"Jangan lupa hubungi bantuan," ujar Leffander.
Jantungnya berdetak sangat cepat saat sudah hampir mendekati lokasi kejadian. Ia berharap bahwa pria berpanah itu sudah pergi sebelum dirinya tiba di sana. Suasana sekitar sangat sepi, pasti mereka ketakutan. Di setiap jalan, mata Leffander seakan dimanjakan oleh anak panah yang menancap tidak beraturan.
"Ini benar-benar dia."
Leffander menghentikan langkahnya sejenak. Ia mengambil ponsel dari saku celananya. Begitu dihidupkan, waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Matahari seakan menyuruhnya untuk berteduh saja di rumah daripada berurusan dengan iblis tersebut.
Jleb!
Sheriff itu mematung di tempat saat anak panah melesat cepat di samping wajahnya. Ia menoleh ke belakang, menatap lekat-lekat benda yang menancap kuat di pohon. Walau hanya sekilas, ia bisa melihat ukiran api pada anak panah tersebut.
"Wah ... Siapakah ini? Sheriff Leff?"
Leffander menundukkan kepalanya, ia merasa tidak bisa bergerak saat sosok pria bertopi koboy itu menampakkan diri. Kedua kaki pria itu mulai bergerak melangkah ke arahnya. Takut? Leffander mengakui kalau dirinya sangat takut.
"Ada apa, Sheriff? Apa aku mengacaukan pekerjaanmu?" tanya pria tersebut.
Leffander tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. "Hm ... Ya, sedikit."
Pria itu menjatuhkan panah yang sedari tadi setia digenggamannya. Lalu ia melepas topi koboy hingga menampakkan wajahnya yang sedikit cacat. Leffander menelan ludahnya dengan sedikit kasar. Ia tahu luka apa yang membekas di pelipis pria tersebut.
Perlahan Leffander berjalan maju, mengikis jarak di antara keduanya. Ia semakin yakin pria tua itu yang ditemuinya beberapa tahun lalu. Apalagi wajahnya yang terus membekas di ingatan Leffander.
"Kau ... benar-benar masih hidup," gumam Leffander.
Pria itu mengernyitkan dahinya. "Kau tidak boleh memanggilku seperti itu. Panggil aku pak Walson."
Secepat kilat, pria bernama Walson itu mengambil senjata andalannya. Lalu ia mengacungkan ujung anak panah pada Leffander. Hingga sheriff itu menghentikan langkahnya dan mengangkat tangan. Walson tertawa penuh kemenangan saat melihat lawannya tidak bergerak. Ia cekikikan seperti orang gila hingga bahunya terguncang.
Tiba-tiba saja pintu yang ada di belakang tubuh Walson terbuka. Nampak wanita dan pria keluar dari sana. Keduanya membawa pistol yang sudah terarah jelas pada Walson. Leffander samar-samar mengingat kedua orang tersebut. Lagi-lagi ia harus ditarik dengan paksa ke lingkaran masa lalu.
"Tuan Jordan?" gumam Leffander.
Jordan tersenyum kaku, sembari melambaikan tangannya. "Apa kabar? Tapi ... siapa kau?"
Walson mendecak pelan. "Kurang ajar."
Kini Leffander sudah merasa dalam kondisi menang. Ia memasukkan ponsel yang sedari tadi ada digenggamannya. Lalu ia menukarnya dengan sepucuk pistol semi otomatis. Wajahnya masih terlihat pucat, sulit untuk dia bisa beradaptasi dengan keadaan saat ini. Terlebih semua orang yang ada di sini, terkait erat dengan kejadian yang menimpa kedua orang tuanya.
"Tolong jangan ada yang menyerang," kata Leffander.
Walson nampak tidak mengindahkan ucapan sheriff tersebut. Ia melesatkan anak panahnya yang sudah siap ke sembarang arah. Sontak Leffander menembak ke udara agar pria tua itu sadar kalau dia tidak bercanda.
"Jika Anda bergerak, mungkin tangan itu tidak akan bisa digunakan lagi!" ancam Leffander.
Walson tersenyum manis. "Jika tanganku tidak bisa digunakan lagi, aku masih punya kaki dan gigi."
Untuk ukuran orang yang terlatih, Walson bisa dengan mudah mengambil anak panah dan melesatkannya tepat di samping wajah Leffander. Sheriff itu meringis saat ujung anak panah berhasil menggores pipinya. Seketika pistol digenggamannya terlepas. Bersamaan dengan itu, Lorreine melesatkan tembakan tepat ke punggung tangan kanan Walson. Seketika pria tua itu melempar panahnya ke tanah. Ia memegangi pergelangan tangan kanannya sembari merintih.
"Argh! Sial! Keparat!" jerit Walson.
Dor!
Tembakan kedua dilesatkan Lorreine ke arah sepatu sebelah kiri pria tua tersebut. Akhirnya Walson terjatuh ke tanah dengan darah mengalir dari telapak tangan dan kakinya. Lorreine dan Jordan bergegas meringkus pria tua tersebut.
