webnovel

Bab 24

Saat ini Rindi tengah duduk di atas kursi roda tepat di taman belakang rumahnya. Sudah seminggu ini dia mengurung diri dan menghindari Daffa.

Ia menatap nanar hamparan taman di depannya itu,

Tanpa dia sadari, seseorang yang selama ini ia hindari berdiri di belakangnya. Randa terpaksa membiarkan Daffa masuk karena ancamannya, Daffa sudah kesal karena Rindi mennghindarinya seminggu ini. Tanpa menerima pesannya dan tidak mau bertemu dengannya.

Daffa berjalan mendekati Rindi yang terlihat cantik dengan rambutnya yang diikat kuda dan syal abu tersampir di bahunya.

"Hai Nona," Rindi menengok ke arahnya dengan kernyitannya.

"Sedang apa kamu disini?"

"Menemuimu, apalagi." Jawabnya dengan enteng.

'Randa sialan!' gerutunya.

Rindi segera beranjak meninggalkan Daffa tetapi di tahan olehnya. "Kamu kenapa sih?"

"Pergi Daffa, aku tidak ingin bertemu dengan siapapun." Rindi kembali menarik roda kursi rodanya tetapi masih di tahan oleh Daffa.

"Tidak akan aku biarkan, sebelum kita bicara."

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan,"

Daffa menarik kursi roda Rindi hingga kini mereka berhadapan. Daffa mencondongkan tubuhnya di hadapan Rindi. "Ada yang harus kita bicarakan,"

"Aku tidak mau." Rindi terus saja memalingkan wajahnya.

"Kamu ini kenapa sih?"

"Aku tidak apa-apa, aku mohon tinggalkan aku sendiri," ucapnya.

"Apa ini karena pria itu lagi?"

"Bukan,"

"Lalu apa lagi, Rindi. Kenapa kamu menghindariku?"

"Aku hanya ingin sendiri, apa aku salah?" tanyanya.

"Tapi aku ingin tau alasannya," ucap Daffa masih dengan kebingungannya.

"Sebaiknya kita tidak berteman lagi."

"Apa maksud kamu?"

"Aku mohon pergilah tuan Daffa, jangan menggangguku lagi." Rindi menatapnya dengan sengit.

"Kamu ini kenapa sih?"

Rindi berteriak memanggil Randa hingga tak lama iapun datang. "Ada apa?"

"Bawa aku ke kamar,"

"Tapi,"

"Randa!"

"Emm, oke." Randa menatap Daffa dengan iba, iapun segera membawa Rindi ke masuk ke dalam rumahnya.

"Ada apa dengannya?" keluh Daffa,

Randa membawa Rindi ke dalam kamarnya.

"Kenapa loe membiarkan dia masuk?" pekik Rindi.

"Apa yang salah? Dia maksa ingin ketemu loe."

"Gue gak ingin ketemu dia lagi, loe paham gak sih!" pekik Rindi.

"Loe kenapa sih? Apa salah Daffa? Apa ini karena loe masih mencintai Percy?" tanya Randa.

"Tidak ada hubungannya dengan Percy, loe paham."

"Lalu apa?"

"Gue gak mau dia mengasihani gue, lihat keadaan gue sekarang? Gue cacat, Randa. Gue gak butuh belas kasihan dari kalian semua!" pekiknya,

Rindi menundukkan kepalanya seraya mengusap wajahnya yang sudah basah karena air mata. "Nggak ada yang mengasihani loe,"

"Kalau begitu kenapa loe gak menikah dengan Samuel? Kenapa loe memilih menundanya? Ini pasti karena gue kan? Dan Daffa, dia rela menahan malu di depan media hanya kasihan sama gue." Pekiknya membuat Randa terdiam.

"Gue tau gue sudah di campakkan oleh Percy dan keadaan gue sekarang lumpuh. Apa semenyedihkan itu gue di depan kalian sampai kalian semua harus mengasihani gue?" Randa masih mematung di tempatnya.

"Jawab gue Randa," isaknya semakin menjadi.

"Gue mohon pergilah, katakan padanya kalau gue tidak ingin bertemu lagi dengan dia. Gue akan kembali pada Percy,"

"Loe gila, Percy sudah-"

"Gue tau, dan gak perlu loe perjelas. Katakan saja pada Daffa kalau gue akan kembali pada Percy, katakan padanya kalau Percy meminta gue kembali lagi dengannya."

"Loe-?"

"Gue gak ingin kalian mengasihani gue, termasuk Percy. Gue ingin sendiri, jadi katakan padanya seperti itu supaya dia menjauhi gue."

"Kenapa loe lakukan ini?" Randa semakin bingung dengan apa yang Rindi lakukan.

"Apa yang akan loe lakukan kalau loe yang ada di posisi gue? Loe akan tetap mempertahankan Samuel untuk terus mengurusi loe yang cacat?" Randa membeku di depannya.

"Tidak ada yang rela membiarkan seseorang yang berarti di hidupnya harus menghabiskan waktu dengan mengurusi kita. Gue tidak mungkin bisa berjalan lagi, tulang gue sudah hancur." Isaknya.

"Loe mencintainya?"

