"Dekat, ya, lebih dekat."
Suara lembut wanita terdengar, gaun berwarna kuning putih yang dia gunakan semakin melihat tampak ramah. Musik yang lembut terdengar, dan dua orang yang sejak tadi dia perhatikan sedang bergerak di tengah-tengah ruangan.
Berulang kali gerakan yang mereka lakukan salah tapi dia dengan antusias dan sabar selalu mengajari dengan baik.
Alexandra dan Lucian sedang latihan berdansa. Dari pagi, Alexandra telah berlatih bersama Lucian dan ternyata dansa lebih sulit dibandingkan ilmu pedang yang selama ini dia pelajari.
Bahkan seluruh tubuh Alexandra rasanya begitu sakit karena apa yang sedang dia lakukan ini.
Wanita itu menatap pianis yang memainkan lagu dansa, lalu menggerakan tangannya untuk meminta pianis berhenti memainkan musik.
"Duchess, Anda harus membuat diri Anda rileks. Gerakan tangan Anda dengan lembut dan cobalah untuk berhenti menginjak kaki Tuan Lucian." Marian melihat ke arah kaki Lucian, ekspresi menjelaskan kalau dia sangat bersimpati pada Lucian yang sejak awal latihan sudah puluhan kali kakinya diinjak oleh Alexandra.
Kaki Lucian bisa saja cedera parah karena apa yang dilakukan oleh Alexandra, terlebih Alexandra menggunakan heels yang tajam yang membuat pijakan itu semakin sakit.
"Tidak apa, Lexa. Kau tidaklah berat." Lucian tersenyum saat mengatakannya walaupun kakinya berdenyut. Diinjak dengan heels, sudut lancip itu telah memberikan rasa sakit di punggung kakinya.
Orang biasa tentu saja akan menjerit dan melarikan diri dari latihan dansa yang menyeramkan ini.
Alexandra melihat ke arah kaki Luican, terlihat ada beberapa bekas injakan yang dia lakukan di sana. Memang dia menyadari, kalau selama mereka berlatih berdansa, dirinya bergerak seperti batang pohon yang diajak berdansa.
Itu kaku sekali dan mengerikan.
"Maafkan aku Lucian." Alexandra menekan keningnya. Memalukan sekali wanita bangsawan tidak bisa berdansa, dia memang melewati pesta sosialitanya dan tidak menyangka dia akan separah ini dalam berdansa.
Setelah mengatur keadaannya, Alexandra melihat ke arah Marian sambil menghirup napas dengan lembut.
"Countess Marian, bagaimana kalau kita istirahat sekarang?"
Mata keemasan Alexandra berpendar, kelihatan lelah dan Marian sebagai guru yang baik menyadari memang butuh waktu untuk tampil sempurna.
Terutama pada mereka yang tidak pernah berdansa sebelumnya.
"Tentu saja, Duchess. Ini sudah masuk jam makan siang, kita akan melanjutkannya besok lagi." Countess Marian menunduk sambil memegang dua sudut dari gaunnya, etika yang terlihat sangat bagus sekali. Wajar saja kalau Alfo membanggakan istrinya ini.
Di dalam sosial bangsawan juga Marian diperhitungkan, dia adalah mantan dari anak Marquis yang menikah dengan Alfo, kalau mendengar cerita Marian bisa memilih Alfo, banyak orang yang tidak akan percaya.
Marian memilih Alfo hanya karena Alfo membenarkan pita di gaunnya. Menurutnya itu adalah tindakan gentleman yang sangat luar biasa manis,
"Besok kita akan berlatih lagi, Duchess dan Tuan Lucian. Sekarang saya permisi dulu untuk bertemu dengan suami saya." Marian tersenyum, dia undur diri dengan keanggunan pada dirinya. Dia sangat sesuai dengan penggambaran yang selama ini digambarkan oleh Alfo.
Setelah hanya mereka berdua yang tinggal di dalam ruangan, Alexandra duduk di kursi sambil menekan-nekan kakinya yang terasa sangat kaku.
"Kau tidak terbiasa menggunakan heels?"
Setidaknya, wanita bangsawan akan menggunakan heels setinggi tujuh sentimeter dan Alexandra selama ini hanya memakai heels tiga sentimeter, dan heels yang dia gunakan tidak lancip seperti ini. Tuh cenderung darat dan membuatnya lebih nyaman ketika berjalan.
