"Edgar, ini ruangan Ketua Divisi Pemasaran kita. Namanya Laura."
Edgar mengernyitkan sebelah alisnya dan menatap ruangan tersebut dengan seksama. Ruangan yang hanya terbuat dari kaca bening memudahkan siapapun melihat aktivitas yang dilakukan Laura setiap harinya. Tidak salah, jika Edgar menatap ruangan tersebut dengan penuh perhatian.
Kedua matanya menyelinap masuk dan segera mengedar. Dia bisa melihat ada sebuah foto berukuran sedang di atas meja milik gadis kelab malam yang ja tolong semalam. Selain itu, blazzer hijau yang dikenakan Laura ketika meeting tadi pun menyelimuti punggung kursi sang pemilik.
"Mari saya tunjukkan laboratoriumnya."
"Baik, Pak."
Dewantara menahan pergerakan, sebelum benar-benar melangkah. "Jangan panggil saya Pak, dong. Panggil aja Om. Kita kan udah kayak sodara. Papa kamu adalah teman baik Om, jadi jangan sungkan, oke? Kecuali saat keadaan formal seperti meeting tadi."
"Tapi, Pak, rasanya terdengar sangat tidak sopan. Gimana kalau karyawan lain denger?" Edgar memiliki kesopanan dengan rating sepuluh per sepuluh. Pria itu tidak pernah bertindak seenak hati, apalagi kepada yang lebih tua darinya.
"Kalau kita lagi berdua kayak gini, nggak masalah, kan?"
Pria itu hanya tersenyum singkat dan mengangguk patuh. Dia kembali melanjutkan perjalanan bersama Dewantara, yang berakhir di sebuah laboratorium yang di dalamnya terdapat tiga orang dengan jas putih seperti para dokter.
"Selamat siang, Pak," sapa seorang wanita, yang mencuri perhatian Edgar.
"Siang, Laura. Gimana? Kalian sudah mempersiapkan semuanya?"
"Oh, sudah, Pak. Nasi gorengnya sebentar lagi jadi, kemungkinan dalam satu menit." Laura tersenyum begitu hangat. Wanita itu mengangkat wajah dan memberikan senyuman tersebut pada Edgar, pria yang jauh lebih tinggi daripada Dewantara.
"Ah, Pak Edgar, silakan bergabung dengan mereka untuk bertanya tentang produk. Saya ada urusan keluar sebentar." Dewantara menepuk bahu Edgar dan menoleh pada Laura. "Dan kalian, tolong bantu Pak Edgar, supaya bisa menyesuaikan diri, ya."
"Baik, Pak."
"Ya sudah. Saya permisi."
Jasmin perlahan menghela napas lega. Wanita dengan pakaian putih-putih serta masker penutup wajah dan mulut yang senada itu kembali berbalik, menghampiri mesin pembuat nasi goreng untuk mengecek kembali gizi yang dia masukkan.
"Silakan, Pak." Laura menuntun Edgar dengan tangan kanan yang menjulur sopan. "Kami akan memperkenalkan proses pembuatan nasi goreng instan yang akan segera dipasarkan."
"Em, mari." Sejujurnya Edgar merasa tidak fokus berada di dekat Laura. Wanita itu berhasil mencuri perhatiannya sejak memasuki ruang meeting beberapa jam yang lalu. Namun yang membuat Edgar sedikit bingung, mengapa wanita itu seperti tidak mengenalinya?
"Ini adalah mesin otomatis yang dibuat untuk menggoreng nasi. Kalau nasinya sendiri, kami meletakkannya di dalam lemari pendingin sebelum digoreng."
"Kenapa harus diletakkan di lemari pendingin?" Edgar menautkan kedua alis.
"Supaya nasinya tidak terlalu lembek, Pak. Jadi, meskipun ini adalah nasi goreng instan, tapi kami ingin membuatnya mirip dengan nasi goreng abang-abang pedangan kaki lima. Dari mulai bentuk hingga rasa."
"Oke, cukup menarik. Lalu, untuk gizinya sendiri, bagaimana?"
"Jasmin!"
Jasmin menoleh ke belakang dan menghampiri Laura.
"Jasmin adalah ahli gizi yang mengurus nasi goreng instan ini, Pak. Agar lebih jelas, sebaiknya Jasmin yang menjelaskannya kepada Bapak."
Edgar mengangguk mengerti. "Baik. Jasmin, manfaat apa saja yang ada di dalam nasi goreng instan ini? Jangan sampai orang-orang yang memakan produk kita keracunan."
