webnovel

Drugs + Love = Addicted

Mature content (21+) Jenna Jameson dinyatakan menderita anemia aplastik, yang membuat dirinya sering bertemu dengan Dokter Ryan Karl, hingga secara tak sengaja terlibat cinta terlarang yang tidak seharusnya terjadi di antara mereka. Pada mulanya Jenna tak mengetahui bahwa Ryan ternyata adalah pria beristri. Hingga kepulangan Hellen Duncan-Karl, istri Ryan, menyadarkan Jenna bahwa dirinya dan Ryan tak akan pernah bisa bersatu. Jenna kemudian memutuskan untuk menerima pinangan Blake Gillian, mantan kekasihnya di masa lalu yang kembali hanya demi bisa menjalin kembali kisah cinta yang sempat terputus. Ketika Jenna dan Ryan telah memilih untuk melanjutkan hidup masing-masing, takdir justru seolah membuat lelucon. Secara kebetulan Ryan-Hellen dan Jenna-Blake berlibur ke tempat yang sama, sekaligus Dokter John Armando, yang merupakan sahabat Hellen sejak kecil, yang ternyata merupakan selingkuhan Hellen. Ditambah keterlibatan Clara—sahabat Jenna, membuat kisah cinta semakin rumit. Akankah cinta menemukan jalan pulang yang benar, jika cinta tak lagi cinta? Terlebih jika didominasi obsesi yang selayaknya candu, yang pada akhirnya memorak porandakan cinta yang dibangun dan dipupuk dengan tulus. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan pada akhirnya? - Drugs + Love = Addicted - Reach me on IG: @kennie_r89 Vectorist: A_Nzee IG: @a_nzee

Kennie_Re · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
390 Chs

Promises

Author PoV

Seseorang dengan jas putih memasuki ruang dimana Jenna dirawat. Melakukan pemindaian terhadap kondisi gadis itu lalu mencatat pada tab di tangannya. Sementara itu ayah dan ibu Jenna, juga Blake menanti di luar dengan perasaan cemas. Blake tak henti mondar-mandir mengkhawatirkan kondisi gadis yang selama ini ia abaikan.

Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar, tak mampu menahan emosi dan kekalutan yang menggerogoti hatinya saat ini. Tanpa sadar, kilas balik kejadian bermunculan di memori, menambah sakit perasaannya.

Ia yang selama ini telah mengabaikan Jenna. Dan bagaimana andaikan hari ini adalah hari terakhir ia melihat gadis itu? Sanggupkah ia menerima itu semua?

Selama ini ia mengalah pada ketidak pastian, membiarkannya menguasai segala tindakan yang ia ambil. Terlebih mengenai hubungannya dengan Jenna. Ia tahu benar, gadis itu mengharapkan kabar darinya, perhatian, bahkan cintanya. Namun, tak satu pun ia berikan. Ia justru menyakiti gadis itu, sejak dulu.

Tara, ibu Jenna mendekat pada Blake, mengusap pundak pria itu.

"Blake, kau tenanglah. Jenna adalah gadis yang kuat, aku yakin ia akan bisa melalui ini semua," ucapnya, berusaha menenangkan pria yang terlihat makin kalut. Ia menanti kabar dokter, tetapi tak ada satu pun dari mereka muncul untuk menjawab rasa ingin tahunya.

Namun, tak berapa lama, Dokter Armando keluar dari ruangan Jenna. Menghampiri orang tua gadis itu. Blake segera bergabung dengan lainnya, mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh dokter.

"Jenna adalah pasien dengan kasus kelainan darah yang langka. Dan kebetulan akulah yang menanganinya selama ini."

"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Blake, tak sabar. Dokter Armando terlihat berpikir.

Ia kemudian bertanya, "apakah Jenna telah mengabarkan mengenai penyakitnya dan masukan dari kami untuk transplantasi sumsum?"

Semua menggeleng, disusul Tara yang membenamkan wajah di dada suaminya dan terisak. Blake tertegun mendengar setiap perkataan dokter Armando. Jenna tak pernah mengatakan apa pun padanya, bahkan pada keluarganya. Ia menyimpan sendiri sakit dan penderitaan yang ia rasakan.

Hal itu membuat Blake sakit. Ia selama ini mengabaikan Jenna dengan berbagai alasan hanya sebagai pembenaran atas apa yang dilakukannya. Padahal, gadis itu hanya ingin mendapat kepastian darinya. Dan apa yang ia berikan justru hanya rasa sakit.

"Jenna, kumohon bertahanlah ... setelah ini, aku berjanji tak akan lagi menyiakanmu," isak pria itu, lirih. Ia terlihat gelisah sementara Dokter Armando masih menyampaikan hal penting pada kadua orang tua Jenna.

"Kurasa sebaiknya ke ruanganku, kita bicarakan tentang perkembangan treatment yang telah ia jalani, juga alternatif lain yang lebih ampuh dan memungkinkan bisa memberi kesembuhan yang permanen."

Mereka mengangguk lalu mengekor langkah dokter Armando ke ruangannya. Sementara Blake masih mematung di tempatnya semula, bertekad menanti di sana dan dialah yang akan menjadi orang pertama yang dilihat gadis itu saat ia sadar nanti.

***

Di ruangan Dokter Armando, Tara dan Billy Jameson terlihat cemas dan gelisah. Dokter John Armando telah menjelaskan garis besar penyakit putri semata wayang mereka, dan jalan yang harus ditempuh.

