webnovel

10. Kehadiran Celine

Semuanya sudah selesai, meski ada batu besar yang mengganjal di hati dan pikiranku. Bagaimana tidak? hal yang selama ini aku takutkan terjadi juga, bahkan kedua kakiku masih bergetar saat ikut Nyonya Jean mengantar detektif ke pintu depan. Rose dan Ariana langsung menuju kamarnya masing-masing setelah fase interogasi selesai. Tinggal Jess dan aku saja yang mendampingi nyonya pemilik rumah dan para polisi.

"Kuucapkan terimakasih atas kerja sama kalian semua, semoga pelaku teror ini bisa segera terungkap," ucap Iqbal formal ala nada kepolisiannya. Tak tertinggal lirikkan matanya yang tajam kembali dihujamkan ke arahku.

Jessica melipat tangan di depan dada, wajah lelahnya memang kentara sekali. Sedangkan Nyonya Jean maju satu langkah untuk mengucapkan salam perpisahan pada si pria terhormat,

"Kami juga berterimakasih tuan detektif, semoga Tuhan mempermudah segalanya,"

"Aamiin,"

Lelaki itu hendak berbalik badan bersama dua rekannya, namun aku berusaha menghentikan.

"Tunggu! Apa kita bisa bicara sebentar?"

Iqbal mengangguk, lalu memberikan tanda agar dua rekan polisinya keluar terlebih dahulu. Tanpa diduga Nyonya Jean dan Jessica ikut meninggalkan kami berdua.

"Tuan detektif, aku mohon kepadamu untuk mempertimbangkan kembali keputusanmu, sampai sekarang tidak ada bukti jika aku yang membunuh Giny, kalian tidak menemukan apapun di manor ataupun hutan itu, lagipun soal teror tadi malam, semudah itukah Anda untuk membuatku seolah tersangka?"

"Aster, mungkin ada sedikit kesalahpahaman di antara kami berdua, kami hanya menaikkan statusmu menjadi tersangka, bukan berarti pengadilan akan langsung menghukum, setakut itukah kamu? ya, aku sama sekali tidak menemukan bukti apapun disana, tapi bagaimana denganmu? apa kau memiliki bukti yang menguatkan soal sosok fiktifmu itu? setidaknya teror ini menguntungkan satu poin untukku, kau tidak bisa membujukku bagaimana pun caranya,"

Sungguh, kepalan tanganku ingin sekali meluncur tepat ke wajahnya. Susah sekali berhadapan dengan detektif yang satu ini, ia akan menjadi penghalang besar bagiku untuk mendapatkan kehidupan tenang dan damai.

Mata elang Iqbal masih mengincar nyawaku seusai pernyataan tak mengenakan dari mulutnya. Ia selalu bersikeras menjadikanku sebagai tersangka, dan aku takut tekadnya akan secepatnya terwujud. Oh sialan dengan yang mengadakan teror menyebalkan semalam, ini benar-benar membuatku frustasi.

"Kau seperti ingin sekali membunuhku detektif, apa dasarmu menuduhku sebagai pelaku tanpa bukti? apa hanya karena aku satu-satunya yang terlibat? Oh bahkan kau tidak menemukan ponselku yang menghubungi Giny, bagaimana bisa kau bersikeras menjadikanku tersangka?" tanyaku meragukan keputusannya.

Namun, Iqbal tak langsung menjawabnya, tampaknya ia masih nyaman dengan tatapan itu padaku.

"Karena intuisiku mengatakan bahwa Aster Widoyo adalah pelaku pembunuhan Giny Kumalasari," tegas Iqbal yang sungguh melukai hatiku. Ada apa dengan polisi yang satu ini?

"Persetan dengan intuisimu!" umpatku di depan wajahnya tak ragu-ragu.

Mata kami saling beradu untuk mempertahankan tekad masing-masing saat kenop pintu berputar dan seseorang masuk. Kupikir itu opsir Bale atau rekan lain yang segera menjemput Iqbal pergi dari pandanganku. Namun, ternyata itu Celine - tetangga kamarku yang sejak semalam sepertinya tidak pulang, bisa dipastikan dia tidak tahu menahu soal teror.

"Hai! Aster, siapa dia? saudaramu?"

Aku menggeleng.

"Bukan siapa-siapa,"

Celine mendekat ke arahku,

"Benarkah?"

Aku hampir saja menggandeng tangan perempuan berambut panjang bergelombang itu dan kembali ke kamar bersama. Tiba-tiba, detektif muda di belakang menghentikan kami berdua. Ada apa lagi ini?

"Siapa gadis yang baru datang ini Nona Aster?" tanyanya dengan nada seolah tertarik dengan gadis di sampingku.

"Oh, perkenalkan aku Celine Wongso," terang Celine memperkenalkan dirinya sendiri sembari menjabat tangan tuan detektif.

Iqbal mengangguk dan menyalami tangan Celine, lalu menyuruhku untuk keluar agar memberitahukan kepada opsir Bale jika dirinya akan selesai sebentar lagi. Tak disangka Iqbal memutuskan untuk berbicara dengan gadis itu atau lebih tepatnya menginterogasi penghuni rumah Nyonya Jean yang terakhir.

***

Aku kembali ke kamar Ariana, perempuan itu sedang terlelap di kasur sementara Jessica juga ada disana. Jess sedang berkutik dengan laptopnya di meja belajar, namun Rose tidak ada. Ya, mungkin dia sedang berada di kamarnya sendiri. Aku mendekat ke arah meja belajar,

"Hai Jess! Kau disini?"

