webnovel

Bab 5

Air yang menggenang di jalan sekitar penjual ikan beriak dan terciprat membasahi sepatuku ketika aku melangkah dengan cepat dan kuat. Kak Rusli mengikutiku, aku yakin dia bingung melihat tingkahku. Mungkin dia berpikir aku takut melihat Tuan Schoonhoven yang memaki para petani. Kuharap memang itu kenyataannya. Sengaja kuhindari Josh karena aku takut laki-laki itu menyapa untuk kemudian menghampiriku. Akan jadi masalah besar jika Kak Rusli tahu aku akrab dengan Josh, anak pejabat pemerintah Belanda. Aku bergaul dengan serdadu saja, dia sudah berceramah dan membuat telingaku panas mendengarnya.

***

Untuk pertama kalinya kugunakan kalung pemberian ibuku. Membuat gadis-gadis Belanda , teman sekelasku menghujaniku dengan pertanyaan yang sama: " Dimana kau membelinya?" dan untuk kesekian kalinya di hari ini, aku harus menjawab dengan jawaban yang sama pula,

"Ini pemberian ibuku, dia bilang hanya aku yang memilikinya,"

Sudah kuputuskan untuk selalu memakai kalung ini. Awalnya aku takut benda berharga ini akan hilang, tetapi ternyata memakainya di depan umum dan membuat orang lain iri bisa membuatku merasa lebih daripada mereka, aku suka ini. Seharusnya kupakai saja kalung berliontin koin bertahta batu safir ini sejak dulu.

Ada dua perasaan dalam diriku ketika aku harus pergi meninggalkan Ratri dan pergi bersama Josh yang tiba-tiba datang saat aku dan Ratri sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju ke rumah. Aku sebenarnya tak ingin pergi, karena tak mau dekat-dekat dulu dengan Josh selama Kak Rusli masih berada di rumah dan belum kembali ke Stovia. Membayangkan Josh bertemu dengan Kak Rusli selalu membuatku dihantui ketakutan yang luar biasa. Selain itu, aku juga tidak enak hati pada Ratri, sudah lama aku tidak berjalan bersama dia. Tapi, sinar mata dan raut wajah Josh yang mengisyaratkan keseriusan serta pengharapan tulus, membuatku tak mampu untuk menolaknya.

Dia mengajakku ke bukit. Aku tidak tahu apa lasannya. Awalnya kupikir dia tidak mau menginjakkan kaki lagi di tempat ini setelah kejadian kupu-kupu di kali pertama kunjungannya. Sepanjang perjalanan, kami dikurung dalam keheningan. Kebisuan yang mendera antara aku dan dia. Kupikirkan beberapa topik pembicaraan, namun tak satu pun yang meluncur dari bibirku untuk sekadar mengubah suasana.

Hingga akhirnya kami, aku dan Josh melangkah menaiki anak tangga dari bebatuan yang tersusun menuju puncak bukit. Sikapnya sedikit berubah disini. Dia berjalan lebih dekat denganku, matanya waspada memperhatikan setiap tempat di balik semak belukar dan pohon-pohon di kanan-kiri tangga. Seekor kupu-kupu terbang melintasi beberapa anak tangga di atas kami. Sejurus Josh menghentikan langkahnya.

"Jangan kau tangkap itu," dia memperingatkan dengan raut memohon. Sekarang aku tahu kenapa dia begitu berhati-hati.

"Aku sudah berjanji," kataku diiringi senyuman kecil, tapi dia tak terlalu peduli. Dia melangkah lagi.

"Josh, kenapa kau mengajakku kesini?" tanyaku lembut walau sebenarnya rasa jengkel mulai merambat dalam hatiku. Sudah hampir setengah jam, aku dan anak meneer berambut pirang ini duduk berdiam diri. Duduk mematung seperti dua bongkah batu baru penghias hamparan rumput hijau di atas bukit. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan kesabaran dengan mengalihkan perhatian mataku ke jajaran pohon cemara di tepi bukit dan pucuk-pucuk batang pohon jati yang menjulang tinggi dari jurang samping bukit. Gemerosok suara daun-daun jati ketika tertiup angin sore yang cukup kencang terdengar seperti tawa renyah tanda ledekan pada aku dan Josh.

