webnovel

PENGAKUAN

Kali ini suasana mulai sedikit terbuka. Kesedihan sudah tidak tampak. Sepertinya kehidupan untuk melanjutkan ke depan sudah mulai tertata. Perlahan, Ayah isum sudah mulai mengurangi dosisnya untuk mengonsumsi obat-obat keras. Setiap malam selalu ada saja dua atau tiga orang dari teman Isum datang. Bahkan, jika malam minggu tiba, mereka bisa sampai sepuluh orang datang. Bahkan lebih.

Satu teko kopi. Sekeranjang jepitan untuk menjemur pakaian dan kartu remi siap untuk dimainkan. Hukuman bagi yang kalah untuk memakai jepitan yang telah disediakan. Keramaian itu cukup menghibur dan menghapus sedikit suasana dari rasa duka.

Sepanjang malam sampai begadang. Bila perlu tidur pun mereka lakoni meski di luar. Meski nyamuk menjadi teman yang menyakiti tiap malam. Beralaskan koran pun jadi. Asalkan orang tua Isum bisa tertawa lebar menyaksikan sekumpulan anak remaja di pagi hari layaknya ikan pindang yang tidur bertumpuk-tumpukan.

Di lain waktu, terkadang teman-teman Isum mengajak Ayahnya untuk memancing. Hobi yang sudah lama tidak dilakoni demi menyingkirkan sedikit demi sedikit candunya terhadap obat-obat keras itu.

Sampai di suatu malam pukul delapan. Tawa mereka yang mengusik kedamaian para tetangga. Lontaran dari setiap ejekan-ejekan yang saling berbalas. Juga bully-an terhadap orang yang kalah, yang telah memakai penjepit hampir di seluruh wajahnya, seketika terhipnotis dan menjadi diam serentak ketika melihat kehadiran Leni yang tanpa diduga.

Wajah mereka seketika masam. Ada yang berpura-pura menuangkan kopi pada cangkir-cangkir yang kosong. Ada yang sengaja mengalihkan perhatian dengan kembali bercanda. Tingkah itu dimaksudkan untuk acuh tak acuh dengan tamu yang bahkan tidak lagi dianggap menjadi bagian dari kubu mereka sekarang.

"Kalian boleh membenciku sekarang. Tapi tolong dengarkan aku kali ini." Leni memohon.

Tari mendengar suara wanita itu dari dalam segera menghampiri. Benar saja. Ia menyadari mengapa tingkah dari teman-teman anaknya itu berubah. Namun, sebagai tuan rumah, Tari tidak memberlakukan itu. Semua dianggap sama.

"Masuklah. Biarkan para lelaki itu berkumpul dengan sesamanya. Kita berbincang di dalam." Tari menyuruhnya untuk masuk.

Tidak. Leni bukan tidak ingin. Kedatangannya bukan untuk Tari. Langkahnya datang untuk tujuan lain. Senyumnya getir. Ingin rasanya menolak ajakan itu dan berterus terang. Namun, di sisi lain ingin sekalinya Leni menangis. Ingin rasanya meluapkan hal itu yang ia simpan selama ini sendirian.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya tidak mungkin lama-lama. Kedatangan saya hanya ingin memberitahukan jika dalang yang menyebabkan kematian dari Isum ialah Jaya."

Sontak saja mereka yang ada disitu berpaling muka dan serius menatap wajah Leni. Mereka bukan sekadar ingin tahu. Lebih dari itu. Menguak kembali dan menguatkan dugaan mereka bahwa semuanya itu benar.

Leni mengambil tempat untuk ia bisa bercerita dengan nyaman.

"Tapi kenapa? Bukankah ia bersama dengan Jaya belakangan ini?" Hati Ardi diselimuti pertanyaan yang kian membingungkan dengan pengakuan itu.