"Gue tidak tau, tetapi gue merasa nyaman sekaligus takut berada di sampingnya. Gue takut akan menyulitkan dia karena perasaan ini. Dia mampu dengan cepat mengganti posisi Percy." Dia mengusap wajahnya.

Ada rasa syukur di hati Randa, setidaknya Rindi tidak akan terjerat lagi dalam lingkaran rumit antara Percy dan Rasya. "Baik Percy atau Daffa, gue ingin mereka bahagia dengan kehidupan mereka."

"Jangan seperti ini, loe berhak bahagia."

"Tidak Ran, ini seperti hukuman buat gue. Dan gue akan menerimanya, gue tidak ingin menarik siapapun masuk ke dalam kehidupan gue yang suram ini. Termasuk loe,"

"Randa, terimalah lamaran Sam dan menikahlah. Gue tidak ingin melihat loe seperti ini, jangan membuat gue semakin merasa bersalah."

Randa menangis memeluk tubuh kembarannya itu. "Gue ingin loe bahagia Randa, setidaknya itu mampu meringankan beban gue."

***

Daffa menghabiskan waktunya di sebuah club malam yang menjadi langganannya dengan meneguk wiski. Dia tidak memperdulikan beberapa wanita yang menyentuhnya dan menggodanya. Dia sudah biasa seperti itu.

Diam di sebuah private room dan di temani beberapa wanita, biasanya dia selalu merespon wanita wanita itu. Tetapi sekarang dia hanya diam, membiarkan wanita wanita itu membelai tubuhnya.

Tak lama seorang pria berpakaian formal datang, ia menghela nafasnya melihat Daffa yang diam membisu dan hanya meneguk minumannya.

"Pergi kalian semua," ucapnya mengusir para wanita itu.

Daffa biasanya protes, tetapi kali ini dia hanya diam saja membuat para wanita itu mencibir dan berlalu pergi setelah menerima uang dari pria berjas formal itu.

"Kenapa gak angkat telpon gue?"

"Ada apa loe mencari gue?"

"Ibu loe ingin bertemu." Ucapnya dengan sangat dingin.

Pria yang berperawakan tinggi dan begitu tampan bak dewa yunani itu duduk di samping Daffa.

"Bilang saja gue sibuk,"

"Loe gak pulang pulang, dia mengkhawatirkan loe sampai menghubungi gue."

"Bilang saja gue sibuk syutting. Dia kan ibu loe," ucapnya membuat pria tampan itu mencibir kecil.

"Jangan seperti bocah, temui dia gak ada salahnya. Loe udah lama gak pulang," pekiknya.

"Loe sahabat gue tapi kenapa lebih berpihak pada wanita itu sih."

"Dia ibu loe, Daffa."

"Gue tidak menganggapnya seperti itu setelah dia bercerai dengan bokap gue." Ucapnya.

"Loe benar-benar keras kepala,"

"Tak berbeda jauh dengan loe, Dave." Cibir Daffa.

Hanya helaan nafas yang terdengar, Dave mengambil gelas lain dan menuangkan wiski dari dalam botol. "Loe lebih sialan dari gue ternyata."

Ucapan Daffa membuat Dave menghentikan gerakannya. "Loe masuk koran hari ini dengan berita menjijikan."

"Apa kata loe,"

"Loe serius ngejar janda beranak satu?" tanya Daffa dengan kernyitannya.

"Bukan urusan loe, gue datang untuk menyampaikan pesan dari nyokap loe."

"Sampaikan saja padany gue sibuk, bukannya dia juga sibuk dengan kekasihnya yang dulu jadi selingkuhannya." Ucapnya dengan santai,

"Sampaikan sendiri," Dave beranjak dari duduknya menuju pintu keluar.

"Davero Anderson Wiratama, apa tidak ada gadis yang lebih memukau lainnya buat loe dekati? Loe itu seorang pengusaha muda yang tampan, bahkan rekan artis gue tergila-gila sama loe. Apa harus janda itu?" ejek Daffa.

Dave menampilkan smirk di bibir tipisnya yang merah. "Dia bukan janda, loe belum mengenalnya."

"Setelah lama menghilang, sekarang datang hanya untuk mengatakan hal sialan seperti itu," cibir Daffa.

Dave hanya mengangkat sebelah tangannya dengan sebelah lagi di masukan ke dalam saku celananya. Ia berlalu pergi meninggalkan Daffa seorang diri.

***

Rasya berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan kembali isi perutnya, ini sudah kesekian kalinya Rasya muntah.

Dari semalam bahkan dia tidak bisa tidur dengan tenang karena rasa mual yang menyerangnya.

Ia meneguk air di dalam gelasnya, dengan mengusap peluh di keningnya. "Ada apa denganku,"

Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, kemarin sempat membelinya dari supermarket yang ada di apartement. Ia memasuki kamar mandi untuk mengecek hasilnya.

Saat ini Rasya masih mondar mandir untuk melihat hasilnya, harus menunggu 5 menit.

Ia melihat jam tangannya dan segera mengambil alat itu yang ia simpan di atas meja.

Deg

Dua garis merah. "Hamil,"