Berbekal tali seadanya mereka mengikat kedua tangan Walson, sementara kakinya dibiarkan bebas begitu saja. Leffander segera mengenakan sapu tangan yang selalu dibawa setiap mengunjungi TKP. Lalu ia mengambil alih panah beserta anak panah yang tergeletak di dekat pemiliknya.
"Terima kasih sudah mengalihkan perhatian dia, Sheriff," kata Lorreine sembari tersenyum.
Leffander mengangguk pelan dengan senyum kakunya. "Terima kasih kembali. Kalian bisa membawanya ke mobilku yang terparkir di tepi jalan besar."
"Kau jalan kaki ke sini?" tanya Jordan.
"Ya, begitulah." Leffander tertawa pelan, lalu ia berjalan mendahului kedua orang itu untuk menunjukkan jalan.
"Kau pasti sangat kuat," ujar Jordan sembari mengacungkan ibu jarinya.
~~~
Gill menarik tangan sahabatnya itu dengan penuh tenaga. Jeremy nampak masih sangat mengantuk. Sudah dua hari mereka membuang waktu di perbatasan Arizona. Hanya satu alasan mereka berdiam diri di sana.
"Lebih cepat, Jeremy!" kata Gill yang sudah mulai kewalahan menarik sahabatnya.
Jeremy mendengus pelan. "Apa kau tidak bisa menunggu dua jam lagi?"
Gill menghentikan langkahnya. "Dua jam lagi, lalu kita akan terdampar di sini. Cepat!"
Tin tin!
Suara klakson itu lagi-lagi membuat Gill terus menarik sahabatnya. Mereka mendapat kesempatan untuk menumpang di mobil pick up Ford F-series. Entah sudah berapa lama mobil itu sabar menunggu mereka.
"Hei, Nak! Tolong lebih cepat!" teriak pengemudi mobil tersebut.
Dengan terpaksa Gill setengah berlari sembari menarik Jeremy. Namun kali ini sahabatnya itu sudah setengah sadar. Mungkin ia mulai merasakan perih di kakinya karena tersandung bebatuan. Akhirnya Jeremy mendapatkan kembali jiwanya. Ia melepas genggaman Gill dan berlari sendiri.
"Sial, kakiku seperti mau lepas!" rutuk Jeremy.
Gill hanya menanggapinya dengan tawa kecil. Mereka dipersilakan untuk langsung naik ke bagian belakang. Tanpa banyak bicara, pria tua itu mengendarai mobilnya memasuki kawasan Arizona. Tidak ada satu pun keamanan sebelum masuk ke sana hingga membuat Gill sedikit merasa heran.
Begitu melintasi Route 66 dengan lancar tanpa hambatan sedikitpun. Tidak ada keanehan yang terjadi di sekitar sana, semua berjalan seperti biasa. Bahkan terlihat beberapa pedagang dan anak-anak yang berlalu-lalang di pinggir jalan.
"Hei, Jeremy," panggil Gill pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari aktivitas sosial di kawasan tersebut.
Jeremy yang tengah merapikan senjata yang ada di kotak bawaannya menoleh. "Ya? Ada apa?"
"Bagaimana kalau kita berhenti di sini lalu membeli sedikit makanan?" tanya Gill.
Jeremy mengangguk pelan. "Bilang saja pada orang tua itu."
Gill mengetuk bagian atas mobil untuk berkomunikasi dengan pengemudi mobil itu. Namun bukannya mendapat jawaban, justru mereka dikejutkan dengan suara tembakan yang cukup keras. Suasana Kota Arizona yang semula tenang mulai berantakan. Tidak hanya sekali, suara tembakan kembali terdengar. Kali ini Gill melihat dengan jelas bagaimana peluru menembus kepala seorang pedagang.
"Apa yang terjadi?!" tanya Gill dengan panik.
Tiba-tiba saja mobil yang tengah ditumpanginya berhenti. Gill dan Jeremy langsung turun untuk mengecek keadaan di sana. Begitu pintu mobil dibuka, nampak sang pengemudi sudah tidak sadarkan diri dengan luka tembak di dahinya.
"Sial!" rutuk Gill.
Jeremy bergegas masuk dan mendorong pria itu keluar dari sana. Kali ini ia langsung mengambil alih kursi kemudi.
"Masuk!" kata Jeremy setengah berteriak.
Gill yang semula mematung, langsung masuk ke dalam mobil itu. Jeremy menghela napasnya pelan lalu melajukan mobil itu kembali melintasi Route 66. Samar-samar Gill melihat wanita yang tengah bersembunyi dibalik rumah dengan seorang pria. Lalu wanita itu menoleh ke arah mobil yang tengah dinaikinya. Gill semakin menyipitkan kedua matanya ke arah wanita tersebut.
"Revanta?"