Tora," panggil Hana sebelum Tora masuk ke kamarnya.

Tora menoleh, menatap Hana dengan tatapan penuh tanya.

"Aku percaya padamu, Tora," kata Hana dengan suara lembut. "Tapi aku mohon, jangan sakiti aku lagi."

Tora mengangguk. Ia mendekati Hana dan memeluknya erat. "Aku tidak akan menyakitimu lagi, Hana. Aku berjanji."

Hana membalas pelukan Tora, air mata mengalir di pipinya. Ia berharap bahwa Tora akan menepati janjinya. Ia berharap bahwa mereka berdua akan bisa melewati masa sulit ini dan hidup bahagia bersama selamanya.

Malam itu, setelah semua orang di istana tertidur, Ratu Elysia diam-diam meninggalkan kamarnya. Ia berjalan menyusuri koridor yang sepi, menuju kamar Hana. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu kamar Hana.

"Hana, bolehkah aku masuk?" tanya Ratu Elysia dengan suara pelan.

Hana, yang sedang bersiap untuk tidur, terkejut mendengar suara Ratu Elysia. Ia membuka pintu dan mempersilakan Ratu Elysia masuk.

"Yang Mulia, ada apa?" tanya Hana dengan bingung.

Ratu Elysia duduk di tepi ranjang Hana. "Hana, aku ingin berbicara denganmu," katanya dengan serius.

Hana duduk di samping Ratu Elysia, menunggu Ratu Elysia melanjutkan perkataannya.

"Hana, aku ingin menikah dengan Tora," kata Ratu Elysia tiba-tiba.

Hana terbelalak kaget. "A-apa?" tanyanya dengan suara gemetar.

Ratu Elysia mengangguk. "Aku tahu ini mungkin terdengar mengejutkan, tapi aku benar-benar mencintai Tora. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya."

Hana merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Ratu Elysia ingin menikah dengan Tora? Bagaimana mungkin?

"Tapi, Yang Mulia..." Hana berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Hana," potong Ratu Elysia. "Kau pasti berpikir bahwa aku gila. Tapi aku tidak bisa menahan perasaanku. Aku benar-benar mencintai Tora."

Hana terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Hana, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak bermaksud untuk menyakitimu," kata Ratu Elysia dengan tulus. "Aku tahu kau juga mencintai Tora. Aku tidak ingin kau merasa tersisih."

Hana menatap Ratu Elysia dengan mata berkaca-kaca. "Lalu, apa yang akan terjadi padaku, Yang Mulia?" tanyanya dengan suara lirih.

Ratu Elysia tersenyum lembut. "Kau juga akan menikah dengan Tora, Hana," katanya.

Hana semakin terkejut. "A-apa?"

Ratu Elysia mengangguk. "Aku ingin kita bertiga hidup bersama sebagai keluarga. Aku akan menjadi istri pertama Tora, dan kau akan menjadi istri keduanya."

Hana terdiam. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Ratu Elysia ingin ia menjadi istri kedua Tora?

"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, Hana," kata Ratu Elysia. "Tapi aku yakin ini adalah jalan terbaik untuk kita semua. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik, Hana. Aku akan mencintaimu seperti adikku sendiri."

Hana masih terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bingung, takut, dan cemas.

Ratu Elysia menghela napas panjang. "Hana, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah untukmu. Tapi aku mohon, pikirkanlah baik-baik. Aku yakin ini adalah jalan terbaik untuk kita semua."

Hana mengangguk pelan. Ia berjanji akan memikirkan usul Ratu.

Hana mondar-mandir di kamarnya, perasaan campur aduk menguasai dirinya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, matanya berkaca-kaca.

"Bagaimana ini?" gumamnya lirih, suaranya bergetar. "Aku mencintai Tora, tapi Ratu Elysia juga mencintainya. Dan dia mengusulkan... pernikahan poligami?"

Hana mengacak-acak rambutnya, frustasi. "Apa aku harus menerima usulnya? Apa aku bisa berbagi Tora dengan orang lain? Tapi, bagaimana dengan perasaanku?"

