Terhitung sejak malam itu, rupanya aku pingsan seharian, hingga akhirnya bisa terbangun di siang menuju sore hari. Dokter Rose juga tak mengizinkanku untuk kembali berangkat sekolah terlebih dahulu, setelah aku pindah ke rumah papi. Jadinya, aku kembali bolos selama tiga hari. Kalau terus-terusan begini, aku semakin jauh tertinggal pelajaran. Tapi, kalau pun harus dipaksa, aku juga tidak mungkin mampu menjalaninya. Hal terbaik untuk sementara waktu ini, mungkin memang harus mengikuti segala arahan yang dokter Rose berikan.
Tinggal bersama keluarga yang utuh, kembali kurasakan setelah sekian lamanya merasa hidup di dalam kesendirian. Mami dan papi memang baru bercerai dua tahun yang lalu, namun semenjak aku kecil, mereka sudah menelantarkanku, dengan embel-embel karena sibuk bekerja. Papi jarang sekali pulang, terlebih lagi jika harus menjalani proyek di luar negeri. Bisa berbulan-bulan, bahkan sampai setahun lamanya. Kalau mami, pulang hanya saat merasa stok pakaian yang ia bawa telah habis karena kotor dipakai beberapa hari.
Sedari mulai bernapas hingga kini berusia enam belas tahun begini, hidupku di bumi layaknya tunas pohon pisang kecil yang tumbuh di dekat pohon pisang mati yang tak lagi dapat berbuah. Ibaratkan saja pohon mati itu adalah orangtuaku. Mereka berada di dekatku yang baru saja mulai tumbuh, namun mereka tak bisa lagi bertugas seperti apa yang semestinya. Bedanya dengan pohon itu, mami dan papi memang belum mati. Namun, aku sama-sama merasa tak dicintai, dan hanya hidup seorang diri.
Kesendirian yang selama ini aku rasakan, ternyata lebih parah kurasakan setelah dua orang itu berpisah dua tahun lalu. Aku harus tinggal bersama mami, meski dalam benakku berharap tinggal bersama papi. Karena meski papi lebih jarang pulang dibandingkan mami, papi masih sempat bertukar kabar denganku. Papi selalu menanyakan kondisiku, menanyakan bagaimana nilaiku di sekolah, menanyakan apakah aku sedang memiliki masalah, dan masih sempat mengirimkan hadiah di hari ulang tahunku. Tidak seperti mami. Meski mami pulang ke rumah beberapa kali dalam seminggu, mami hanya bertanya saat kami bertatap muka saja. Selepas itu, tak ada pesan singkat maupun telepon masuk darinya yang mengkhawatirkan kondisiku. Di akhir semester, selalu bi Yanti yang menghadiri pengambilan raporku. Bahkan di hari ulang tahunku, bi Yanti seakan lebih pantas menggantikan posisi kedua orangtuaku.
Semenyedihkan itulah hidupku. Namun entah mengapa, aku merasakan bahwa hari itu adalah akhir dari segalanya akan rasa kepedihanku. Yang kutahu dari papi, untuk saat ini dan seterusnya, aku akan selalu tinggal di rumah ini lagi. Entah apa yang terjadi, katanya, kalau mami masih sempat menemui dan menggangguku, papi tak akan segan melaporkannya ke polisi maupun ke pengadilan. Aku tak mengerti urusan perebutan hak asuh seorang anak, dari suami dan istri yang bercerai. Apa pun itu, kuharap keputusannya adalah untuk mengawali hariku yang indah setelah ini.
Kulangkahkan kakiku untuk keluar dari dalam kamar, hingga akhirnya menuruni anak tangga menuju lantai dua, meski hatiku masih sedikit ragu. Suasana hangat, langsung terasa setibanya aku di ruang makan. Terlihat dengan jelas, tante Vio yang kini telah kupanggil Mama, tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk kami. Papi tengah menikmati kopi, dengan sesekali menaik turunkan layar tablet digital miliknya, yang kuyakini pasti semuanya berisi tentang pekerjaannya. Dan tak lama setelah itu, sosok lain melewati tempat berdiriku, yang berada di ambang anak tangga terakhir. Shandy terlihat begitu tampan dengan kaus oblong yang dilapisi kemeja flanelnya yang berwarna abu-abu pudar. Karakteristik sebagian besar anak kuliahan, sih. Tapi kalau Shandy yang memiliki wajah bule itu terbalut pakaian sedemikian sederhananya, tentu saja terlihat satu level di atas mahasiswa lain pada umumnya. Wanginya yang begitu maskulin saja, masih tercium meski ia sudah berlalu beberapa meter dariku.