"Josh," aku sudah tak tahan lagi, mataku kembali menatapnya yang memandang lurus ke depan, "sebenarnya untuk apa kita kesini? Aku bosan kalau hanya duduk seperti orang bodoh. Kalau tak ada hal penting sebaiknya kita pulang saja, aku tidak mau terkena masalah dengan," kata-kataku terpotong, untung kesadaranku masih mampu mengendalikan diriku untuk tidak menyebutkan nama Kak Rusli.

Josh masih saja bergeming, hingga akhirnya kudengar dia menghembuskan napas pendek dan berat seraya menunduk dengan sedikit memalingkan wajah dariku. Kuperhatikan dia, menelisik lebih jauh dan tertangkaplah oleh mataku sebutir benda bening memantulkan sinar matahari senja dan nampak seperti mutiara jatuh dari wajah Josh, menetes di punggung tangannya. Dia menangis.

"Josh kau kenapa?" kudekatkan tubuhku dengannya, menelisik Josh yang tertunduk. Dia masih menangis. Bulir-bulir air mata kembali menetes, menyatu dengan tetesan pertama di punggung tangannya tadi.

"Josh katakan sesuatu," aku mulai cemas. Dia lalu mengangkat kepala, menatapku dengan matanya yang merah dan basah karena air mata, bibir bawahnya bergetar menahan isakan.

"Andai aku bisa mengatakannya," katanya, tangannya mencengkram erat garbadin putihnya hingga kusut, "rasanya sakit sekali, Maudy,"

"Iya, tapi kenapa? Katakan kenapa kau menangis," tanpa kehendakku sendiri, setetes air mata mengalir dipipiku, diikuti air mata berikutnya yang turut membasahi pipiku. Aku tidak tega melihat Josh seperti ini.

"Cukup dengan kau disini," ujarnya lagi sembari menggeleng, menolak untuk bercerita, "Aku mohon jangan tanyakan kenapa, kumohon." dia kembali tertunduk, mengubah posisi kakinya dari bersila menjadi tertekuk. Dia duduk dengan memeluk lututnya di depan dada. Air matanya mengalir deras, kulihat pelukannya semakin erat. Dan saat aku mulai memahami bahwa Josh bukan seorang pencerita atau belum mampu bercerita. Dia mulai mengerang dalam tangisnya seolah dia telah menanggung begitu banyak kemurkaan dunia yang memberikan rasa sakit dan ketakutan luar biasa. Bodohnya aku tidak bisa melakukan apa pun selain diam untuk membuatnya lebih baik. Betapa tidak bergunanya diriku.

Akhirnya dia tersenyum, senyuman tulus yang menyusup melewati kepedihan dalam dirinya. Aku bahagia melihatnya kembali lagi setelah hampir satu jam dia menangis dan menenangkan dirinya sendiri. Menata hatinya agar pulih dengan caranya sendiri yang tak kupahami seperti apa jalannya. Bunga krisan liar berwarna ungu, dia petik dan dia selipkan di telingaku, membuat pipiku merona karena malu. Aku sedikit menunduk, menyembunyikan ekspresiku dari pandangan matanya.

Sejujurnya aku masih prihatin mengingat keadaannya tadi. Aku ingin dia berbagi denganku. Josh, aku yakin hal yang membuatnya menangis bukanlah hal yang sepele. Aku ingin dia tahu betapa ini akan menjadi pemikiran bagiku kalau aku tak kunjung mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Kuyakinkan dia melalui hatiku dengan sebuah kalimat tulus bahwa dia sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupku meskipun dia tak mendengar kalimat ini secara langsung.

"Kau yang terbaik yang pernah kutemui disini, Maudy," ucap Josh nyaris terdengar seperti berbisik. Sejurus kuangkat daguku, menatap matanya yang mampu meneduhkanku. Jantungku terasa berhenti seketika, kuharap ini bukan pertanda bahwa malaikat sedang bekerja untuk mencabut nyawaku.

"Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu" tambahnya lagi, aku sedikit memalingkan perhatian ke balik punggung Josh. Memandang matahari yang hendak menuju kaki langit senja, bergerak di sela-sela awan kemerah-merahan.

"Aku menyayangimu dan berjanji padamu serta diriku sendiri bahwa aku akan menjagamu," tutur kata Josh yang lembut berbalut pilihan kata-kata manis penuh arti membuatku larut dalam nuansa keromantisan senja oranye bersama Josh di atas bukit hijau, diiringi syahdunya hembusan angin yang berkolaborasi membentuk harmonisasi indah bersama kicauan burung-burung.

