webnovel

delete 8416

"Truth ... or dare?" kali ini ujung botol itu mengarah pada Raja. "Dare!" jawabnya tanpa pikir panjang. Kira-kira tantangan apa yang diberikan pada Raja yang akhirnya merubah hidupnya? Menyeret kelima nama lain, menjebak mereka dalam hidup penuh kegilaan. *** Selamat membaca buku ke empatku. Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, dan situasi. Beberapa chapter akan mengandung adegan dewasa. Terima kasih. - Happy reading my fourth book. Thank You

Qiy_van_Wilery · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
5 Chs

Pertemuan Yang Unpredictable

"Namanya Giani. Minggu depan kalian ada jadwal bareng."

"G- Gia? Giani?" gumam Teya pada dirinya sendiri. "Apa itu Gia-nya Bram? Ijin sakit? Apa tadi Bram jemput untuk antar dia ke dokter? Ah mungkin beda orang."

Raja datang ketika Teya sudah bersiap untuk photoshot segmen pertama. Seperti biasa, dia harus melewati ujian hidup terlebih dahulu sebelum bisa bertemu kekasihnya, yakni dipegang-pegang dan dibelai-belai oleh bang Yanuar.

"Tambah ganteng aja lama-lama. Ikut gym ya? Diet karbo ya?" tanya bang Yanuar sesekali meremas lengan berotot Raja.

Tentu Raja hanya mampu melirik geli, membiarkan bang Yanuar memuaskan hasratnya. Sesekali Raja menepis tangan bang Yanuar yang kadang terlalu liar hingga meraba dada Raja dan pernah juga membuka satu kancing teratas kemejanya.

"Hhm.. Bang, aku ... liat Teya dulu ya. Nanti kita ngobrol lagi." Senyum kecut Raja terpancar dan menjauh-jauhkan tangan bang Yanuar.

Terpaksa bang Yanuar melepas usapan tangannya di dada sang idola. "mmmwuaahh!" susulnya melempar cium jarak jauh.

"Hiih!" gidik ngeri Raja sembari berlalu dengan langkah cepat. "Beb.. aku bawain ekspresso nih," sapanya pada Teya yang sedang mengamati hasil fotonya dari kamera sang fotografer.

"Hei, udah dateng. Gimana, udah telpon Bram?" tanya Teya di saat make up-nya dipoles ulang.

"Gak diangkat, Beb. HP nya mati."

"Kita naik taksi lagi aja kalo gitu."

"Motor Bram?"

"Biar diamanin sama anak-anak kafe. Ntar ku suruh bawa ke garasi belakang biar aman."

"Hooamm.. kamu nginep sama aku aja. Daripada aku bolak balik nganterin kamu pulang pake taksi. Males ah, Beb. Bau pewanginya ituloh."

"Hihi ... iya," liriknya singkat pada sang fotografer yang menyuruhnya untuk memulai pose.

//RAJA : Selebgram dengan 3 juta follower. Penghasilan rata-rata di atas 100 juta rupiah per bulan. Tajir melintir, tidak pernah hidup susah, pewaris tunggal perusahaan manufaktur terbesar di Kalimantan. Pertama kali naik taksi seumur hidupnya karena dipaksa oleh Teya -pacarnya hingga nyaris muntah karena tidak tahan aroma pengharum yang rasa jeruk.//

***

Di apartemen Raja, keduanya menghabiskan makan malam berdua. Teya membuat sambal matah dengan tempe goreng plus nasi panas yang masih mengepul. Dia suka menu sederhana semacam itu, dan otomatis Raja juga turut menggemarinya sejak Teya sering menginap di tempatnya.

Sudah pukul dua dini hari, Bram belum datang. Teya justru cemas karena setaunya, Gia sedang bersama Bram sore tadi. Meski dia belum tahu siapa Gia, tetap saja tak lazim untuk berlama-lama dengan gadis hingga larut malam.

"Gak dicoba telpon Bram lagi?" tukas Teya. Kopi susu dia sajikan di meja bersiap menonton film berdua.

"Palingan dia ketiduran lagi di Blow ... fff ..." ucapan Raja terpotong, dia spontan menoleh ke arah pintu. Bram datang dibopong oleh perempuan manis berkacamata.

"Mabuk?" tanya Raja mendekat, menerima operan tubuh Bram. Perempuan itu diam di tempat, canggung karena ada orang lain di ruangan itu.

"Kamu siapa, masuk aja," titah Teya santai. "Mabuk dia? Siapa yang nyetir?"

"Umm.. iya. Aku yang nyetir tadi. Dia udah teler banget, aku kuwatir."

"Oh, thanks udah anterin Bram. Silahkan duduk!"