"Bellva, hari ini kamu benar, mau sekolah?"
Pertanyaan mama membuyarkan lamunanku, dan entah sudah berapa lama aku berdiri di tempat ini. Dengan langkah yang masih ragu, aku mendekati meja makan, dan memilih salah satu kursi kosong, yang saling berhadapan dengan Shandy. Kuanggukkan kepala sejenak, seraya menjawab pertanyaan mama beberapa saat yang lalu. Tak lama, papi menatapku sambil memastikannya.
"Kamu boleh sekolah, asal obatnya kamu bawa, dan diminum saat merasa sakitmu kambuh," papi memasukkan benda digitalnya ke dalam tas kerjanya.
Aku kembali mangangguk, kupastikan pula obat-obatan yang diberikan dokter Rose sudah masuk ke dalam tas ranselku.
Mama duduk di samping kiriku setelah memberikan sepasang roti berisi selai coklat. "Kamu berangkatnya bareng Shandy, ya? Papimu katanya harus mengurus pekerjaannya lebih awal, jadi tidak bisa mengantarmu ke sekolah."
Apa? Berangkat bersama Shandy? Sial, tentunya aku tidak mau terdiam sepanjang jalan bersama lelaki itu. "Aku kan bisa.....,"
"-kamu belum boleh menyetir sendiri, ingat kondisi kesehatan kamu," papi menghentikan ucapanku yang belum selesai. Yah, paling tidak, aku sudah menduga hal ini sejak tadi malam.
"Nah, bagaimana Shan? Kamu tidak keberatan, kan, antar adikmu dulu ke sekolahnya?" Mama menatap anaknya, seakan sedang menuntut jawaban iya.
Shandy hanya mengangguk dan tetap bergeming, meski beberapa detik tadi sempat menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Ya ampun, aku tak mengerti dengan jalan pikirannya. Malam itu, semenjak berjalan membelah keramaian, dia begitu hangat karena mendekap lenganku, dan seakan terus melindungiku sesampainya aku di rumah. Bahkan, ia tak segan-segan untuk membelaku di hadapan mami. Dan sebentar, kalau di film-film maupun di kebanyakan novel, saat pemeran utama perempuan jatuh pingsan, pasti tokoh lelaki tampan yang akan membopongnya sampai dibawa ke dalam kamar. Apakah Shandy juga melakukan hal yang sama seperti di dalam bayanganku? Tapi kalau melihat sikapnya yang berbeda 180 derajat menjadi membeku lagi begini, aku jadi tak mau berterima kasih meski ia melakukan serangkaian upaya yang sudah kujelaskan di atas.
Akhirnya aku benar-benar berangkat sekolah diantar oleh Shandy, dan yang seperti kubayangkan sebelumnya, kami saling terdiam sepanjang perjalanan. Bahkan, sampai aku turun dari mobilnya, dan berterima kasih karena sudah mau mengantarku, lelaki itu tetap bergeming. Dia langsung menjalankan mobilnya lagi meninggalkan halaman sekolahku, tanpa memberi klakson sebagai tanda pamit untukku. Aku menggerutu beberapa saat, lalu akhirnya mengalah kepada keadaan. Mau mengomel seperti apa pun, dia tak akan bisa melihatnya lagi, bukan?
"Bellva."
Saat aku hendak memasuki ruang kelasku, panggilan dari seseorang itu menghentikan langkahku. Suara dari seseorang yang sempat membuat hatiku berdebar. Bahkan kini, debaran itu kembali terasa. Terlebih saat lelaki itu, melukiskan senyum manis di bibirnya.
"Kamu tiga hari sakit lagi, ya? Apakah sakitnya separah itu? Saya jadi khawatir, karena chat saya juga ngga dibalas sama kamu," lelaki berponi halus di sampingku ini berceloteh, sambil memperlihatkan ekspresi khawatirnya. Ya ampun, merasa dikhawatirkan begini oleh Hendry, membuat mood-ku kian membaik pagi ini, meski baru dibuat kesal oleh Shandy.
Aku mengangguk dengan ragu, tak berani kutatap matanya karena malu. "Ada masalah pas hari Minggu, yang bikin sakit gue kambuh, sih. Jadi, lo ngga usah khawatir dengan perbincangan kita sebelumnya, di ruang jurnalis waktu itu."
