webnovel

PERISTIRAHATAN TERAKHIR

Malam itu pecah tangis memenuhi ruangan. Banyak iring-iringan motor memenuhi area sudut kampung. Siapa yang menyangka, jika kematian Isum mengundang begitu banyak orang. Isum sendiri yang akhirnya menyadari bahwa ia sudah mati turut menangis. Sepanjang perjalanan pulang membawa jenazahnya, ia pun juga hadir di sana.

Tidak ada yang menduga kematian itu cepat datang. Semua mulai terkuak dan menyadari ketika Isum telah menjadi sebujur mayat kaku. Pertanda sudah begitu banyak ditinggalkan. Ardi mulai menyadari itu. Ibu sendiri juga baru mengerti soal anaknya yang meminta foto bersamanya adalah sebagai kenangan terakhir.

Tidak ada lagi seorang bocah yang dengan santainya melompati pagar kampung tengah malam dan menggugah Pak Karso terbangun dari lelapnya tidur. Tidak ada lagi senda gurau dan tawa dari sekumpulan anak-anak remaja yang membuat keki Darsono karena mendengar kegaduhan suara knalpot-knalpot racing. Kebisingan itu selalu membuat Darsono naik pitam yang membuat Ibunya selalu kaget.

"Kak, ayo masuk. Kenapa di luar saja?" Adik kecil Ismun melambaikan tangan.

Melihat anak bungsunya, Ibu merasakan sedih. Ibu terpukul akan halusinasi yang menganggap seolah-olah anak pertamanya masih hidup. Tapi tidak untuk bocah berumur empat tahun. Isum memang terlihat. Namun, ia tidak bisa berkomunikasi dengan adik kecilnya itu. Ia berbicara. Mengutarakan bahwa dia masih di sini. Sayangnya, orang hidup, apalagi bocah kecil itu yang melihatnya tidak akan pernah mengerti apa maksudnya.

"Mas Isum udah gak ada, Ris. Doain kakak biar tenang di sana, ya?" Ibu membujuk seraya menggendongnya ke dalam rumah.

Namun lagi-lagi Risna berceletuk, "Ndak, Bu. Mas Isum lagi duduk di tangga itu." Lagi-lagi Risna meyakini akan yang dilihatnya sambil menunjukkan keberadaan yang dimaksud.

Ibu menyerah. Ia membiarkan Risna dengan ucapannya sambil sesekali mengawasi. Tampak bocah itu sesekali tersenyum. Kadang wajahnya terlihat heran seakan sedang bertanya-tanya. Sayang, bocah itu tak bisa mengungkapkan dari apa yang dirasakan saat ini. Ibu sedikit bergidik melihat tingkahnya yang seperti itu. Namun, kesibukannya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk jenazah anaknya juga tak bisa diabaikan. Malam ini Isum akan segera dimandikan dan juga dikafani.

Sengketa dan perselisihan antar teman Isum masih berlanjut. Rupanya, kelompok dari lawan tanding Isum juga hadir. Tak ingin membuat kekisruhan lebih jauh sementara ada keluarga yang sedang berduka, yang memihak pada Isum segera membawa mereka untuk keluar. Di jalan raya itulah teman-teman Isum berhasil memukul mundur lawan yang telah mencelakakan kawannya.

"Bisa-bisanya lagi berduka menanyakan duit taruhan. Empati mereka ke mana?" Ardi mendengus kesal.

Sementara Soleh, sosok orang yang bertubuh gempal sempat berhasil menyita motor lawan Isum yang dengan sengaja memepet dan tidak memberi celah di saat posisi Isum terjepit dan mencoba untuk menghindar. Dengan tergopoh-gopoh Soleh menuntun motor yang tidak memiliki kunci.

"Biarkan motor ini di sini sampai pemiliknya mengambil sendiri."

"Percaya gak sih kalau kematian ini janggal. Seperti ada yang merekayasa?" sela Bento lelaki berkulit hitam.

"Kita bahas besok gimana baiknya. Dari CCTV kita akan tau kebenarannya besok. Yang terpenting sekarang kita hadir dulu di rumah Isum." Ardi mengajak agar tidak membuang waktu dan dicurigai oleh warga kampung.

