webnovel

Aku ingin bertemu lagi denganmu, besok dan seterusnya

Mobil Alvin berhenti tepat didepan sebuah panti asuhan yang cukup besar, Lea yang sejak tadi tertidur kini terbangun. Ia melihat lihat sekitar karena tertarik.

Panti asuhan itu terletak jauh dari perkampungan, namun bangunannya tak terlihat tua. Ia semakin terkejut saat mulai masuk kedalam panti asuhan, dua orang perempuan memeluk Alvin saat datang. Mereka terlihat senang, bahkan memeluk Lea saat ia menyapa.

"Waaaaa" decak kagum Lea saat masuk kedalam panti asuhan.

Panti asuhan itu terlihat sedikit berbeda karena terlihat mewah didalamnya, saat Alvin sedang sibuk dengan urusannya Lea menghabiskan waktunya untuk berkeliling. Berkali kali ia berdecak kagum pada panti asuhan itu, ada banyak perlengkapan yang bahkan tak dimiliki panti panti di kota. Lea yakin, bahwa panti asuhan ini mendapat banyak dukungan dari banyak pihak dan dana yang cukup untuk membuatnya terlihat sangat bagus.

Lea tersenyum saat melihat beberapa anak perempuan sedang menjemur pakaian diluar, ia menghampiri mereka dan menyapa. Tubuhnya secara otomatis berusaha membantu, beberapa kali juga mereka bicara hal hal lain. Dari kejauhan, Alvin tersenyum saat melihat Lea yang terlihat senang bermain bersama anak anak lain diluar.

"Aku pasti sudah gila karena menginginkannya menjadi ibu dari anak anakku" pikir Alvin yang tak bisa menolak pikirannya sendiri.

Ia berjalan kearah Lea, saat mendekat ia bisa melihat betapa cantiknya Lea dibalik kain kain panjang yang dijemur. Bahkan Alvin sangat ingin membelai rambut Lea yang beterbangan kesana kemari.

"Cantik" ucap Alvin tanpa ia sadari.

Lea tersenyum manis, "Bukankah terlihat lebih cantik darisini?" Jawab Lea sembari menatap sebuah pelangi dilangit.

"Iya, terlihat lebih cantik sampai aku tak bisa memalingkan wajahku" Kali ini Alvin terus memandangi wajah Lea, memperhatikan setiap garis wajah Lea.

"Tapi, bukankah aku lebih cantik daripada pelangi itu?" Tanya Lea yang tiba tiba menoleh kearah Alvin.

Pria itu tiba tiba batuk, ia dengan cepat mengalihkan pandangannya pada pelangi. Dengan canggung, ia tersenyum kecil.

"Siapapun tau tak ada yang bisa menandingi pelangi, jadi jangan berharap aku akan berkata bahwa kamu lebih cantik" ucapnya berbohong.

Lea mengangguk, "hhmm, ada benarnya"

Kali ini Alvin terdiam, ia memandangi langit yang indah pagi itu bersama Lea. Bahkan Alvin merasa bahwa semesta mendukung perasaan bodohnya saat itu. Ia terus tersenyum kecil membayangkan berapa indahnya waktu yang dijalaninya sejak kemarin. Bahkan angin lembut yang membelai pipinya terasa menyenangkan. Ia tidak tau bahwa jatuh cinta akan seindah ini.

"Saat itu kamu membohongiku bukan?" Tanya Alvin.

"Tentang nomor telponku?" Lea kembali bertanya.

Alvin mengangguk.

"Aku tak tau kamu akan benar benar menelpon"

"Kamu tak ingin meminta maaf?"

Lea menggeleng.

"Saat bersama Nata, kamu bahkan menganggap bahwa tak pernah terjadi apa apa. Aku menelponmu malam itu, dan menjadi bodoh" gerutu Alvin.

Lea tertawa, "mungkin malam itu aku juga hampir mati karena tertawa"

"Aku hampir mati karena kesal"

"Tapi kamu masih hidup"

"Ya Tuhan, kamu benar benar berharap aku mati?"

"Pikiranmu jelek sekali"

"Ucapanmu juga buruk, aku takkan mati hanya karena ditipu perempuan sepertimu"

"Ditipu? Aku tak pernah menipumu"

"Baiklah, kamu tak pernah menipuku. Baiklah, aku takkan menang melawanmu"

Alvin merogoh ponselnya dari kantong celana, ia memegang tangan Lea dan memberikan ponsel itu pada Lea.

"Aku mau nomor telponmu sekarang!" Paksa Alvin.

Lea menggeleng, "kita tak cukup mengenal satu sama lain untuk bisa mengetahui nomor telponku"

Wajah Alvin memerah karena mulai kesal, "Jadi apa yang kita lakukan dua hari ini? Hanya dua orang yang tak saling mengenal. Tidur dimobil berdua?"