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Tapi tunggu dulu," gumamnya lagi, "bukankah aku bisa pulang ke duniaku? Aku bisa meninggalkan semua masalah ini dan kembali ke kehidupan normal."

Hana terdiam sejenak, merenungkan pilihannya. "Tapi... tapi aku menyukai tempat ini. Aku menyukai Elotalia, aku menyukai Tora, dan aku juga menyukai Ratu Elysia."

Ia kembali mondar-mandir, pikirannya kacau. "Aku harus bagaimana? Apa aku harus mengorbankan perasaanku demi kebahagiaan Tora dan Ratu Elysia? Atau aku harus egois dan memilih kebahagiaanku sendiri?"

Hana menatap pantulan dirinya di cermin lagi. "Aku bingung," katanya lirih. "Aku benar-benar bingung."

Ia menghela napas panjang lagi, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memejamkan mata, berusaha mencari jawaban di dalam hatinya. Namun, semakin ia berusaha, semakin ia merasa bingung.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa," gumamnya putus asa.

Hana membuka matanya, menatap langit-langit kamar. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Ia tidak tahu harus memilih jalan yang mana. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberikan jawaban yang ia cari.

Kelelahan fisik dan emosi akhirnya mengalahkan Hana. Ia tertidur di tepi ranjang, air mata masih membasahi pipinya. Dalam tidurnya, mimpi aneh muncul. Ia melihat dirinya, Tora, dan Ratu Elysia berdiri di tengah padang bunga yang indah. Ketiganya saling berpandangan, lalu perlahan mendekat dan berciuman.

Hana terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu intens. Ia mengusap keringat di dahinya, pikirannya kacau.

"Apakah ini yang terbaik?" gumamnya pada diri sendiri, mengingat kembali mimpi yang baru saja ia alami. "Apakah aku bisa menerima hubungan seperti ini?"

Suara kokok ayam dari kejauhan menyadarkan Hana dari lamunannya. Ia bangkit dari ranjang, berjalan ke jendela, dan melihat matahari mulai terbit di ufuk timur. Sinar hangat mentari menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan di hatinya yang gelisah.

"Aku harus mencari jawabannya," gumam Hana dengan tekad baru. "Aku harus menemukan jalan yang terbaik untuk kita semua."

Pagi itu, Hana mencari Tora dengan langkah tergesa-gesa. Ia menemukan Tora sedang duduk sendirian di taman istana, menatap kosong ke arah air mancur.

"Tora," panggil Hana, suaranya sedikit bergetar.

Tora menoleh, melihat Hana dengan ekspresi terkejut. "Hana, ada apa? Kau terlihat pucat."

Hana duduk di samping Tora, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Tora, aku harus bicara denganmu. Ini tentang Ratu Elysia."

Tora mengerutkan keningnya. "Ratu Elysia? Ada apa dengannya?"

Hana menceritakan semua yang terjadi tadi malam, tentang pengakuan Ratu Elysia dan usul pernikahan poliandri yang mengejutkan. Tora mendengarkan dengan seksama, matanya membelalak karena kaget.

"Apa?" seru Tora tidak percaya. "Ratu Elysia ingin menikah denganku? Dan... dan dia ingin kau menjadi istri keduaku?"

Hana mengangguk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Tora. Aku bingung."

Tora meraih tangan Hana, menggenggamnya erat. "Tenanglah, Hana. Kita akan mencari jalan keluar bersama-sama."

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Mereka menoleh dan melihat Ratu Elysia berjalan ke arah mereka, wajahnya terlihat serius.

"Tora," panggil Ratu Elysia, "bolehkah aku bicara denganmu sebentar?"

Tora mengangguk, lalu berdiri dan mengikuti Ratu Elysia. Mereka berjalan menuju gazebo yang terletak di tengah taman. Hana memperhatikan mereka dari kejauhan, hatinya dipenuhi kecemasan.