"Sumsum yang akan didonorkan pada Jenna seharusnya adalah yang diperoleh dari keluarga kandung, yang paling optimal adalah jika di dapat dari adik atau kakak kandung. Apakah Jenna memiliki adik atau kakak?"

Raut wajah keduanya berubah seketika. Mereka seolah berusaha mencari opsi lain selain dari apa yang dijelaskan sabg dokter. Tidak bisakah jika mereka saja yang memberikan untuk Jenna? Kenapa harus saudara kandung? Mengapa Tuhan menguji mereka dengan cobaan semacam ini?

Berbagai pikiran dan pertanyaan berkecamuk dalam kepala mereka.

"Jenna ... adalah putri kami satu-satunya. Tak bisakah jika salah satu dari kami yang mendonorkannya?"

Dokter Armando terlihat berpikir sejenak. "Bisa saja jika memang cocok. Hanya, perlu melakukan serangkaian tes terlebih dahulu apakah ada kecocokan dan mengenai kondisi kesehatan pendonor."

"Tidak bisakah kita langung melakukannya? Milikku pasti cocok dengannya ... dia anakku. Pasti akan cocok, bukan?!" Tara berusaha menahan gejolak emosinya. Ia berharap saat ini, hanyalah mimpi buruk di siang bolong, kenyataannya tidak.

Billy berusaha menenangkan istrinya. Memeluk dan meremas lembut pundaknya.

Dokter Armando hanya menggeleng lemah. "Jika kita sembarangan melakukan tanpa mengikuti prosedur, justru akan membahayakan nyawanya. Bahkan juga nyawa kalian."

Tangis Tara pecah, ia tak mampu lagi membendung segala sakit yang berdesakan di rongga dada. Putri kesayangannya, putri semata wayang kini harus menderita dan mereka tak dapat melakukan apa pun untk memastikaan Jenna bertahan hidup lebih lama.

"Sebenarnya, penyakit langka ini bisa diatasi meski hanya dengan treatment berupa obat-obatan dan suplemen. Hanya untuk jangka pendek. Karena obat itu sendiri memiliki efek bila digunakan dalam jangka panjang. Namun, aku menduga, Jenna tidak mengkonsumsi obatnya secara teratur sehingga ia kembali mengalami ini," imbuh dokter Armando.

Semua penjelasan pria itu seolah merupakan hal yang bisa menguatkan, tetapi baik Tara maupun Billy sudah tidak memiliki kekuatan sejak mereka mengetahui bahwa putrinya sekian lama menderita.

Mereka selama ini berusaha memantau dari kejauhan karena tahu bagaimana sfat putrinya yang tidak suka dikasihani bahkan oleh orang tuanya sendiri.

Sementara di luar ruangan dokter Armando, seseorang yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka, merasa seperti dihantam godam. Kepalanya terasa pening, dadanya sesak mendengar segala penuturan dokter Armando.

Ia melangkah menjauhi ruangan itu dengan gontai. Berharap sama seperti Tara dan Billy, bahwa ini semua hanya mimpi. Andaikan bisa, ia ingin memperbaiki apa yang telah dilakukannya selama ini pada Jenna. Memberikan apa pun yang diharapkan oleh gadis itu.

Apa pun, bahkan nyawanya sekalipun.

Pria itu mengusap air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Berjalan menuju ruang perawatan Jenna. Seorang perawat menghampirinya dan mengabarkan bahwa Jenna sudah sadar dan diperbolehkan untuk menjenguknya.

Dengan tak sabar ia melangkah ke kamar demi menemui gadis yang dicintainya itu.

Wajah pucat itu menyungginkan senyum tatkala Blake melangkah masuk ke dalam ruangannya. Tak ingin menunggu lama, Blake mengambil tempat, tepat di sisi ranjang Jenna. Meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya erat.

"Hey," sapa Jenna, memaksakan diri tersenyum, meski terlihat dari wajahnya bahwa ia sangat lemah. Hal itu membuat Blake trenyuh.

Ia menahan agar air mata yang sejak tadi sudah terkumpul di bendungan matanya, tidak tertumpah. Ia seorang pria yang kuat, tak akan menangis semudah itu. Bahkan ketika sesak mengusiknya tatkala ia terpaksa meninggalkan Jenna begitu saja, ia berusaha untuk tidak menangis.

Namun, melihat gadis yang ia cintai mejadi seperti ini, haruskah ia menahan lagi? Mampukah ia bertahan dan tidak mengeluhkan apa yang ada di dalam hatinya?

"Hey, bagaimana kondisimu? Apakah rasanya sakit? Bagian mana yang sakit?" tanya Blake seolah ingin agar sakit yang Jenna rasakan biarlah dipindahkan ke tubuhnya saja. Biar ia yang menanggung sakit itu, jangan Jenna-nya.

Gadis itu menggeleng. "Tidak ada yang sakit. I'm okay." Ia tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. Membuat pria itu tertawa pahit.

Mungkin apa yang dilakukannya pada Jenna jauh lebih sakit, karenanya gadis itu mampu menahan sakit ini tanpa meengeluh, tetapi tidak untuk rasa sakit yang diberikan oleh Blake.

Blake mengecup jemari tangan gadis itu. Setidaknya untuk saat ini ia merasa lega karena Jenna sudah siuman. Ia terlihat baik-baik saja meski Blake tahu kenyataannya tidak. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Jenna-nya selalu baik-baik saja.

***