webnovel

Bab 6

"Ayahnya siapa yang kalau berjalan miring?" tanyaku sambil tetap tertawa sementara Josh tersenyum geli menahan tawa. Kami, aku dan Josh menghabiskan waktu sore di jembatan pinggir kebun tebu sambil bermain tebak-tebakkan. Josh di atas sepedanya sedangkan aku duduk di pembatas jembatan sambil mengayun-ayunkan kakiku di udara.

"Aku tidak tahu," Josh menggeleng dan menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya yang terbuka di depan dada.

"Ayahmu membawa ember berisi air, ha ha ha," aku kembali tergelak, seringai tawaku menyemarakkan suasana.

"Papaku tidak pernah membawa ember. Ini tidak adil!" Josh mengerucutkan bibirnya, membuat wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Ingin rasanya kucubit kedua pipinya itu.

"Kenapa kau menyebut ini tidak adil? Ini adil dan kau kalah,"

"Ah! Kau curang," Josh turun dari humbernya dan berdiri di depanku, "itu bukan hal umum bagiku. Kita ulangi lagi permainan ini, beri aku satu kesempatan untuk bertanya,"

"Aku tidak mau, kau kalah dan permainan selesai,"

"Ayolah Maudy," kali ini dia merengek manja layaknya anak kecil minta tambah makan tapi nasinya sudah habis. Kasihan. Maka, kuberikan satu kesempatan lagi baginya. Kami bermain tebak-tebakkan untuk putaran kedua. Tawa kami mengiringi gemericik air yang mengalir kecil di bawah jembatan serta kicauan burung-burung yang bertengger di pepohonan di sekitar kami.

Ini adalah saat yang paling menyenangkan ketika aku bersama Josh, saat dimana aku duduk di sadel belakang sepeda sementara Josh mengayuh pedal sepedanya di depanku. Aku suka bisa berada sedekat ini darinya, melihat punggungnya. Punggung yang membuatku ingin merengkuh Josh, memeluknya. Kugigit bibir bawahku untk menghilangkan pemikiran bodoh. Melewati jalan sepi, menanjak, kutukar topiku dengan topinya.

"Kau kalah cantik sekarang," Josh tergelak oleh komentarnya sendiri, aku pun tersenyum mendengarnya. Membuat bibirku menjadi segaris tipis untuk menahan tawa. Kupikir dia benar juga, dia itu cowok cantik. Untung saja dia bukan anak perempuan.

Sudah kuputuskan, bahwa aku tidak akan menjauh dari Josh. Yang penting Kak Rusli tidak melihat, kurasa posisiku sudah aman. Aku tidak mau terbebani dan membuat Josh ikut dipusingkan karena pandangan Kak Rusli tentang orang-orang Belanda dan ideologi kakakku. Yang akan kulakukan sekarang adalah, tetap menemui Josh. Pergi bersamanya ke tempat-tempat favorit kami. Mulai dari jembatan di kebun tebu hingga bukit. Aku bersyukur karena tempat-tempat itu bukanlah tempat yang ramai jadi kami tidak perlu bersembunyi-sembunyi dari Kak Rusli dan aku juga tidak perlu menjawab segala pertanyaan Josh. Sejauh ini aku nyaman, kuharap Kak Rusli segera kembali ke Stovia.

Aku sering pergi bersama Josh, menghabiskan waktu dengannya membuatku melupakan segala kebencianku pada sikap Kak Rusli dan ketakutanku tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Bukit adalah tempat yang paling sering kami gunakan untuk menikmati hari bersama-sama. Awalnya, kupikir Josh tak mau lagi datang ke bukit setelah tragedi kupu-kupu di hari pertama dia menginjakkan kaki disana. Tetapi kenyataan berkata lain, Josh justru lebih menyukai tempat ini dibanding kesukaanku.