Di dalam gazebo yang tenang, Ratu Elysia duduk berhadapan dengan Tora. Ekspresinya tampak serius, namun ada sedikit keraguan di matanya.

"Tora," Ratu Elysia memulai dengan suara lembut, "aku ingin meminta maaf atas perkataanku semalam. Aku tahu aku membuatmu dan Hana bingung."

Tora mengangguk pelan. "Saya akui, Yang Mulia, saya juga bingung dengan situasi ini."

Ratu Elysia menghela napas panjang. "Aku tahu ini tidak mudah untuk diterima, tapi aku benar-benar mencintaimu, Tora. Dan aku yakin, dengan bantuan Geiso, kita bisa mengatasi pengaruh Bayangan Kegelapan dan hidup bahagia bersama."

Tora terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Ratu Elysia. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia juga memiliki perasaan terhadap Ratu Elysia, namun ia juga mencintai Hana. Ia tidak ingin menyakiti salah satu dari mereka.

"Yang Mulia," Tora akhirnya berkata, "saya juga memiliki perasaan terhadap Anda. Tapi saya juga mencintai Hana. Saya tidak ingin menyakiti salah satu dari kalian."

Ratu Elysia tersenyum tipis. "Aku mengerti, Tora. Aku tidak ingin memaksamu untuk memilih. Tapi aku berharap kau bisa memberikan kesempatan pada kami berdua."

Tora mengangguk. "Saya akan mencoba, Yang Mulia."

Ratu Elysia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Tora. "Terima kasih, Tora. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama-sama."

Tiba-tiba, Hana muncul di pintu gazebo. Ia telah mendengar percakapan Tora dan Ratu Elysia.

"Maaf, Yang Mulia," kata Hana, "tapi saya ingin berbicara dengan Anda berdua."

Ratu Elysia melepaskan tangan Tora dan mempersilakan Hana masuk. Hana duduk di samping Tora, menatap Ratu Elysia dengan tatapan serius.

"Yang Mulia," kata Hana, "saya tahu Anda mencintai Tora, dan saya juga tahu bahwa Tora memiliki perasaan terhadap Anda. Tapi saya juga mencintai Tora, dan saya tidak ingin kehilangan dia."

Ratu Elysia mengangguk. "Aku mengerti, Hana. Aku tidak ingin kau merasa tersisih. Aku ingin kita bertiga bisa hidup bersama sebagai keluarga."

Hana terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya tidak yakin apakah saya bisa menerima usul Anda, Yang Mulia. Tapi saya bersedia untuk mencoba. Saya bersedia untuk memberikan kesempatan pada kita bertiga."

Ratu Elysia tersenyum bahagia. "Terima kasih, Hana. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."

Mereka bertiga kemudian berdiskusi panjang lebar tentang bagaimana mereka akan menjalani hubungan poligami ini. Mereka tahu bahwa ini tidak akan mudah, tapi mereka bertekad untuk mencobanya. Mereka percaya bahwa dengan cinta dan pengertian, mereka bisa mengatasi segala rintangan.

Setelah diskusi panjang yang dipenuhi dengan air mata, tawa, dan pelukan hangat, Tora, Hana, dan Ratu Elysia akhirnya mencapai kesepakatan. Mereka akan menjalani pernikahan poligami, sebuah keputusan yang tidak biasa namun mereka yakini sebagai jalan terbaik untuk kebahagiaan mereka bersama.

Hana, dengan mata berkaca-kaca namun penuh tekad, mengajukan satu syarat penting. "Yang Mulia, Tora," katanya dengan suara yang sedikit bergetar, "saya menerima usul Anda, tapi dengan satu syarat."

Ratu Elysia dan Tora menatap Hana dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutannya.

"Saya ingin kita selalu bersama, bertiga," Hana melanjutkan, suaranya semakin mantap. "Tidak peduli di mana pun kita berada, di kamar tidur, di meja makan, atau di mana pun, kita harus selalu bersama."

Tora dan Ratu Elysia saling berpandangan sejenak, lalu tersenyum. Mereka mengerti kekhawatiran Hana. Mereka tahu bahwa Hana takut akan merasa tersisih atau diabaikan jika mereka tidak selalu bersama.

