webnovel

Bab 3

"Anak gadis mana yang berani pulang sampai segelap ini? Jangan bertingkah seperti orang tak punya sopan santun, Maudy. Kami mendidik dan menyanyangimu agar menjadi gadis terhormat bukan sekadar dihormati."

Aku hanya mampu menunduk, mendengarkan setiap kalimat yang ayah tujukan padaku. Aku tahu, aku salah dan pantas mendapat omelan ini. Aku membuat ayah marah karena pulang malam dan pergi bersama Josh. Tidak peduli apa yang kulakukan, orang-orang pasti akan menilai buruk tindakanku ini, pergi dengan laki-laki dan pulang saat matahari sudah tenggelam di tambah status Josh sebagai putra pejabat Hindia Belanda. Ini memalukan, maafkan aku ayah.

"Jangan ulangi ini lagi, Maudy. Kau boleh dekat dengannya tapi jangan melakukan hal bodoh seperti ini lagi. Sekarang masuklah ke kamar dan belajarlah."

Aku menurut, perlahan beringsut dari kursi dan berjalan menuju kamarku. Tak bersemangat untuk belajar seperti yang diperintahkan Ayah, terlalu malas. Aku memilih untuk tiduran di atas ranjangku menatap langit lewat genteng kaca dan kemudian larut dalam mimpiku.

Aku menerima kenyataan berbeda dan aneh seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Ini semua terjadi karena kedekatanku dengan Josh. Orang-orang di sekitarku mulai menjauh dariku. Tidak bukan menjauh, tapi semakin jauh dan membenciku, seolah-olah aku ini kotoran kuda, yang seharusnya dibuang dan tak pantas dilihat. Bisik-bisik tetanggaku juga semakin menyakitkan untuk didengar. Aku mendengar yang paling memuakkan pagi ini, ketika aku melewati para pekerja di area kebuntebu. Mereka bilang, aku gadis penggoda yang gila harta dan kekuasaaan. Aku sengaja mendekati Josh agar aku mendapatkan apa yang Josh miliki.

Ini gila! Mereka menilaiku semudah mereka mengedipkan mata yang bertengger di wajah kusut mereka. Mereka tak mengenalku, bahkan tak pernah berbicara denganku, dari sisi mana mereka menilaiku seperti itu? Aku bersyukur mereka mereka adalah kalangan inlander, karena kalau mereka bangsawan pasti mulutnya akan lebih lebar dari ini.

"Kau kenapa Maudy? " suara Ratri yang lembut mengusik lamunanku. Sejenak kualihkan pandanganku kepada gadis bermata bening yang duduk disampingku itu, kami sekarang duduk di sebuah kursi kayu di depan kelas.

" Hari ini kau diam, tidak seperti biasanya. Apa kau sakit??"

"Tidak," Jawabku seolah memberikan senyuman tipis kemudian beralih menatap ke jalanan di depan kami yang sepi. " Aku hanya sedang berpikir."

"Memikirkan apa? Keningmu berkerut, apa ini masalah yang berat?" Kurasa sahabatku ini sedang membujuk untuk berbagi. Aku terdiam, apa harus mengatakan pemikiranku kepadanya? Kalaupun iya dimana aku harus memulai cerita ini?

"Ehmm" Ratri memperhatikanku dengan seksama ketika aku mulai bersuara, "kau ingat laki-laki muda yang beberapa hari lalu kau lihat?"

Ratri berfikir, matanya sedikit menerawang, dia mencoba mengingat-ingat, keningnya berkerut, menunjukkan kalau dia berpikir semakin dalam. Nampaknya ini akan lama, memori gadis ini tidak sebagus mata indahnya, mungkin.

"Dia, tampan, yang duduk di kereta kuda kotapraja," Aku menambahkan beberapa hal supaya dia mudah mengingat sejenak, kemudian matanya berbina, sejurus dia menjentikkan jari dan berkata : "Ah! Yang membuatmu ditertawakan oleh teman-teman di kelas pak Van Mook?" Dia tersenyum lebar padaku bahagia sekali dia, seperti baru menang lotre. Sial! kenapa yang di ingat justru hal melakukan itu.