Josh suka sekali duduk di atas rerumputan sembari memandang lepas panorama di bawah bukit, menyaksikan lukisan bumi yang terbentang luas di bawah sana. Dia paling suka jika ke bukit di sore hari, di saat camar-camar terbang rendah seolah hendak mengikuti jejak matahari yang bersembunyi di balik kaki langit. Bias-bias kemerahan tergores di langit berhias awan-awan tipis, angin sore sepoi-sepoi membawa aroma persawahan, menciptakan nada-nada alam dari gemerisik ranting dan dedaunan yang berpadu dengan harmonisasi kicau-kicau burung yang bertengger di pucuk-pucuk cemara.

"Tempat ini sangat indah, aku tidak mampu menyebutkan tempat yang lebih indah dari ini. Tapi aku tahu hal yang lebih indah dari segalanya, yaitu kau," rangkaian kata-kata yang sambung menyambung menjadi kalimat romantis itu membuat pipiku merona. Aku tahu Josh sedang merayuku dengan kata-katanya, dan dia sukses membuatku tersipu.

Dia, Josh memang pandai membuatku bahagia dan menjadikan hatiku semakin mencintainya. Dia suka memberiku kejutan menyenangkan. Mulai dari kedatangannya yang selalu tiba-tiba , surat-surat berisi puisi yang dia titipkan kepada Piet atau Richard. Dua serdadu muda itu adalah orang lain yang mengetahui hubunganku dengan Josh. Dia juga suka menyanyikan lagu-lagu indah dengan suaranya yang ternyata sangat merdu. Serta, dia pernah memberiku sebuah penjepit rambut berwarna ungu , berbentuk bunga anggrek. Penjepit mungil yang cantik, secantik gadis pemakainya. Begitu kata Josh padaku.

Hari-hari menyenangkan dan membahagiakan bersama Josh yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku dan Josh, kami kini sepasang kekasih bahagia dan hanya ada empat orang yang mengetahuinya yakni: aku, Josh, Piet dan Richard. Dua serdadu muda Belanda yang sangat menyayangiku dan memperlakukanku layaknya adik mereka itu, mengetahui hubunganku dengan Josh secara tidak sengaja. Mungkin karena mereka terlalu memperhatikanku, perhatian yang tidak sewajar perhatian orang lain padaku. Sampai pada suatu hari, ketika aku dan Josh berkunjung ke pos mereka. Aku terjebak dalam gurauan mereka dan tanpa kusadari, aku mengaku. Mereka baik dan memahami posisiku, mereka hafal seperti apa Kak Rusli dan kedua orang tuaku. Tanpa kuminta sebelumnya pun, mereka secara sukarela langsung membantuku untuk bersembunyi dari Kak Rusli. Hanya aku, tidak dengan Josh karena Josh sendiri tak tahu bahwa aku merahasiakan hubungan kami.

"Kenapa waktu di pasar beberapa hari lalu kau pergi? Waktu itu kau dengan siapa? Apa kau melihatku?" Pertanyaan Josh yang melenceng jauh dari percakapan awal kami. Pertanyaan itu sukses membuatku merasa seperti aku disodori pistol supaya meledakkan kepalaku atau aku memilih untuk dipenggal. Aku benar-benar tidak mampu mengucapkan apapun. Belum pernah kuceritakan sedikit pun tentang Kak Rusli kepada Josh. Kukira, Josh sudah tak mengingat hal itu lagi atau memang dia tidak melihatku, tapi ternyata semua dugaanku salah. Satu hal bodoh jika aku harus mengatakan kebenaran bahwa aku menghindar darinya tapi aku juga bukan seorang pembohong.

"Dia kakakku. Maaf, bukan apa-apa tapi kami memang sedang terburu-buru," akhirnya itulah yang kuucapkan. Aku tidak berbohong. Kukatakan kebenaran tapi dengan cara yang berbeda, aku tidak mengatakan kebenaran secara menyeluruh. Hari itu aku memang terburu-buru karena ingin bergegas dari pandangan Josh. Sedikit jawaban itu saja sudah cukup memuaskan Josh, jadi bukan kesalahanku kalau dia tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak bertanya lebih lanjut.