***

Jika penyihir dan dukun bisa mengubah sesuatu dalam satu jentikan jari dan mantra-mantra maka hati dapat mengubah kehidupan seseorang dalam hitungan lebih cepat tanpa mantra yang sulit untuk dilafalkan. Akibatnya pun lebih mengejutkan.

Josh mengubah hati dan hidupku hari ini. Percaya atau tidak, aku merasa dia telah membuat taman bunga di dalam hatiku setelah dia bilang bahwa dia menyayangiku, aku adalah hal terindah, dia akan menjagaku dan akhirnya menyimpulkan semua itu dengan kalimat "Ik hou van jij,". Maka akan kutanyakan kepada semua gadis: "hal apa yang lebih indah daripada yang kurasakan sekarang? Ketika cinta menyambutmu?"

Aku benar-benar bahagia hari ini. Rasa bahagia yang berbeda, belum pernah kurasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Josh adalah laki-laki pertama yang menempati hatiku. Tak kuketahui bagaimana awalnya tapi setiap kali bersamanya adalah saat-saat yang kutunggu. Dia membuatku nyaman meskipun terkadang menyebalkan karena sikap pendiamnya. Laki-laki menarik yang sulit untuk kupahami. Jujur, aku masih memikirkan kenapa dia menangis. Aku yakin bahwa tadi itu bukan suatu cara atau bagian dari rencananya untuk menyatakan cinta kepadaku.

Kulihat dan baru kusadari bahwa kesedihan dan kelelahan memang selalu menaunginya, tersembunyi di balik sinar mata indahnya yang mengiris hatiku, seolah meminta tolong. Itulah yang kulihat. Bahkan di saat dia menyatakan perasaanya padaku, saat dimana cinta bergelora di matanya, senyum simpul mengembang di sudut bibir merahnya, aku masih mampu melihat kesakitan hati dari air mukanya. Apa pun itu, kuharap suatu saat dia mau berbagi, menjadi lebih terbuka.

Angin sore berhembus membawa aroma cemara yang khas dan kuat. Josh berjalan di sampingku, bersamaku dalam perjalanan pulang menuju rumah. Dia menangkupkan garbadinnya sementara kakinya menendang-nendang sebuah kaleng bekas berkarat. Membiarkan klontang-klontang suaranya yang menyemarakkan keheningan antara aku dan Josh. Bersama kepak-kepak sayap camar di langit di atas kepala kami.

"Josh, bolehkah aku bertanya?" tanyaku dengan hati-hati. Aku tahu dia mempersilakanku untuk berbicara. Maka, kupikirkan kata-kata yang tepat agar dia tidak tersinggung.

"Ehm, jujur aku sangat bahagia kau menyatakan perasaanmu hari ini. Aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya," klotang-klontang kaleng terhenti, Josh membiarkan kaleng mainan kakinya tergeletak. Tertinggal di belakang, "tapi ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Aku tahu ini bukan hakku. Kalau kau tidak mau menjawab juga tidak apa. Aku hanya ingin menunjukkan kepedulianku padamu, Josh," kutarik napas panjang sejenak, "Kenapa tadi kau menangis?"

Sejurus Josh menghentikan langkahnya. Aku turut berhenti karenanya. Kurasa ada pilihan kata yang salah atau mungkin memang seharusnya aku tidak menanyakan hali itu.

"Aku belum ingin kau tahu," Kata Josh, perlahan dia beralih memandangku, "Aku ingin kita bisa berbagi kebahagiaan. Aku menyayangimu dan aku ingin membuatmu bahagia." Ditatapnya mataku lekat-lekat seolah-olah dia ingin aku tahu kesungguhan hatinya yang terpancar dari keteduhan pandangan matanya.

"Aku mengerti," dan akhirnya aku menyerah. Mungkin memang belum waktunya untuk Josh bercerita.

***

"Kenapa kau pulang terlambat?" Kak Rusli mengejutkanku di ambang pintu depan. Bau sabun tercium olehku, dia baru saja mandi, terlihat juga dari badannya yang segar serta rambut basahnya setelah keramas. Ini rasanya seperti aku seorang anak nakal yang tertangkap basah mencuri tebu oleh serdadu.