"Hm," gumam Jessica tak mengalihkan pandangannya dari monitor.

Bisa kutebak perempuan itu sibuk mengejar tugasnya yang selalu menggunung. Mungkin di dalam pikirannya penuh dengan tugas dan deadline. Kurasa kamar dialah yang paling terlambat mematikan lampu di malam hari.

Melihat Jessica disana aku jadi teringat tentang kuliahku, buru-buru aku membuka ponsel dan mengirim pesan pada Flo.

'Bagaimana kelas hari ini?'

Lalu menutup ponsel kembali. Aku yakin Flo tak langsung membalasnya sebab ia masih di perpustakaan atau kencan dengan Andreas. Mungkin balasannya akan masuk saat malam tiba. Langkahku mengarah ke Ari, padahal ia bangun lebih terlambat daripada aku. Akan tetapi, bagaimana bisa dia tertidur kembali?

"Ayolah Ari, ini bukan musim dingin untuk hibernasi, bagaimana kuliahmu hari ini?"

Perempuan itu tak bersuara sama sekali, namun terdengar balasan dari arah meja belajar.

"Biarkan saja dia, itu bukan urusanmu," tukas Jess kasar.

Aku hanya mengabaikan, ucapan si rambut jagung itu memang seperti pisau jika merasa terganggu. Seolah ia bisa membunuh siapapun dengan nada bicaranya.

"Ari, ayo cepat bangun! Kau harus lulus semester tahun ini, kalau tidak kita akan wisuda bersama,"

Kedua tanganku sudah berusaha menggoyangkan tubuh Ari, namun ia belum juga membuka mata. Itulah Ari, butuh kemampuan level dewa untuk membangunkan dia dari tidurnya. Bahkan pertama kali aku melakukannya, kukira dia sudah tewas dalam tidurnya, namun beberapa saat kemudian dirinya bangkit dan berjalan sendiri. Oh tidak.

"Kubilang biarkan saja, dia akan jadi parasit jika membuka mata," kesal Jess padaku.

Baiklah, aku menyerah. Sudah tidak sanggup membangunkan Ari ditambah omelan Jessica, hari itu sungguh buruk.

Aku memilih keluar dari kamar, mungkin akan lebih baik berdiam diri di kamar sendiri. Ya, meskipun kaca jendelanya berlubang. Benar juga, aku harus berkonsultasi pada Nyonya Jean untuk membetulkan jendela. Setelah menutup pintu, kudengar suara langkah buru-buru dari arah tangga. Siapa itu? - batinku dalam hati.

Aku terus memandangi koridor, menunggu siapa gerangan pemilik langkah tersebut menghampiriku.

"Celine!" panggilku pada perempuan jakung pemilik tubuh model papan atas itu.

Ia terus berjalan menatap lantai tanpa menghiraukan kehadiranku di depannya. Heels dari sepatu merahnya berbunyi nyaring tanpa henti, ia benar-benar mengabaikan panggilanku.

"Bagaimana dengan-" terpotong.

"Jangan tanyakan apapun!" cetusnya sembari mendorong tubuhku yang menghalangi jalan.

Aku penasaran, tak biasanya dia bersikap begitu denganku. Celine buru-buru menuju pintu kamarnya dan mencari kunci di dalam tas coklat. Aku hanya mengamati dari jauh. Tangannya yang gemetar kesulitan memasukkan kunci ke dalam lubang.

Setelah sosok Celine hilang ditelan pintu kamarnya, aku berbalik badan. Tujuanku adalah Nyonya Jean di lantai bawah. Namun, aku masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Celine barusan. Jika dipikir-pikir sehabis diinterogasi oleh detektif itu Celine jadi bersikap aneh. Tapi apa boleh buat? Si model itu tak bisa diajak bicara jika sudah begitu keadaannya. Aku melanjutkan langkahku menuruni tangga dan Nyonya Jean sudah terlihat dari sana. Ia duduk di sofa kesukaannya sambil meminum teh hangat dengan cangkir biru tua.

"Nyonya Jean!" panggilku masih melangkah ke arahnya.

Wanita tua disana cepat-cepat menaruh cangkirnya dan berpaling.

"Oh kau Aster,"

"Ya, aku ingin membicarakan soal jendela kamar, kurasa aku tidak bisa tidur dengan angin dan debu yang bebas keluar-masuk,"

"Aku minta maaf, baiklah, aku akan telepon tukang untuk membetulkannya besok,"

Sesuai harapan dan dugaanku, wanita tua itu sungguh sangat berhati malaikat. Ia mempermudah semua urusan orang yang tinggal di rumahnya.

Saat hendak mengucapkan terimakasih, ia menghalangiku. Suara lirihnya menyuruhku menuruti keinginannya,

"Duduklah Aster! Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu,"

Aku tak langsung mengiyakan.

"Hal tentang apa nyonya?" tanyaku penasaran.

"Duduklah dulu, aku ingin membicarakannya dengan tenang,"

"Baiklah,"

Aku menurut dan duduk di kursi bermotif bunga. Sorot mata wanita di depanku berbeda dari biasanya jika kuperhatikan. Ya, mungkin sedikit was-was sejak teror kemarin terjadi. Sama sepertiku, namun aku sudah sedikit baik-baik saja, terlepas masalah dengan Iqbal. Aku bersumpah akan membuatnya ada dibawah kakiku, dasar detektif sialan!