Selama jalan bersama Josh, sudah dua kali aku diajak untuk bertemu Tuan Schoonhoven. Pertama saat untuk kedua kalinya aku berkunjung ke kediamannya, aku bersyukur karena Ibunya Josh yang beraut menyebalkan itu tidak ada. Hari itu, kami bersenang-senang. Tuan Schoonhoven mengajakku dan Josh bermain kartu di teras belakang, bercerita tentang keburukan-keburukkan Josh yang menurutku lucu. Hal paling menyenangkan adalah saat beliau mengajariku berdansa. Pertemuan ketiga kami adalah suatu kebetulan menyenangkan. Aku bertemu dengannya dalam perjalananku menuju menuju rumah, sepulang sekolah. Dia memberiku tumpangan, mengantarku pulang dengan mobilnya kemudian mampir sebentar untuk bercakap-cakap dengan ayah. Ayah dan Tuan Schoohoven ternyata lebih akrab daripada dugaanku.

Tuan Schoonhoven orang yang sangat baik dan penyayang, sama seperti Josh. Buah memang selalu jatuh tak jauh dari pohonnya. Memang, kuakui awalnya aku kurang suka dan bisa disebut takut dengan tatapan matanya, mata biru yang tak pernah membuatku nyaman. Karena itu, aku tidak pernah berani menatapnya. Meskipun begitu Tuan Schoonhoven tetap masuk daftar orang baik yang pernah kukenal. Dia sangat menyayangi Josh, suka sekali menggosok-gosok kepala Josh, mencium kening dan memeluk Josh.Selain pandai berdansa, dia juga piawai bermain piano. Di hari saat dia mengajariku berdansa, dia juga mengiringi aku dan Josh dengan alunan musik klasik yang memukau.

Semuanya berjalan begitu baik dan menyenangkan kecuali orang-orang pribumi yang mempersinis pandangannya kepadaku. Aku mencoba untuk tidak peduli tapi aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa ini sangat menyakitkan. Mereka mulai membicarakan tentang aku dan Josh. Aku mendengar sebagian besar bisik-bisik busuk mereka, manusia-manusia berkulit coklat penuh keringat, para budak-budak Belanda tak berotak, pantas saja hanya kalimat tak terhormat yang terumbar dari mulut bernanah mereka. Aku hanya berharap semoga kabar ini tak sampai di telinga Kak Rusli maupun kedua orang tuaku selama Kak Rusli berada disini.

"Ratri, hari ini kau jadi belajar bersamaku?" Tanyaku pada Ratri yang sedang membenarkan bros berbentuk bunga mawar di kebayanya. Sejurus dia memandangku, tapi hanya sejenak. Dia mengalihkan matanya, ada apa dengannya?

"Maaf Maudy, aku mau langsung pulang,"

"Ehm, baiklah. Kalau begitu, ayo ki,"

"Sampai jumpa," Dia menyahut dan bergegas. Hey! Aku ingin mengajaknya pulang bersama, sudah lama kami tidak jalan bersama karena Josh selalu sudah menungguku di bawah pohon jambu ujung jalan sana. Apa dia tidak merindukanku? Atau dia ingin balas dendam? Bodoh, bukankah ini sebuah kesempatan menyenangkan? Sudah dua hari Josh tidak datang, jadi aku dan dia bisa bersama.

Kulangkahkan kakiku dengan bermalas-malasan, matahari benar-benar tak bersahabat siang ini. Biru sempurna sang mandala tanpa setitik awan pun, panas yang konyol. Jalanan sepi tak ada orang lain selain diriku sendiri yang menderakkan jalanan berbatu di bawah kakiku. Pos serdadu tempat Piet dan kawan-kawannya juga kosong, hari ini Josh juga tidak menemuiku lagi. Ini hari yang berbeda dengan suasana serta langit yang berbeda pula. Kuubah arahku, seharusnya aku melangkah lurus mengikuti jajaran pohon jati di kanan dan kiri jalan tapi aku memutar langkah, berbelok sembilan puluh derajad, mencari jalan yang lebih jauh untuk sampai rumah.