Lea menggigit bibirnya, "emmm, anggap saja kamu menolongku dari hujan"

"Wahhhh, perempuan ini memang benar benar gila" teriak Alvin yang mulai meledak.

"Aku takkan memberi nomor telponku" goda Lea yang kemudian pergi setelah salah satu ibu Panti memanggil mereka untuk masuk kedalam.

Lea tersenyum lebar, ia cepat cepat duduk saat melihat sebuah makanan tersaji diatas meja. Perempuan itu memakan semua makanan yang tersaji diatas meja tanpa sepatah katapun.

"Aku seperti mengenal rasa makanan ini" ucap Lea membuka pembicaraan.

"Benarkah?" Tanya ibu Panti.

Lea mengangguk, "Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Menyegarkan" lanjut Lea.

"Itu karena aku yang memasaknya" ucap seorang pria tinggi besar keluar dari dapur dan menyapa.

Lea terkejut melihat pria yang sedang berdiri didepannya, pria itu adalah seseorang yang sangat ingin ia temui dipulau ini.

"Pamann Sam!" Teriak Lea.

Ia beranjak dari kursi lalu memeluk pria itu, "Paman terlihat tua" ucapnya.

Pria itu memeluk Lea erat, ia mengacak acak rambut Lea dan tertawa. Alvin dan semua orang yang ada disana keheranan melihat Lea.

"Aku pergi ke restoran paman, tapi katanya paman sudah menjual restoran itu dua tahun lalu" keluh Lea.

Sam mengangguk, setelahnya Lea terus bercerita tentang Sam yang memiliki restoran dimana Lea bekerja. Sam terus memberinya makanan gratis sebagai upah karena mengetahui keadaan ekonomi Lea. Meski saat itu Lea masih kecil, namun Sam tak ingin melihat Lea terbebani hutang budi. Ia mempekerjakan Lea untuk hal hal kecil, seperti membuang sampah, memberi menu, dan membersihkan meja. Hal itu yang akhirnya membuat Lea menyukai Sam dan menganggapnya sebagai paman. Pria itu tak melihat Lea dengan belas kasihan, dan Lea tak perlu terbebani dengan semua yang ia dapatkan.

Setelah mendengar semua cerita dari Sam, Alvin lebih banyak diam. Hatinya terasa sedikit pedih, ia kini benar benar tau bahwa malam itu Lea tak berbohong. Perempuan itu tak berbohong soal cerita orang tuanya. Air mata yang terhapus hujan malam itu adalah kesedihan karena mengingat masa lalu.

Setelah semua urusan selesai, Alvin dan Lea berpamitan. Mobil Alvin melaju kencang menuju dermaga, ia takkan melewatkan kapal hari ini dan kembali ke kota.

" Lea" gumam Alvin saat berada didalam mobil.

"Hmm?" Lea menoleh.

"Kamu benar benar takkan memberiku nomor telponmu?" Tanya Alvin untuk memastikan.

Lea tersenyum.

"Ini terasa aneh" ucap Lea pelan.

"Aku merasa nyaman" lanjutnya.

"Biasanya, aku takkan suka jika ada orang lain yang mengetahui tentang kehidupanku. Tapi entah kenapa, aku merasa nyaman hanya karena merasa kamu mengulurkan tangan padaku"

"Aku juga"

Keheningan menghampiri mereka untuk beberapa saat. Wajah Lea tiba tiba berubah, ia menahan sedikit air matanya.

"A-aku" ucap Alvin dan Lea bersamaan.

Alvin yang merasa canggung malah terdiam, meminta Lea melanjutkan ucapannya.

"Jangan menyukaiku" lirih Lea.

"Kenapa?" Alvin tak menyangka bahwa Lea akan mengatakan hal tersebut. Padahal ia sudah percaya diri bahwa Lea mungkin akan mengatakan perasaannya pada Alvin terlebih dahulu.

"Karena aku bukan seseorang yang mudah" Lea menjawab.

"Saat menyukaiku, kamu akan terus kesulitan. Akan lebih sulit jika aku menyukaimu juga. Aku takkan sanggup melihat orang yang kusukai kesulitan" ucap Lea lagi.

Alvin mengangguk, "jika seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan pergi, menghilang dari kehidupanmu. Agar kamu tak lagi kesulitan"

Kini Alvin mengerti, ia mengangguk. Sepanjang perjalanan ia dan Lea hanya terdiam. Seperti saling tak mengenal satu sama lain. Lea sama sekali tak bicara apapun, tatapan matanya kosong. Begitu juga dengan Alvin, ia hanya diam mendengarkan lagu lagu kesukaannya diputar dimobil.

Ia meninggalkan Lea setelah mengantarnya, pria itu tak merasa marah. Tak juga kesal karena ditolak. Hatinya justru merasa kosong, ada kesedihan yang terselip diantara kekecewaan yang baru saja ia terima.

"Aku ingin bertemu lagi denganmu, besok, dan seterusnya" pikir Alvin.