"Ak, aku…" Aku benar-benar tidak tahu dan kesulitan untuk berkata-kata. Belum pernah sekalipun aku membohongi Kak Rusli dan kalau aku mengatakan kebenaran, itu sama saja dengan kuletupkan timah panas ke kepalaku sendiri.

"Dandadanmu semakin mirip orang Belanda," dia mengalihkan pembicaraan, memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah mencari dosa. Kuharap dia, Kak Rusli tak menemukan wajah Josh di mataku dan semoga dia tidak mendapat pelajaran membaca pikiran orang lain selama di Stovia.

"Apa kau tidak bisa berubah sedikit?"

"Aku suka seperti ini," jawabku penuh kehati-hatian, berusaha menekan amarah yang perlahan bergejolak dalam diriku. Aku tidak suka pertanyaan menjurus ke perintah itu."Aku lebih nyaman seperti ini. Lagipula tidak ada yang membuat peraturan seperti apa aku harus berpakaian,"

"Setidaknya berhentilah bermain dengan orang-orang itu,"

Josh! Isi kepalaku langsung dipenuhi olehnya. Apa Kak Rusli tahu hubunganku dengan Josh? Jangan-jangan Kak Rusli memata-mataiku.

"Kau pasti baru saja bertamu ke pos serdadu-serdadu itukan?" Aku sedikit lebih lega setelah mendengar penuturan lebih lanjut darinya. Tapi masih ada amarah tersisa dalam diriku. Aku tidak suka lagaknya yang suka mengatur hubungan dan caraku hidupku.

"Mereka baik kok, harus berapa kali kukatakan hal ini?"

"Kita lebih daripada orang-orang seperti mereka. Kapan dan harus berapa kali kukatakan padamu bahwa sebaiknya kau menjauhi mereka kecuali jika kau punya alasan penting,"Alasan penting? Apa maksudnya? Kurasakan betapa dia semakin menyebalkan.

"Tidak ada hal buruk dari mereka yang harus kujauhi. Tidak ada alasan untuk menuruti perintah kakak," keras kukatakan kalimat dengan tempo lambat itu. Dapat kulihat, amarah mulai bergejolak dari sinar mata Kak Rusli.

"Ini bukan perintah!" Kak Rusli menggertak, suaranya meninggi, tangannya mencengkram tiang pintu, otot-otot keningnya tertarik membuatnya terlihat menyeramkan,"tidak ada gunanya kau berbaik hati pada mereka"

"Dan tidak lebih berguna lagi kalau aku harus mengemis persahabatan dari orang-orang munafik kulit coklat itu," kuucapkan kalimat itu dengan kesinisan kemudian aku masuk ke dalam rumah, ke kamarku, kubanting pintu untuk menutupnya.

"Bahkan kelakuanmu sekarang sudah seperti mereka! Sopanlah Maudy!" Gertakan Kak Rusli terdengar bersamaan dengan saat tubuhku merosot di balik pintu, duduk lunglai di lantai dan memeluk lututku sendiri. Derap-derap langkah kaki dari arah dapur terdengar, langkah penuh kegelisahan menuju ke ruang depan. Sejenak kemudian kudengar sayup - sayup suara ibu dan Kak Rusli berbicara dengan setengah berbisik. Tidak terdengar jelas olehku rentetan kalimat dari dialog mereka tapi nada bicara ibu sudah cukup memberi sebuah kejelasan bahwa ibuku itu sedang menasehati putranya. Jangan, kasihan, mengertilah, ya, aku tahu, maafkan aku. Hanya sepenggal-penggal kata itu yang berhasil kutangkap.

Kutekan perasaanku, aku tidak mau menangis karena perkara menjenuhkan ini. Bukankah aku hanya peduli pada diriku sendiri, hidupku dan kebahagiaanku? Terserah orang berkata apa. Aku telah mencoba menjadi seseorang yang lebih baik, memahami. Tapi, nyatanya hanya seperti ini dan selalu seperti ini yang kudapat. Aku tidak mau peduli, tidak mau tersakiti lagi. Kupikir, selama aku tidak menyakiti diriku sendiri dan orang yang kusayangi dengan caraku, maka kuanggap aku telah menjadi sosok terbaik dalam diriku. Dan inilah aku, Maudy.

***