"Tentu saja, Hana," jawab Ratu Elysia dengan lembut. "Kami akan selalu bersama, bertiga. Itu adalah janji kami padamu."

Tora mengangguk setuju, menggenggam tangan Hana dengan erat. "Aku mencintaimu, Hana. Aku tidak akan pernah membiarkanmu merasa sendirian."

Hana tersenyum bahagia, air matanya kini mengalir karena haru. Ia merasa lega dan bersyukur karena Tora dan Ratu Elysia mengerti perasaannya.

Geiso, yang sedari tadi menyaksikan percakapan mereka, tersenyum penuh arti. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak mudah bagi mereka bertiga, tapi ia yakin bahwa mereka akan bisa menjalaninya dengan baik.

"Selamat, anak-anak muda," kata Geiso dengan suara hangat. "Semoga kalian selalu bahagia."

Tora, Hana, dan Ratu Elysia berpelukan erat, merayakan keputusan mereka. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, tapi mereka yakin bahwa dengan cinta dan pengertian, mereka bisa mengatasi segala rintangan.

Mereka bertiga kemudian kembali ke kamar masing-masing, hati mereka dipenuhi dengan harapan dan impian tentang masa depan yang indah. Mereka tahu bahwa mereka telah membuat keputusan yang tepat, keputusan yang akan membawa mereka pada kebahagiaan sejati.

Keesokan paginya, Ratu Elysia mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun istana. Ia berdiri di balkon istana, didampingi oleh Tora dan Hana yang berdiri di sampingnya dengan anggun. Matahari pagi menyinari wajah mereka, membuat mereka terlihat seperti tiga dewa-dewi yang turun dari langit.

Dengan suara lantang dan penuh wibawa, Ratu Elysia mengumumkan, "Rakyat Elotalia yang kucintai, hari ini aku ingin menyampaikan kabar gembira. Dalam satu bulan lagi, aku akan menikah dengan Tora, dan Hana juga akan menjadi istri Tora. Kami bertiga akan memimpin Elotalia bersama-sama, dengan cinta dan kebijaksanaan."

Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai gembira dari rakyat Elotalia. Mereka telah lama menantikan kehadiran seorang raja, dan kini mereka akan memiliki bukan hanya satu, tapi dua ratu yang cantik dan bijaksana.

Tora, yang baru saja tersadar dari lamunannya, terbelalak kaget. "Tunggu dulu," gumamnya pada dirinya sendiri, "apa aku tidak salah dengar? Aku akan menjadi raja di sini?"

Ia melirik Hana dan Ratu Elysia, yang tersenyum bahagia padanya. Tora merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang raja, apalagi di dunia fantasi seperti Elotalia.

"Tapi... tapi aku belum bisa apa-apa," gumam Tora lagi, merasa tidak percaya diri.

Hana menggenggam tangan Tora, memberikannya kekuatan. "Kau pasti bisa, Tora," bisik Hana dengan lembut. "Aku percaya padamu."

Ratu Elysia juga tersenyum pada Tora. "Jangan khawatir, Tora," katanya. "Kami akan membantumu. Bersama-sama, kita akan membuat Elotalia menjadi kerajaan yang lebih baik lagi."

Tora menatap kedua wanita yang dicintainya, lalu menatap rakyat Elotalia yang bersorak-sorai di bawah balkon istana. Ia merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa ini adalah takdirnya, dan ia akan menerimanya dengan lapang dada.

"Terima kasih atas kepercayaan kalian," kata Tora dengan suara lantang, membuat rakyat Elotalia semakin bersorak gembira. "Aku berjanji akan menjadi raja yang baik dan bijaksana. Aku akan memimpin Elotalia menuju masa depan yang lebih cerah."

Tora mengulurkan tangannya ke arah rakyat Elotalia, senyuman lebar terpancar di wajahnya. Ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh dengan tantangan dan petualangan.

Bersambung...