Perkataan Edgar membuat Jasmin kesal. Dia menipiskan bibir, lalu berdeham untuk memperbaiki mood yang tiba-tiba memburuk.
"Pak Edgar tenang saja, kami di sini menggunakan minyak kelapa untuk menggoreng. Yang di mana minyak tersebut mengandung berbagai manfaat dan vitamin. Salah satunya Vitamin E. Dan untuk----"
"Sebentar."
Jasmin langsung merapatkan bibir, tatkala Edgar memotong pembicaraannya.
"Kamu serius pake minyak kelapa? Memang rasanya akan jauh lebih enak dibanding minyak goreng biasa?"
"Tentu saja, Pak!" sahut Jasmin, dengan nada sedikit tinggi. "Rasa yang dihasilkan menjadi lebih gurih dari biasanya. Dan menurut survei, nasi goreng akan jauh lebih enak jika ditambahkan taburan kelapa serut di atasnya."
"Cih!" Edgar tertawa pelan, sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Survei dari mana itu, hah? Kenapa saya baru denger?"
Laura dan Jasmin saling melempar pandang dengan gugup. Hanya dengan seperti itu, Laura bisa merasakan hawa kesal yang dialami Jasmin saat ini.
Satu tahun Jasmin berada di bidang ini, tidak pernah ada satu orang pun yang protes dan komplain terhadap resep yang dia berikan. Juga para pelanggan di luar sana.
Tapi kali ini berbeda, orang baru yang berdiri di hadapannya secara terang-terangan ingin membuat Jasmin kesal dan merusak nama baiknya.
"Jas, Lau, nasi gorengnya udah jadi." Itu adalah Aiden, seorang karyawan pria yang bekerja sama dengan Jasmin.
"Lebih baik Pak Edgar coba sendiri rasanya." Terdengar tidak sopan, namun itulah Jasmin. Dia sudah lelah menghadapi bos arogan seperti Edgar. Rasanya atasan mereka yang dulu tidak pernah bersikap meragukan seperti ini. Ya ... walaupun akhirnya ia dipecat, karena percobaan korupsi.
Edgar, didampingi oleh Laura menghampiri sepiring nasi goreng yang digoreng oleh minyak kelapa tadi. Pria itu melirik tiga orang yang bertugas dalam produksi nasi goreng tersebut dengan tatapan ragu.
"Kalau saya kenapa-kenapa, kalian harus segera tanggung jawab," ujarnya, memperingati.
"Silakan dicoba, Pak."
Diam-diam Laura mengulum senyum, melihat sikap berani Jasmin.
Edgar mengambil sendok baru yang tersedia di samping piring dan mulai menyicip produk baru tersebut. Awalnya memang terasa aneh, namun beberapa detik kemudian, bola mata Edgar melebar dengan takjub.
"Wow!"
Laura dan dua rekannya tersenyum, ketika melihat wajah Edgar yang berubah menikmati. Pria itu nampak melanjutkan ke suapan kedua tanpa beban.
"Gi ... mana, Pak?"
Seolah tersadar, pria dengan jabatan Direktur itu pun berdeham. Dia meletakkan sendok dan kembali berdiri tegap seperti tadi.
"Not bad," pujinya. "Saya akui ini enak. Tapi, kalian tidak boleh memproduksi makanan yang berbeda dengan ini."
"Yes!" Ketiganya bersorak di hadapan Edgar. "Baik, Pak. Saya janji nggak akan mengurangi satu bahan pun dari makanan ini. Terima kasih, Pak Edgar." Jasmin, Laura dan Aiden membungkuk sembilan puluh derajat, sebagai ucapan terima kasih.
"Iya-iya. Akhirnya saya bisa percaya sama kalian." Terutama Laura. Edgar tersenyum kecil melihat wanita itu bersorak dengan teman-temannya.
Laura memang terlihat berbeda. Dia seperti wanita dewasa yang bijak dan pekerja keras. Beruntung sekali, karena Edgar tidak melupakan kejadian malam itu.
"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Kalian lanjutin aja."
"Terima kasih, Pak."
Selepas Edgar meninggalkan ruang laboratorium, Jasmin dan Aiden turut melepas jas putih mereka. Karena sebentar lagi jam istirahat dimulai.
Sedangkan Laura, wanita itu masih berdiri di hadapan nasi goreng yang masih setengah utuh.
"Kenapa diliatin terus, Lau? Lo mau abisin nasi gorengnya? Itu sisa Pak Edgar, lho."