"Permisi," seseorang berbicara, memecah keheningan, sejurus kubalikkan badan dan kudapati seorang pria tua telah berdiri di hadapanku. Pria yang sudah tak asing lagi bagiku meskipun belum kuketahui namanya, tapi yang jelas dia adalah bujang di kediaman Tuan Schoonhoven.

"Tuan muda menitipkan ini," sebelum aku bertanya, dia sudah menjawab pertanyaan yang memang ingin kuajukan, dia merogoh saku celananya lalu menyerahkan sepucuk surat beramplop. Ragu-ragu aku menerimanya tapi akhirnya benda itu telah berpindah tangan juga.

"Ini apa?"

"Saya juga kurang tahu Nona. Tuan Muda hanya berpesan supaya saya memberikan surat ini kepada Nona sebelum dia pergi tiga hari yang lalu," Kupererat genggamanku pada surat itu. Menghilang kemudian dia menitipkan sepucuk surat tidak berguna yang menceritakan kepergiannya.Apa dia pikir aku sudah gila?

"Dia pergi kemana?" kutekan api amarah yang bergejolak dalam diriku agar tak membakar pria tak bersalah ini.

"Saya tidak tahu nona, mereka pergi mendadak. Hampir tengah malam, mungkin akan cukup lama."

Baiklah, aku marah. Dia pergi dalam waktu tak pasti, tanpa permisi seolah dia lenyap ditelan bumi. Permainan yang bagus Josh, surat yang kini kumal di saku rokku sama sekali tidak berguna meski nanti aku membacanya. Aku bukan gadis yang suka membaca, dan sepertinya dia belum tahu hal ini.

Kutendang sebuah batu yang tergeletak di depan kakiku. Melambung dia dan jatuh ke semak-semak pinggir jalan, semoga saja tak mengenai kepala makhluk ghaib penunggu pohon besar di samping semak itu. Ini menyeramkan, pikiranku kacau karena Josh. Kupercepat langkahku, lebih lebar, lebih cepat dan lebih lebar lagi, sampai akhirnya kuputuskan untuk berlari setelah kudengar suara "krusek" , sepertinya hantu itu memang ada. Aaarrrgh! Kenapa tempat ini sepi sekali? Aku terus berlari, berlari dan berlari sampai kurasa semuanya benar-benar aman dan aku tidak dikejar hantu kesiangan lagi. Semoga aku cepat mencapai kebun tebu, karena pasti ada banyak pekerja disana. Tempat ramai adalah tempat teraman dari ketakutan bodoh seperti ini.

Apa-apaan ini? Perlahan tapi pasti kecepatan lariku berkurang dan akhirnya kuputuskan untuk berjalan. Keadaan aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya kini hadir di depan mataku. Bukan! Ini bukan hantu yang kurasa mengejarku tadi, melainkan kumpulan pekerja di kebun tebu yang seharusnya bekerja, kini justru duduk bersantai di pinggir kebun. Dari kejauhan, aku lihat Piet, Richard dan ketiga kawan mereka sedang terlibat pembicaraan serius yang menjurus ke perdebatan sengit dengan beberapa pekerja. Piet mulai panas, dia bahkan melempar topinya ke tanah karena kekesalan itu.

Wajah-wajah coklat mengkilat, berkeringat dan membiaskan terik sinar matahari. Amarah, kekecewaan yang bercampur dengan ketakutan nampak jelas dari sorot mata pria-pria pribumi, otot-otot tua mereka yang kusut, berkerut-kerut di kening, menunjukkan betapa otak mereka sedang berpikir dengan keras. Bisik-bisik pembicaraan terdengar selama aku berjalan melewati mereka dengan langkah pelan, sedikit-sedikit aku paham dan kupikir ini adalah sebuah kegilaan dari orang-orang yang mendadak menjadi pemberani.