"Memangnya kenapa denganmu? Dia putra Tuan Schoonhoven kan? Ehm,, apa kau menyukainya? Kau benar-benar menaruh hati padanya? Tapi kau malu mengatakannya? Hey ayolah! Maudy kau cantik dan pintar. Ayahmu orang yang berpengaruh, apalagi yang kau takutkan? Kau,"

Ratri mengoceh bla bla bla..seperti orang kerasukan hantu, dia berbicara dalam satu tarikan napas, sok tahu dan tak satu pun kata-katanya yang benar. Aku menyesal telah berbicara tentang Josh kepadanya. Aku belum mengatakan apapun tapi dia sudah berbicara , membuat volume panjang kali lebar kali tinggi.

Berbicara dengan Ratri tak menjernihkan, justru dia membuat telinga panas dan melelehkan otakku. Aku beruntung karena berhasil melarikan diri. Tadi aku melihat Piet dan kawan-kawannya melewati jalan di depanku, hendak pergi ke posnya. Aku berpamitan pada Ratri ditengah pembicaraan kemudian bergabung dengan serdadu-serdadu Belanda, mengikuti mereka menuju Pos.

" Maudy, kau mau?" Tanya Richard dia menyodorkan minuman kepadaku

" Aku tidak haus. Hari ini kalian tidak ke kebun tebu?"

Aku memainkan topi Piet yang dia lepas, sesekali kulihat Piet yang membuat lingkaran-lingkaran asap dari cerutunya, dia bermain-main rupanya.

"Kami malas, seharian kami membantu dirumah Tuan Schoonhoven yang membeli perabot baru." Piet menjawab, lalu menyandarkan punggungnya di dinding. Sementara Richard dan ketiga serdadu muda lain menikmati minuman mereka sambil merasakan hembusan angin, mengusir keringat dari kulit putih kemerah-merahan mereka.

Untuk beberapa saat kami semua terdiam sama sekali tak ada pembicaraan, aku sendiri tak tahu apa yang harus kukatakan sebagai kalimat pembuka topik baru. Hanya gemerisik suara gesekan dedaunan dan ranting-ranting pohon yang terdengar. Jalanan juga sepi, tak ada kereta kuda, sepeda, bahkan pejalan kaki yang lewat selama keheningan ini.

"Tuan Schoonhoven ternyata sangat menyayangi anaknya," Richard kembali berbicara, dia seolah berbicara kepada dirinya sendiri, suaranya datar seperti tak mengharapkan komentar

"Aku jadi rindu Ayahku" tambahnya lagi, ""Wil om terug te gaan naar Nederland, en knuffel van mijn vader '' (ingin kembali ke belanda, dan memeluk ayahku.)

"Eh,Maudy," Sejurus Piet menegakkan punggungnya bajunya menatap Maudy "kau kenal dengan anak Tuan Schoonhoven? Aku sering melihatmu pergi dengannya."

"Kenapa?" aku masih tak paham maksud Piet, pertanyaannya tadi pertanyaan retorik yang tak perlu kujawab.

"Dia sakit, kau tidak menjenguknya?" tambah sedadu muda berambut hitam, bermata abu-abu yang duduk di samping Piet.

***

Aku hanya berani melakukan ini. Hanya berdiri dalam jarak beberapa meter dari pintu gerbang kediaman keluarga Schoonhoven yang menjulang tinggi. Memperhatikan kesibukan para pegawai rumah itu yang sejak tadi mondar-mandir mengangkat perabot. Seperti kata Piet, Tuan Schoonhoven baru saja membeli perabot-perabot baru untuk rumahnya. Tapi, sungguh, alasanku berdiri disini bukanlah untuk melihat seberapa mewah perabot orang Belanda ini. Aku kesini karena desakkan hatiku. Aku mendadak tidak tenang setelah mendengar bahwa Josh sakit. Ada apa dengan Josh? Apa ini karena aku mengajaknya ke bukit kemarin? Apa mitos hantu yang membuat orang-orang yang datang kesana akan menjadi sakit dan meninggal dunia itu benar? Tapi aku sekali pun tak pernah merasakan apapun. Ini hal bodoh! Tapi aku takut dia terkena kutukan itu. Semoga dia baik-baik saja.

Kunikmati semilir sangin yang berhembus dari area persawahan yang padinya masih hijau, baru ditanam sekitar dua bulan lalu dan kalau dilihat dari kejauhan akan terlihat seperti pohon bawang yang membuat gelombang ketika diterpa angin, tapi aromanya tetap tak bisa menipu bahwa itu padi. Kudengarkan gemericik aliran air sungai kecil di bawah jembatan tempatku duduk sekarang, berdiam didri sendiri.

