webnovel

Manis di Awal, Pahit di Akhir

"Siapa nama anak Om?" Dio sedikit penasaran.

"Bagas Aditya Waksana." Sahut Adi Waksana, tampak bangga ketika menyebut nama sag putra.

"Putra Om Adi inilah yang akan jadi teman belajarmu ketika dia pulang ke Indonesia nanti, bukan begitu Tuan Adi?" Sebastian merangkul tamunya dengan penuh kebanggaan.

"Eh, teman belajar putra Anda? Apa saya tak salah dengar? Putra Anda adalah anak yang jenius jika dibandingkan dengan putra saya. Mana mungkin dia akan mampu mengimbangi Nak Claudio."

"Haha, Tuan Adi suka merendah. Buktinya, Bagas bisa masuk ke universitas nomor satu dunia, bukankah itu pencapaian yang luar biasa?"

"Haha, itu hanya suatu kebetulan, Tuan Sebastian."

Keduanya tampak senang hingga membuat Claudio muak! Donna berusaha menjadi pagar pembatas antara ayah-anak juga tamu mereka yang membuatnya langsung tak senang.

"Kalau boleh tahu, anak Om ambil jurusan apa di MIT?"

"Ekonomi dan ilmu komputer," sahut Adi.

"Wah, pasti anak Om super jenius sekali, ya. Sepertinya, kami akan cocok untuk jadi tema belajar." Senyum Claudio tipis.

"Haha, jika Nak Claudio sudah berkata seperti itu, Om akan segera sampaikan pada putra Om agar segera menemuimu begitu kembali ke Indonesia."

"Begitu lebih baik, Om. Tapi, sebelumnya maaf, Dio tak bisa menemani Om Adi karena baru pulang sekolah. Jadi …."

"Ah, tidak. Tidak apa-apa, Om ngerti kok. Sekolah zaman sekarang benar-benar seperti pekerja kantoran."

"Dio, kau sungguh tak sopan pada tamu! Papa kan sudah bilang ….?" Sebastian mulai kehilangan kontrol temperamennya dan langsung dipelototi Donna, namun diacuhkan oleh Dio.

"Tak apa, Tuan Sebastian. Anda jangan terlalu memaksakan kehendak." Sahut Adi menepuk punggung Sebastian.

"Terima kasih, Om atas pengertian Anda, permisi." Dio menundukkan kepala sebagai rasa hormat dan melirik sang papa tajam ketika membalikkan badannya.

"Antar Dio dan temani dia!" bisik Donna pada Jhon.

"Baik, Nyonya."

"Oh, ya, silakan Tuan Adi kita menikmati makan malam yang telah disediakan di meja makan." Donna membuka tangannya lebar dengan senyum mengembang mempersilakan sang tamu masuk ke ruang makan.

Sementara itu, di dalam kamar, Dio yang ditemani oleh Jhon tampak duduk merenung memandang langit dengan pemandangan bintang yang jelas dipandang mata.

"Tuan, apa Anda ingin sesuatu?" tanya Jhon berdiri di belakang Dio

"Aku bertemu dengannya, Paman. Aku bertemu lagi dengannya." Sahut Dion tersenyum bahagia.

"Dia? Maksud Anda?" Jhon mengerutkan keningnya.

"Hah, aku pernah membaca satu novel tentang laki-laki cupu dan seorang gadis yang punya prinsip kuat, tegas, dan sedikit naif. Kukira alur cerita seperti itu hanya akan ada di dalam novel. Tapi ternyata …."

"Tuan Dio, saya tak mengerti maksud Anda."

"Tak ada yang Paman harus mengerti, cukup dengarkan saja karena aku butuh seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahku juga sepiku." Dion menoleh ke Jhon dengan senyum lirih dan tatapan sendu. Jhon kemudian mendekati Dio dan menepuk pelan pundak anak yang telah diasuhnya sejak kecil itu sambil berkata, "Saya akan mendukung apa pun yang Tuan ambil. Karena saya percaya, Tuan telah memikirkan baik-buruknya." Senyum Jhon.

"Terima kasih, Paman. Akan selalu kuingat ucapan Paman."

***

Agnes yang masih berada di akademi La Toule enggan untuk kembali ke rumahnya. Gadis itu terus duduk murung sambil menempelkan dagunya ke tas biola hitam sambil menghela napas berkali-kali.

"Lho, Nes? Kamu masih di sini?" tanya Odele yang tak sengaja lewat kelasnya hendak pulang.

"Huum, Nona sudah mau pulang?" tanya Agnes lemas dan tak ada semangat.

"Kamu kenapa lagi, Nes? Kayaknya hari ini kamu ga ada semangat hidup?" goda Odele berjalan menghampiri Agnes.