Mereka mogok kerja, aku tidak tahu apa alasan mereka melakukan tindakan bodoh seperti itu. Aku hanya mendengar mereka berkata tentang keadilan. Setan macam apa yang telah merasuki mereka? Apa mereka mau ditembak mati atau diseret dengan kuda? Awalnya aku berniat untuk menyapa Piet, tapi saat aku semakin dekat dengannya, kuurungkan niatku dan kupercepat langkahku. Raut wajah Piet nampak sangat tidak bersahabat. Aku tidak berani dan tidak terlalu bodoh untuk mengusiknya.

Apakah tidak ada malaikat yang turun hari ini? Aku merasa ada terlalu banyak masalah yang kutemui. Pertama, Ratri menjadi aneh, surat bodoh dan tidak penting dari Josh, pekerja mogok dan sekarang, seorang tuan Belanda berambut pirang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat dari tempatku berpijak sekarang. Di ruang tamu itu juga ada Ayah dan Kak Rusli yang bercakap-cakap serius. Aku tahu itu dari raut wajah Ayah dan Kak Rusli. Sudah kuhafal benar ekspresi macam apa di wajah kakakku itu. Amarah membuncah yang ditahan.

Si Tuan Belanda berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya seolah ingin mempertegas setiap kata yang dia ucapkan. Sesekali kulihat juga dia menunjuk-nunjuk wajah ayah yang berusaha untuk sabar, bersikap tetap hormat dengan menundukkan pandangannya.

"Seharusnya jij tidak melakukan ini. Apa jij mau bertanggungjawab kalau rakyat tak makan ha? Jij sudah melanggar janji. Menusuk kami dari belakang dan tidak mau mengakuinya. Vervelend!"

Akhirnya kudengar juga, aku mendengarnya dan ini berhubungan dengan kejadian di ladang jagung tadi. Apa benar ayah menyuruh para pekerja itu? Melawan pemerintah Belanda? Itu tidak mungkin! Aku tahu siapa ayah, dia bukan orang seperti itu. Kalau memang benar ayah melakukannya, apa alasannya? Bukankah ayah sendiri yang dulu mengizinkan Belanda untuk mengolah tanahnya?

"Cukup!" sebuah sentakkan dan gebrakan meja mengejutkanku, memaksaku untuk bersembunyi di balik daun pintu. Kak Rusli, ada apa dengannya? Dia berbicara kasar dan menggebrak meja? Napasku naik turun mengikuti irama detak jantungku yang tak menentu.

"Sebaiknya tutup mulut anda dan pergi!" Aku tahu seperti apa bahasa tubuh Kak Rusli meskipun sekarang aku tak melihatnya. Kak Rusli pasti sedang berdiri sambil menunjuk pintu yang terbuka lebar sementara matanya menatap Tuan Belanda itu dengan tajam.

"Dengarkan saya baik-baik," Suaranya yang tadi keras kini sedikit dia tekan supaya terdengar lebih pelan. Gertakan giginya membuat setiap kata yang terlontar dari mulutnya terdengar sebagai ancaman kematian, "katakan pada Meneermu bahwa dia tidak berhak berbicara sepatah kata pun, berpikir tentang kejahatan pada diri kami pun adalah sebuah dosa terbesar yang seharusnya tidak akan pernah ada di otaknya. Ecamkan itu,"

"Jij akan menyesal anak muda. Ingat kepada siapa jij berbicara dan siapa yang jij bicarakan," Suara kursi digeser disusul langkah kaki, segera kurapatkan tubuhku ke dinding, berharap posisiku semakin aman. Tuan Belanda berpakaian serba putih itu keluar dengan langkah cepat dan keras menghentak, membuat tanah di bawah kakinya berderak dan debu-debu berterbangan. Dia berjalan sembari mengoceh, membuat kutukan-kutukan dalam bahasa Belanda. Kubiarkan tubuhku tetap di posisi ini, di balik pintu utama rumah kami sampai yakin bahwa Ayah dan Kak Rusli sudah tidak berada di ruang tamu lagi. Aku tidak mau mereka tahu bahwa aku mendengar semuanya.

***

Konflik panas akan dimulai. Terimakasih yang sudah baca cerita ini, aku bakal update 2 hari sekali ya.

NarnieJanuarycreators' thoughts