Tampak jelas jika mata Leni berkaca-kaca. Bukan karena ia dijauhi lalu diperlakukan seolah tidak ada oleh kubu Isum. Ia masih bisa menahan itu semua. Leni terpaksa membongkar itu bukan tanpa sebab. Dua hari sebelum kematian Isum, Leni berfirasat buruk. Ia tidak bisa memastikan kegelisahan apa yang ada di dalam hatinya. Benar saja, ia tak bisa menampik. Malang tak bisa ditolak jika hal yang membuatnya gelisah ialah membuat sosok yang ia cintai hilang.

Kabar lebih buruk yang ditegaskan Leni, ia menduga saat berada di pemakaman mendapati jika Jaya tidak menunjukkan tanda bahwa ada raut kesedihan di wajahnya. Ia memperhatikan sekelilingnya kala itu. Di antara orang-orang yang datang, matanya menyoroti tiap-tiap wajah yang hadir. Tidak henti menganalisa dalam pikirannya. Namun, kecurigaan saja tentu tidak menguatkan apapun.

Leni sengaja mendekati Jaya. Ia berusaha sikapnya tidak menunjukkan kecurigaan. Memang bukan hal yang sulit menebak alur itu. Memang bukan rahasia umum jika Jaya pernah menaruh perasaan terhadap Leni. Hal itu pula yang mungkin membuat peluang Leni untuk bisa masuk dalam kehidupan Jaya terbuka lebar.

"Mereka sebenarnya tidak berniat untuk mencelakakan. Semua itu diluar kehendak Jaya dan teman-temannya. Namun, semua itu aku ketahui berasal dari chat Jaya. Aku mendapatinya semalam ketika mereka semua mabuk hingga tak sadarkan diri." Tutup Leni dengan air mata yang turun membasahi pipinya.

Mereka yang mendengar menjadi merasa bersalah karena menduga hal-hal yang buruk tentang Leni. Tari tersenyum ketika mengetahui kebenaran itu semua. Sebelum otak mereka diselubungi rencana jahat untuk sebuah pembalasan, Tari mengambil alih pembicaraan dan memperingatkan mereka semua.

"Setelah semuanya jelas, tidak ada lagi yang perlu dibalas. Dunia ini sudah memiliki hukumnya tersendiri. Jangan ada yang mengotori tangan kalian dengan sebuah dendam. Biarkan saja, karena alam punya caranya tersendiri untuk membalas setiap perbuatan jahat yang sudah dilakukan oleh seorang manusia."

Isum hadir. Ia menyimak itu dengan baik. Ia tidak sendiri. Sinta juga Kijan bersamanya.

Ia mendekati Leni. Tangannya mencoba untuk menghapus air mata yang terjatuh. Sayangnya tidak bisa ia lakukan. Entah kenapa hatinya bertambah sakit ketika mendengar itu semua. Isum melihat beberapa temannya mulai meminta maaf dan mencoba untuk memulihkan perasaan kemarin yang sempat menolak hadirnya Leni.

"Mulai malam ini, jangan sampai ada yang lengah menjaga Leni. Mungkin setelah kita tau kebenarannya, Leni akan tidak aman. Jangan sampai kita kehilangan lagi seorang sahabat." Ardi bergerak maju dan berdiri.

"Sudah, tidak perlu dibahas terlalu jauh. Yang terpenting sekarang, di antara kalian harus ada yang bersiap mengantarkan Leni pulang." Tari memberi perintah.

Isum beranjak. Ia bersiap untuk turut mengantar pula kepulangan Leni. Ditemani Kijan, juga Sinta.

"Sekarang kau sudah tau semua kebenaran itu. Aku berharap semua bisa diselesaikan dengan baik." Kijan meminta.

Sinta mengangguk. Ia menyetujui. Tidak ada hal yang lebih diinginkan daripada untuk membalas dendam. Ia sengaja mengulang kembali ucapan Tari sebagai pengingat. Meski jujur saja, ia tahu dan menangkap gelagat jika tidak semudah itu Isum bisa menerimanya.