Semua merasa terpukul. Mulai dari teman hingga pihak keluarga yang ditinggalkan. Semua masih sama, menganggap bahwa ini adalah kepergian yang mendadak. Spekulasi miring mulai berkeliaran. Ada yang menduga jika Ismun memakai obat-obatan terlarang mirip Ayahnya. Ada yang mendukung alibi itu ditambah dengan menenggak minuman keras. Semua bergunjing dari mulut ke mulut dengan berbisik.

Namun semua terbantahkan. Sebab menurut beberapa teman-teman Isum yang mendengarkan bisik-bisik itu mengatakan bahwa Isum sudah tidak mengonsumsi obat lagi. Bahkan, ia berharap banyak jika Ayahnya juga turut berhenti menggunakan obat-obat keras.

Tetap saja tidak percaya. Dianggap itu hanya sebuah pembelaan untuk almarhum. Karena mereka itu semua adalah teman-temannya.

Isum hanya mendengarkan. Ia sudah berwujud arwah. Tidak lagi memiliki kesempatan membela diri dan mengatakan yang sesungguhnya. Ia berjalan kesana-kemari tanpa sebab yang jelas.

Semalaman itu ia hanya bisa menangis dan menyesali segala apa yang telah dilakukan semasa hidup. Sayangnya, tidak ada kesempatan kedua untuk orang yang telah benar-benar mati.

____

Proses pemberangkatan jenazah ke tempat pemakaman umum sudah bersiap. Ambulance terlebih dahulu berangkat diiringi kendaraan yang lain. Pecah keheningan di minggu siang itu. Jalan tampak sepi. Tidak ada kemacetan. Ratusan motor mengiring, seakan memberi penghormatan terakhir untuk Isum.

Bunga-bunga melati disebar sepanjang jalan sampai ke pemakaman. Isum hanya terduduk lesu. Tempatnya sekarang adalah kesunyian. Ia hanya bisa melihat seluruh keluarga menangisi kepergiannya. Ibu berusaha setegar mungkin. Hingga kakinya menginjak di lahang liat. Tak kuasa ia melihat jenasah Isum diturunkan dan dikebumikan. Ini adalah tempat peristirahatan juga pertemuan terakhir. Mungkin jasad tidak bertemu, namun ibu tidak akan pernah menyadari jika Isum dalam bentuk arwah sekarang masih terus menemani.

Satu persatu dari tiap temannya mengambil segenggam tanah liat dan melemparkan ke dalam liang. Hanya sebagai simbol mungkin. Menunjukkan bahwa persahabatan itu tidak pernah terpisah meski ada yang telah tiada.

Kini benar-benar raga Isum memiliki rumah baru. Bahkan terbilang lebih kecil ketimbang kamar miliknya. Sempit. Sesak. Isum yang sudah menjadi arwah saja tidak mau masuk menempati. Beruntung dia sudah mati. Jika masuk dalam keadaan masih hidup, mungkin ia lebih memilih bunuh diri daripada harus menempati ruang yang lebarnya selebar tubuhnya sendiri.

Dengan dipendamnya raga itu, Isum menganggap itu adalah bentuk perpisahan terakhirnya dari dunia manusia. Jika saja masih hidup, mungkin ia akan terharu dengan hadirnya orang banyak itu. Sayang, keramaian yang ada di hari ini bukan pesta ulang tahun melainkan hari kematiannya.

Isum ingin sekali mengutuk dan menyalahkan langit. Tapi ia takut jika terjadi sebaliknya, langit mendadak gemuruh dan kuburannya tersambar petir seperti yang ia saksikan di film-film.

Apa benar? Ah itu hanya khayalan dari Isum saja. Kalau pun tersambar petir, tubuhnya pun tidak akan bereaksi sakit. Hanya orang hidup saja yang pada akhirnya mengait-ngaitkan hal itu dengan sesuatu yang berlebihan.

Semua telah beranjak meninggalkan pemakaman. Menyisakan Isum yang duduk di atas batu nisan. Bukan pelaminan. Jika pun itu sebuah pelaminan, tentunya tidak ada manusia yang bodoh merayakannya di atas kuburan.

Isum hanya menatap nanar dengan segala pemikiran konyol. Kenapa aku ditinggal sendiri? Padahal, kalau saja ia mau berteriak, para penghuni makam pasti akan keluar dan menyambut warga baru. Tapi tidaklah. Isum lebih memilih untuk berpikir ulang dan mengikuti para rombongan untuk pulang. Karena sebenarnya semasa hidup dia juga takut untuk melewati areal kuburan. Kalau saja tidak terpaksa, itu tidak akan pernah terjadi.