Ini hari ketiga setelah aku mendengar bahwa Josh sakit. Hatiku tak pernah tenang dan selalu memikirkannya. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Ingin sekali melihat senyuman manisnya dan keteduhan mata indahnya, mendengar suaranya yang lembut layaknya nyanyian surga. Aku berharap dia baik-baik saja, semoga dia cepat sembuh. Josh, Hari-hariku berjalan lambat setiap kali aku mengingatnya dan tak ada dia di sisiku.

"Hey beauty,"

Gila! Aku mendengar suara Josh ketika aku menutup mata dan berharap mendapat ketenangan. Apa mungkin? Tidak! Mana mungkin itu hantunya Josh, kapan dia meninggal? Aku tidak mau dia pergi. Ini bodoh! Maudy, berhenti berpikir negatif seperti ini, ini hanya halusinasi karena kau merindukannya.

"Maudy, aku mencari kemana-mana,"

Kini suaranya semakin jelas, dia bahkan mampu berbicara sepanjang itu. Aku juga mencium aroma parfumnya yang khas. Baru tiga hari aku tidak melihatnya,aku sudah gila. Josh jangan terlalu lama sakit, aku bisa mati karena kekonyolan rasa rindu dan kecemasanku.

"Maudy, apa yang sedang kau lakukan?"

Pikiranku kurasa makin tak bisa kukontrol. Aku sudah muak.

"Ah! Ik ben niet gek! Go!" (Ah! Aku tidak mau gila! Pergilah!) aku berteriak tak karuan seraya mengacak-acak rambutku dan membuka mata. Burung-burung yang bertengger di pepohonan sekitarku mendadak berterbangan karena terkejut.

"Kenapa kau menyuruhku pergi?" suara itu kembali datang, aku menoleh ke samping, dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati wajah Josh yang memelas dan sedikit pucat. Kuperhatikan dia dari atas sampai bawah. Dia memakai topi vilt putih, garbadin putih, celana hitam, sepatu hitam dan menginjak tanah. Dia bukan hantu.

"Yeay!" Josh berseru seraya berdiri dan mengangkat kedua belah tangannya ketika aku dan dia meluncur melewati jalanan menurun menggunakan sepeda humber milik Josh. Kali ini aku yang mengayuh di depan, memboncengkannya. Ini lucu dan menyenangkan . aku baru tahu kalau suara Josh bisa melengking seperti suara anak perempuan. Gemerisik ranting dan dedaunan seolah menjadi musik yang mengiringi lengkingan suaranya tadi.

Pagi yang indah di hari minggu yang cerah bersama Josh yang sangat kurindukan. Aku bahagia dia sudah sembuh walau wajahnya masih sedikit pucat, dan yang paling penting dia tidak mati karena kutukan hantu bukit itu. Kami kembali ke posisi yang seharusnya. Kini aku membonceng di belakang dan Josh yang mengayuh pedalnya.

"Kau sakit apa kemarin?" tanyaku memecah keheningan di antara kami berdua dalam perjalanan menuju ke kediamannya. Josh tak lantas menjawab pertanyaanku. Dia seperti enggan bercerita, aku tahu itu dari punggungnya yang mendadak tertekuk.

"Aku demam dan kelelahan." Jawabnya dengan suara agak berat tapi tetap lembut didengar.

Sebenarnya aku ragu untuk melakukan ini. Ini hal teraneh dari semua hal aneh yang kualami sejak perkenalanku dengan Josh. Dia mengajakku ke rumahnya. Ini bukan hal yang biasa bagiku. Terkadang aku merasa bahwa Josh adalah laki-laki unik dan aneh dengan segala pemikirannya yang sulit untuk kutebak.

"Kenapa masih diam?" Josh yang tadi sudah berjalan hingga ambang pintu utama yang tinggi dan lebar kembali melangkah mendekatiku yang masih berdiam diri di pijakanku, di antara dua pilar tinggi penyangga bangunan megah ini.

"Ayo masuk, kuharap papa masih di rumah. Jadi kau bisa bertemu dengannya,"

"Tapi,"

"Ayolah," dia memotong kata-kataku, meraih tanganku, menggandengku masuk ke dalam rumahnya yang luas dan mewah.