"Umm.. iya, makasih," jawab perempuan itu ragu. "Aku mau langsung pulang saja." Dia langsung berdiri lagi dari duduk sedetiknya. Mirip orang kebingungan.

"Mau pulang naik apa?"

"Oh iya!" Dia menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

"Aku Teya," tangan Teya terulur dengan deretan gigi rapi menyertai senyuman manisnya. "Pacarnya Raja, sepupu Bram."

"Aku ... Gia. Temen Bram," jawabnya membalas uluran tangan Teya, masih dengan muka canggung.

"Oh, duduk lagi? Kita ngobrol dulu. Kamu menginap sini juga boleh. Ada kamar kosong di atas."

"Umm, memangnya boleh? Rumahku jauh soalnya."

"Hehe, tentu boleh. Raja suka kalo rumahnya rame. Biasanya dia sendirian kalo Bram gak nginep." Teya mendorong cangkir berisi kopi susu itu ke arah depan Gia. "Belum diminum, buat kamu aja."

"Makasih," balasnya sopan, dengan kepala menunduk malu.

Teya mengamati perempuan itu. Dia tinggi dengan kakinya yang jenjang. Rambutnya lurus sedikit ikal di bagian bawah, tampak perawatan salon. Wajahnya juga manis dengan matanya yang berceruk -mirip anak blasteran indo, tebaknya dalam hati.

"Temen kuliah Bram?"

"Iya," jawabnya singkat, menatap Teya sekilas, kemudian kembali menunduk memperhatikan lantai yang mungkin ada koin jatuh di sana.

Sebenarnya Gia sudah lelah malam itu. Dia dan beberapa kawan kampusnya merayakan pesta ulang tahun seorang kawannya yang lain di sebuah club di pusat kota. Pesta berakhir pukul dua belas, tapi Bram mengajaknya untuk mengikuti party lanjutan yang diadakan secara privat di rumah kawannya itu.

Acara berlangsung meriah hingga Bram tak ingat waktu. Dia menghabiskan beberapa botol wine, lupa bahwa ada mobil Raja yang harus ia bawa pulang.

"Tadinya kami udah mau pulang sorean, tapi Bram maksa pindah lokasi," tutur Gia merasa bersalah dan demi dirinya tidak dicap nakal.

"Hmm, iyaa gak papa. Bram selalu gitu. Dia suka party, jadi gak bakal berhenti kalo gak sampe drop."

"Uum.. umm.. iya."

Menurut Gia, Teya anak yang ramah dan sudah terbiasa dengan perilaku Bram. Mimiknya nampak santai dan tak terlalu memusingkan penjelasan Gia. Sayangnya Gia tak tahu hendak mengobrol apalagi, dia tak menemukan topik lain untuk dibicarakan dengan orang yang baru dikenalnya.

"Mau istirahat, ayo ku antar ke kamar atas." Teya berdiri dan segera membalikkan badannya. Gia pun mengikuti dari belakang.

"Umm.. maaf. Aku boleh tanya?" suara Gia sedikit gemetar antara ragu dan takut.

"Yaa, tanya saja."

Apartemen mewah milik Raja dilengkapi lift untuk naik ke lantai dua, dan mereka sedang berada di dalam lift menuju kamar tamu.

"Apakah Raja yang aku lihat tadi ... Raja ... Raja ...?"

"Haha, iya, Raja Pamungkas. Kamu gak salah lihat kok. Dan ini apartemen dia."

"Kalo begitu kamu, uum.. Teya ... Ajeng Setya ... model senior Leopard Agency?" tanya Gia membelalak lalu menutup mulutnya yang terbuka lebar -tak dapat dipercaya.

Teya tersenyum mengangguk dengan cepat. Sedari tadi Gia memang tak berani menatap Teya langsung, setelah Raja berlalu membopong tubuh Bram ke dalam kamar. Dia menunduk karena tak enak hati dengan suasana yang baru baginya.

"Kalian ... beneran pacaran? Oh, maaf maksud aku, aku gak tahu kak Raja beneran pacaran dengan Kak Teya. Oh maaf maksud aku, kan aku juga follower kak Raja sejak lama. Mulai jaman kak Raja masih SMA, aku sudah follow dia. Ya Tuhaaann! Aku berada di apartemennya, aku tadi ketemu diaaa.. mimpi apaaa aku semalaammm. Kak Raja jarang posting foto kak Teya, dan lambekutah bilang kalian hanya sahabat dekat. Wiihii.. Aku berdiri di samping kak Teyaaa... yang super cantik, ramah, dan baik..."

Teya menatap heran pada Gia yang kegirangan. Dalam pikirannya, Gia tak lebih dari anak polos, rumahan, dan tentunya sikap Gia itu dinilainya lucu.

***