"Ya, kau tahu aku sering ada di medan perang, kan?"
Lucian mengangguk, dia masih memegangi tangan Alexandra, tubuh Alexandra tidak stabil. Berulang kali dia hampir saja terjatuh.
"Bagaimana kalau kau membuka sepatumu?" tanya Lucian, dia memperhatikan kaki Alexandra, walaupun kedua kaki itu tertutup dengan gaun panjang Alexandra, tapi Lucian tahu kalau kaki Alexandra pasti sangat menderita.
Alexandra melihat ke arah Lucian dengan tatapan mata yang tenang dan terkesan dingin.
[Bagaimana bisa aku melepaskan sepatu di hadapanku? Itu akan membuatku terlihat sangat jelek.]
Alexandra mempertahankan harga dirinya, kalau Lucian melihat dia melepas sepatu itu pasti terlihat seperti barbarian. Memang beberapa kali dia sering melupakan etika bangsawan sialan yang sungguh merepotkan.
Oh! Ya! Alexandra bahkan pernah memecahkan gelas wine dia gunakan ketika orang-orang sangat berisik mengomentari cara memegang gelas wine-nya yang salah. Mereka terlalu sibuk dengan panas tubuh yang bisa mempengaruhi rasa wine yang akan diminum. Setelah Alexander memecahkan gelas wine di pesta dan menjadi gosip para bangsawan, Alfo selalu mengajari Alexandra di mana pun. Karena Alexandra tidak mau mengambil gelas khusus. Kalau Alfo orang yang takut mati, dia tidak akan terus mengoceh tentang banyak etika yang harus diperhatikan oleh Alexandra. Di saat Alexandra mengayunkan pedangnya, Alfo sibuk menjelaskan tentang etika.
Di saat Alexandra sibuk berlarian mengitari lapangan, Alfo juga tidak lupa menjelaskan semua etika yang dia ketahui. Karena sikap keras kepalanya Alfo, tanpa sadar Alexandra mengingat semuanya. Sekarang telah lebih baik dibandingkan dulu. Dia tidak terlihat sangat barbarian lagi.
Alexandra berjalan pelan, dia hendak istirahat di kamarnya karena dansa terkutuk ini yang malah seperti tarian kematian baginya.
"Eee...."
Hampir saja Alexandra terjatuh, Alexandra telah bersiap dengan postur tubuhnya untuk menerima benturan antaranya dan lantai.
Tap!
Tangan Alexander dengan cepat ditangkap oleh Lucian, dan Lucian menarik Alexandra yang membuat tubuh Alexandra sekarang ada di pelukan Lucian.
"Apa kataku tadi..." lucian menghelakan napasnya, dia melihat ke arah Alexandra yang menatapnya. Mata keemasan yang sangat indah, membuat lucian terdiam beberapa detik.
Dia meletakkan Alexandra di lantai dengan lembut, setelah dia melihat Alexandra berdiri dengan tegap, Lucian kembali melihat Alexandra yang sejak tadi terdiam
"Kau mau ke mana?" tanya Lucian dengan suaranya yang meluluhkan Alexandra.
"Kamarku." Jawabnya dengan pelan nyaris tidak terdengar kalau saja Lucian tidak mempunyai telinga yang peka.
Lucian menganggul, dia langsung menggenggam tangan kanan Alexandra.
"Aku akan mengantarmu hingga kamarmu, Alexandra."
Alexandra hanya mengangguk, berjalan bersamaan dengan Lucian membuat semakin mengagumi pria yang manis ini. Dia begitu memahami wanita. Wajar saja kalau banyak yang menyukai Lucian dan Lucian juga tampaknya terbiasa berurusan dengan seorang wanita.
[Tidak masalah masa lalunya. Sekarang dia adalah milikku.]
Di samping Lucian, Alexandra tersenyum tipis. Alfo dan Marian yang kebetulan lewat melihat senyum kecil Alexandra itu dan Alfo langsung membeku di tempat, wajahnya pucat karena melihat hal tidak terduga. Berbeda sekali dengan Marian yang malah tertawa kecil di sampingnya.
"Masa muda yang indah. Fufufu..."
Dua orang yang terlihat bersinar itu meninggalkan Alfo dan Marian, dari tempat Marian berdiri, dia memahami kenapa Alexandra memilih Lucian sebagai tunangannya.