Sebuah lukisan besar yang terpasang di dinding, segaris dengan pintu depan menyambutku ketika aku menginjakkan kaki di dalam rumah. Sebuah lukisan yang cukup besar menurutku, lukisan bergambar Tuan Schoonhoven , Josh dan seorang wanita yang dulu pernah kulihat ketika aku dan Josh terjebak hujan di sebuah pos serdadu. Bisa kupastikan bahwa dia adalah nyonya di rumah ini, istri Tuan Schoonhoven, ibunya Josh. Wanita angkuh yang menyeramkan, itu yang bisa kulihat dari raut wajahnya di lukisan.

"Kau duduk dulu ya Maudy,' Josh mengantarkanku ke sebuah kursi kayu di ruang utama, aku duduk kemudian Josh ke dalam , lenyap di balik pintu.

Kuperhatikan setiap sudut ruangan berudara dingin ini. Tempat yang nyaman , menurutku. Ada rangkaian bunga aster di sebuah vas yang terletak di atas meja serta bunga tulip segar di sebuah pot besar di sudut ruangan, memberikan nuansa sejuk bagi siapa saja yang menghirup udara di tempat ini.

"Hoo gaat het?" (Siapa kau?)

Pertanyaan dari seorang wanita bersuara tegas dan terkesan tak bersahabat, mampir di telingaku. Mengejutkanku. Sejurus kualihkan pandangan ke sumber suara. Seorang wanita Belanda berambut pirang, berombak sebahu dan memakai topi putih bulat dengan tepi lebar berdiri di ambang pintu masuk. Mata hijaunya menatapku tajam, seperti mata elang yang waspada untuk menangkap mangsanya. Tatapannya membuat kepalaku berdenyut karena mengkhawatirkan diriku sendiri.

"Rasanya aku pernah melihatmu," pelan-pelan dia melangkah mendekatiku, aku langsung menarik diri dari kursi. Berdiri dengan sedikit menundukkan pandangan. Dia terlalu menakutkan bagiku, bahkan aroma parfumnya yang menyengat telah mampu membuatku bergidik.

"Apa kau Maudy Mangunbrata?"

Tanyanya setelah dia sampai di hadapanku. Dia tahu namaku? Sepertinya aku belum pernah berkenalan dengannya.

"Kau, untuk apa kau kesini?"

Ya Tuhan, kenapa pertanyaan ini terdengar seperti bertanya ''Apa kau mau mati ?''

Harus kujawab bagaimana? Terlalu bodoh kalau aku mengaku bahwa Josh mengajakku. Aku yakin dia akan bertanya lebih banyak lagi. Seperti: kenapa Josh harus mengajakmu? Ada hubungan apa kau dengan Josh? Apa yang kau mau? Dan akan ada lebih banyak lagi kata tanya dari nyonya ini. Josh, kuharap kau cepat kesini.

"Mama," Tuhan ternyata memang tidak pernah tidur. Baru saja aku berdoa dan malaikatku itu telah dikirim, berjalan menghampiri kami.

"Is she your friend Josh?" tanya wanita itu pada Josh dengan nada yang sama tak enak didengarnya ketika dia berbicara padaku.

"Yes, she's Mau,.."

"That's not my bussines. Do whatever you want," Dia memotong kalimat Josh yang diucapkan dengan halus dan sopan. Lalu dia, wanita yang dipanggil Josh dengan sebutan mama itu pergi. Melanjutkan langkahnya menuju ke dalam rumah. Josh tertunduk, aku bisa menangkap raut kesedihan dari wajah Josh yang hendak disembunyikannya dariku.

Hari yang menyenangkan bersama bersama Josh di kediamannya yang luas dan megah. Dia mengajakku bersenang-senang di taman bunga di halaman belakang. Mawar merah, mawar putih, melati, anggrek dan masih banyak bunga lain kutemukan disana . Hal paling menyenangkan dalam kebersamaan kami adalah saat dia menyelipkan sekuntum bunga sepatu di telingaku ketika aku sedang memberi makan ikan-ikan mas di kolam, di tepi taman. Mataku terkunci oleh pandangan mata dan senyuman manisnya. Gila! Aku belum pernah mendengar hentakan suara drum di dadaku seperti ini. Kejadian yang cukup untuk membuat aku merasa tubuhku mati suri.

"Kau cantik Maudy, aku menyayangimu," kalimat ini terdengar layaknya pujian dan nyanyian malaikat dari surga. Sumpah! Demi apa pun yang kumiliki. Organ dalam tubuhku kini berpacu.Rasanya aku ingin cepat pulang dan melingkari kalender hari ini.

Tunggu update bab barunya tanggal 9 Juli 2022 ya. Terimakasih sudah baca.

NarnieJanuarycreators' thoughts