Kulihat sepintas, Hendry mengalihkan pandangannya dariku beberapa saat. "Saya memang khawatir, sih, takutnya kamu sakit lagi gara-gara debat sama saya waktu itu," lalu ia kembali menatapku dalam. "Oh, iya, saya mau bicarain soal jurnalis juga. Ng... Untuk jabatan humas kamu, bisa diganti, setelah kemarin saya konsultasi dengan pembina. Kamu bisa bantu saya untuk sementara waktu di sekretaris, karena sekretaris utama dari kelas sepuluh itu, sudah jarang terlihat aktif di jurnalistik."
"Tugasnya, ngga terlalu.....,"
"-ngga, kok! Kamu cukup perlu bantuin saya menulis segala keperluan ekskul, seperti surat-menyurat, kalau ada acara pun, lebih terlihat sibuk di balik layar, dibandingkan harus bertemu dengan orang-orang. Jadi, bagaimana?"
Biar kupikirkan sejenak atas tawaran yang diberikan Hendry barusan. Aku mungkin mampu, untuk membantunya sementara waktu di jabatan sekretaris. Dan tentunya, aku akan mendapat nilai plus lain, karena bisa berdekatan dengan Hendry. Segala kepentingan sekretaris, tentunya harus dikomunikasikan langsung dengan ketuanya, bukan? Seketika, aku ingin meng-iya-kan, permintaannya. Namun, ingatan bahwa aku juga baru saja bergabung di ekstrakulikuler desain grafis, terpampang nyata di memoriku. Apa aku bisa membagi waktu untuk dua hal ini?
"Gue juga baru ikutan DG, Hend. Apa ngga terlalu sibuk, ya, nantinya?"
Hendry terlihat terbelalak, mendengar jabawan dariku. Namun dengan sigap, ia mengganti ekspresinya menjadi kembali berbinar. "Ngga apa-apa, sih. Waktu kelas sepuluh, saya juga ikut dua ekskul. Asal bisa membagi waktu, pasti ngga terlalu membebani."
Aku jadi bersemangat mendengar tanggapan Hendry barusan. Padahal, kukira sebelumnya Hendry akan marah, karena dengan semena-mena, aku juga ikut ekstrakulikuler lain, tanpa berbicara padanya terlebih dahulu. Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah ini. Jabatan baru di jurnalistik kudapatkan, aku juga tidak memusingkan aktivitas di desain grafis karena di sana, aku bergabung hanya sebagai anggota. Apalagi, aku baru latihan teknik dasar-dasarnya saja.
***
"Bebell!"
Seseorang menepuk bahuku, saat aku hanyut dalam rasa nikmat sepiring nasi goreng. Sosok tersebut rupanya Naomi yang selalu terlihat ceria. Setelah menepuk bahuku, Naomi iseng menoyor kepala Ray yang duduk berhadapan denganku. Kemudian terjadi perdebatan di antara keduanya. Tingkah dari dua makhluk sepersepupuan ini, begitu menghiburku. Tak lama setelah mendatangi salah satu kedai kantin, Naomi kembali ke meja kami, dan memilih duduk di samping kananku. Ulah usilnya tak hanya menoyor kepala, karena kini ia dengan santainya merebut dua buah bakso kecil di mangkuk Ray, dengan sendok garpu baru yang diambilnya. Melihat tingkah Naomi, Ray hanya mengerlingkan mata. Seakan segala tingkah dari gadis ini, sudah sering ia hadapi.
"Bebell hari Selasa kemarin ke mana? Kok ngga gabung DG, sih?" Kini yang menjadi korban adalah nasi gorengku, yang diambilnya dengan kerupukku.
"Bellva sakit," bukan aku yang menjawab, melainkan Ray yang menyergap cepat.
"Yeuh, nanya ke lo juga ngga!" Sisa gigitan kerupuk tadi, Naomi lempar ke kepala Ray.
"Ngga usah nanya-nanya, Bellva jadi ngga nyaman sama tingkah lo," dengan raut wajah yang datar, Ray kembali menimpali sepupunya ini.
Naomi meraih sendok garpunya kembali, lalu ia tancapkan ke meja kami. "Bebell tuh, yang ngga nyaman sama keberadaan lo! Dasar cowok parasit, lo!"
Tingkahnya berlanjut meraih sendok garpunya yang semula tertancap di meja, lalu menunjukkan benda tersebut ke dekat wajah Ray. Tingkah pertamanya saja, sudah membuatku dan orang di sekitar kami terkejut, apalagi tingkahnya yang selanjutnya ini. Astaga, Naomi...
"Psikopat, lo!" Ray menepis garpu yang ditunjukkan Naomi padanya. "Mending, lo pakai garpu lo buat makan sisa bakso gue, nih," lalu ia menggeser mangkuknya menuju ke dekat Naomi.