"Hah, gimana mau ada semangat, pulang ke rumah pasti berantem sama papi. Belum lagi semua doktrin papi tentang musik! Musik beginilah … begitulah! Pusing Agnes dengernya!" keluh gadis 18 tahun itu.

Odele tersenyum dan mengusap lembut rambut anak didiknya.

"Kamu yakin kan sama diri kamu kalau cita-cita kamu akan tercapai?"

Agnes menoleh ke arah Odele. "Entahlah, Nona. Rasanya saya ingin menyerah saja. Tak guna juga latihan keras tapi tak didukung!"

"Nes, papi kamu bukannya ga mau dukung, tapi beliau hanya tak ingin kamu kecewa dan belum siap menerima semua kritikan orang-orang yang mendengarkan musik kamu. Apa kamu sudah siap jika suatu saat nanti ada yang memberikan kritik pedas ke kamu?" Odele kini merangkul Agnes, memberikan kehangatan dan rasa aman pada diri anak didiknya itu.

"Kurasa … belum, Nona. Saya belum siap," sahut Agnes pelan.

"Nah, berarti mulai sekarang kamu harus siapkan mental yang kuat dan juga latihan yang keras supaya papi kamu tak memandang sebelah mata cita-cita kamu. Oh, ya Ibu hampir lupa. Ini." Odele mengeluarkan sebuah lembaran putih bertuliskan "Beasiswa Musik Le Conservatoire Paris".

"I–ini? B-benarkah ini, Nona?" Agnes segera membelalakkan matanya melihat tulisan besar di bagian kop surat warna putih itu dengan kedua tangan gemetar.

"Ibu tahu mami kamu bisa dan sangat mampu membiayai kuliahmu, Nes. Tapi, tak ada salahnya kamu coba dulu. Siapa tau, kan?" Senyum Odele memberi semangat.

"Mami belum akan kembali, Nona. Harapan sih ada, tapi tipis." Agnes benar-benar pesimis.

"Sudahlah, daripada kamu memikirkan sesuatu yang buat pusing, bagaimana jika Ibu menantang kamu?" Odele menaik-turunkan kedua alisnya.

"Tantangan? Tantangan apa, Nona?"

"Cobalah bermain di tempat umum, dan lihat bagaimana mereka menilai permainanmu, bagaimana? Apa kau berani, Agnes?"

Berpikir sejenak, tak lama kemudian Agnes tanpa ragu menjawab, "Boleh, siapa takut!"

Odele tersenyum. "Baiklah, kita mulai besok, di taman tengah kota, selepas pulang sekolah."

"Baik, akan saya tunjukkan kemampuan saya di depan semua orang!" penuh percaya diri Agnes.

"Ibu suka semangatmu, Nes. Berusahalah yang terbaik esok." Senyum tak pernah lepas dari bibir Odele. Di satu sisi, Agnes yang awalnya percaya diri tiba-tiba terduduk lemas melihat kertas putih di tangannya.

"Ini yang kuimpikan! Ini impianku! Ini cita-citaku! Tak akan kubiarkan orang lain merusak apa yang seharusnya jadi milikku!" Agnes kemudian mengambil ponsel pintar dari dalam tasnya, ia memfoto beasiswa yang diberikan Odele padanya dan mengirimkannya pada sang mami yang masih berada di luar negeri.

'Semoga mami puas dan bangga dengan ini.' Tanpa ragu, Agnes mengirimkannya.

Tak lama, sebuah bunyi yang menandakan pesan masuk ke ponsel pintarnya berbunyi. Dengan cepat Agnes membuka isi pesan itu. Raut ekspresi wajahnya seketika berubah ketika ia membaca sebuah pesan yang bertuliskan :

'Apa kamu kira mami tak bisa membiayai kuliah kamu, Nes? Jangan bikin mami malu sama kolega-kolega mami! Buang saja lamaran beasiswa itu atau kasih sama yang lebih membutuhkan!'

Sebuah jawaban panjang lebar, jelas dan yang pasti … menyakitkan! Agnes tak menyangka mami yang dibanggakan dan mengira akan mendukungnya hingga akhir ternyata hanya manis di depan! Kini, Agnes benar-benar sendiri. Air mata gadis ini pun seketika pecah tumpah membasahi pipi, ponsel, dan tangan putihnya.

"Apa yang harus kulakukan kini? Apa yang harus kuperbuat sekarang? Ya Tuhan …." Agnes terus menatap layar ponsel pintarnya, berkali-kali ia menyalakan dan mematikan gawai miliknya, bahkan panggilan telepon dari sang papa pun tak diangkatnya.

'Apa aku mencoba seperti yang dikatakan Nona Odele? Menjadi pembangkang demi cita-citaku?'