Naomi berbinar, dan segera menyambut mangkuk Ray yang masih tersisa beberapa buah bakso kecil, dan menyantapnya menggunakan garpu yang tadi sudah menancap ke meja. Ya Tuhan, apakah Naomi begitu mengabaikan kebersihan? Melihatnya saja, Ray ikut bergidik ngeri sepertiku sambil menelan saliva susah payah.
"Dia emang gitu, Bell. Maklumin, ya," Ray berbisik, sambil menutupi satu sisi mulutnya, supaya tak didengar Naomi.
Aku jadi terbahak melihat kelakuan dua bocah ini. Dan aku baru tersadar, entah kapan aku terakhir terbahak selepas ini. Rasanya, sekali tertawa, satu beban di pundakku seakan menghilang. Terlebih lagi, saat kedua saudara sepupu ini, terus saja bertingkah konyol. Aku merasa kembali ke dunia masa laluku, yang terasa indah karena bahagia ditemani oleh keceriaan sahabat-sahabatku. Namun seketika, perutku seakan terasa bergejolak. Mengingat kenangan indah bersama sahabat, tak menyulutkan Tuhan memberikan ingatan masa laluku yang buruk pula bersama sahabat.
Seketika aku bangkit dari tempat dudukku, berlari menuju ke toilet siswa yang kupastikan jaraknya paling dekat dari kantin. Sebagian isi perutku, tumpah memenuhi salah satu wastafel. Tak lama berselang, Naomi datang membantu memijit tengkukku. Isi perutku kembali keluar, dan kepalaku jadi terasa berat.
"Aduh, Bellva... Lo kenapa? Baru juga kita ketawa-ketawa bareng, kok lo langsung kayak gini, sih?" Naomi merangkul tubuhku yang terasa lemas untuk berdiri.
"Lo keracunan?" Naomi tak henti-hentinya mengkhawatirkanku. "Atau jangan-jangan, Ray ngehamilin lo, ya?!"
Brak
Ray yang terlihat berdiri di ambang pintu masuk toilet, menendang pintu tersebut. "Gila, lo! Kalau orang lain dengar, gimana?"
"Hah, jadi benar?" Naomi menatap Ray dan beralih kepadaku penuh pertanyaan. "Lo hamil sama Ray?"
"Naomi..." Ray berdesis sembari memijit pelipisnya. "Bellva baru mau sebulan sekolah di sini, kapan sempatnya gue hamilin dia, bangsat."
"Udah-udah, aku bisa jalan sendiri, kok," aku melepaskan rangkulan Naomi, lalu berusaha berjalan sendiri. Namun sesampainya di ambang pintu, aku kembali menuntahkan isi perutku.
Dan sampai-sampai, terkena hoodie Ray...
Aku malu, sangat malu. Bahkan saat beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan perilaku aneh dari kami, dan mendengar teriakan Naomi. Daripada terjadi hal lain lagi, dua saudara sepupu ini membawaku ke UKS. Hoodie yang digunakan Ray, sempat kulihat langsung dibuang olehnya ke tempat sampah. Beruntungnya, seragam sekolahnya tak sampai terkena cairan muntahanku. Ya ampun, kalau aku jadi Ray, pasti sudah sangat murka karena kejadian ini.
Namun, sepanjang berada di UKS, kulihat ia begitu sigap merawatku. Bahkan, ia menyuruh Naomi supaya masuk saja ke kelasnya. Kalau dihadapi kondisi yang seperti ini, aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Berdua bersama seseorang yang kukotori bajunya dengan muntahan, sepertinya akan menjadi akhir dari kisahku di bumi. Tapi nyatanya tidak. Karena setelah memberiku air putih hangat, Ray juga sempat berlari keluar UKS, dan beberapa saat kemudian kembali kemari dengan membawa obat-obatan milikku.
Dadaku berdesir merasakan entah suatu perasaan apa. Ray tahu akan sakit yang kuderita? Bahkan, ia sampai tahu, aku membawa obat di dalam ranselku. Dengan ragu, kuraih salah satu obat yang diberikan olehnya, dan perlahan meneguknya. Suasana menghening, karena aku tak tahu harus bicara apa.
"Jadi... Benar? Lo menderita Anxiety Disorder?" Ray yang menunduk kembali membuka mulutnya, setelah sekian lama terdiam.
Pertanyaannya kembali membuat dadaku berdesir. Bagaimana bisa Ray tahu akan kondisiku ini? Dan, apa yang harus kukatakan sebagai jawabannya?
"Ngga perlu dijawab, semisal lo ngerasa ngga nyaman untuk menjawabnya."
***