webnovel

Perbandingan

Siang ini terasa sangat terik dan hadiah terbaik yang diberikan oleh guru olahraga siang ini adalah berjemur. Sejujurnya aku ingin mengeluh karena aku memiliki kulit yang sedikit sensitive dan mudah sekali untukku sunburn.

"Baik, sekarang kalian harus berjemur dan pastikan seluruh badan kalian terkena matahari karena cuaca hari ini sangat bagus."

Sangat bagus gundulmu pak.

"Ayo El kita berjemur." Chloe datang dan menarik tanganku dan kami sama-sama berdiri di bawah matahari.

Kan benar saja, tidak butuh waktu lama kulitku sudah mulai memerah, aku yakin pipiku sekarang juga akan memerah.

"Kau memerah." Chloe melihatku dan terkekeh, aku sontak menutupi pipiku dengan tangan agar yang lain tidak menyadari kalau pipiku sudah merah tomat sekarang dan tidak perlu waktu lama, mereka semua melihat ke arahku karna Chloe berkata kalau aku memerah.

"Tidak apa, aku sudah biasa seperti ini." Jawabku menyengir.

Selang beberapa menit, Malvin datang membawa jaket besarnya dan memakaikanya padaku. Perilaku Malvin yang seperti itu membuat beberapa mata yang tadinya masih belum mengalihkan pandangannya padaku, sekarang membuat mata itu semakin banyak.

"Jika tidak kuat panas, harusnya bisa bicara dengan pak guru." Omelnya sembari mengiringku untuk berteduh di pinggir lapangan, sebenarnya aku ingin memberontak tapi aku juga harus menjaga harga dirinya sebagai pria.

.

.

Kejadian tadi siang sudah cukup membuatku menjadi pusat perhatian, padahal sebenarnya aku sendiri sedikit risih jika diperlakukan seperti itu dan juga aku juga tidak terlalu suka menjadi topik utama pergosipan mereka.

Aku juga beberapa kali mendengar Chloe membelaku dengan mengomeli anak-anak yang bergosip tentangku di belakang dan aku hanya bersikap pura-pura tidak tahu hingga jam sekolah berakhir.

"Baik, untuk tugas kalian kerjakan halaman 90-95 point A hingga E. Tugas dikerjakan dengan teman sebangku dan dikumpulkan satu saja sebagai perwakilan." Itu adalah ucapan terakhir Bu Sisil, guru Matematika yang sudah dua hari ini mengajar kelasku.

Meskipun hanya diam saja, tapi yakinlah aku sama dengan anak lain yang memberontak dalam hati karena mendapatkan tugas yang luar biasa sedikit.

"Mau mengerjakan hari ini?" Tawarku pada Chloe. Ia menoleh dan mengiyakan ajakanku.

Well, lebih baik cepat selesai daripada harus mengerjakan dengan dikejar waktu.

"Ayo kerjakan di rumahku. Nanti pulangnya aku akan mengantarmu." Aku mengangguk, Chloe memeluk lenganku dan kami sama-sama berjalan keluar dari gedung sekolah ini menuju tempat parker sepeda motor.

"Ohya, aku tidak membawa helm lebih. Kau tidak apa-apa kan kalau tidak pakai helm?" Tanya Chloe, aku hanya mengangguk singkat. Setelah melihat Chloe menaiki motornya, aku mengikutinya dan duduk di belakang.

Jujur ini pengalaman pertamaku menaiki motor, agak memalukan memang tapi ya sudahlah.

Hanya butuh 10 menit, kami sudah sampai di rumah Chloe. Rumah ini sederhana namun memberikan kesan hangat dari luar. Kami berdua sama-sama memasuki perkarangan rumah Chloe yang tidak terlalu besar, mungkin hanya memiliki luas lima belas meter saja dan sangat jauh jika harus di bandingkan dengan rumahku.

"Papa, aku pulang!" Pekik Chloe, aku agak kaget namun hanya bisa memberikan senyumanku pada sepasang suami istri paruh baya yang menyambut Chloe pulang dari sekolah.

"Pa, ma, ini Elainne temanku."

"Halo om, tante." Sapaku sembari sedikit menundukkan badan sekilas, mereka memandangku terheran-heran.

"Dia dari Singapura ma pa, jadi seperti ini." Sela Chloe.

"Oh gitu. Ayo masuk, tante sudah buatkan makan siang. Makan dulu ya." Chloe menarikku untuk masuk ke dalam rumahnya, aku hanya bisa menurutinya kali ini. Ketika kami semua berada di meja makan yang sama, hatiku sedikit tergores dan aku mati-matian mengontrol emosiku.

Aku iri dengan Chloe bisa merasakan hangatnya keluarga hingga detik ini, tidak perduli dengan ukuran rumah ini, tapi mereka masih bisa bercanda akrab di atas meja makan membuatku segera membandingkan bagaimana keluargaku sekarang.

Tidak ada sarapan bersama keluarga, tidak ada jam makan malam yang di idamkan semua anak-anak, tidak ada orang tua untuk di peluk. Sekarang aku dan kak Hansel benar-benar mengurus diri kami sendiri.

Setelah selesai dengan makan siang kami, aku membantu Chloe membereskan alat makan dan piring kotor dan Chloe selesai dengan mencuci piringnya. Chloe mengiringku untuk masuk ke kamarnya.

Kami berdua duduk di lantai dengan beralaskan karpet warna biru tosca, kamarnya terlihat rapi meskipun sedikit penuh dengan buku-buku.

"Apa kau bisa mengerjakan ini?" Chloe menyodorkan buku cetak matematika yang aku tahu adalah tugas yang kami harus kerjakan. Aku sekilas melihat materinya dan aku menghela nafas. Aku mengambil kertas dari dalam tasku dan menjelaskan sedikit tentang tugas kami.

"Jadi ini tentang turunan fungsi aljabar." Sesekali aku melihat ke arah Chloe yang masih fokus dengan coretan angka di kertasku. Sebenarnya aku tidak suka dengan matematika tapi aku juga tidak begitu buruk dengan matematika.

Kami mengerjakan tugas kami yang telah kami bagi dua agar lebih efisien dan cepat selesai, Chloe juga terlihat lumayan pintar dalam matematika, sampai sekarang ia sedang menulis jawabannya tanpa ragu dan tidak berhenti.

Ketua osis idaman.

****

Hansel baru saja tiba di kediamannya, hari ini ia harus mengurus banyak file yang tertunda karena ia harus mengurus banyak berkas tentang kepindahannya. Pria muda itu menghela nafas sembari menutup matanya yang lelah dengan lengannya, ia punya sedikit waktu istirahat sembari menunggu kabar dari Elainne untuk minta di jemput.

Ia tidak memperdulikan ada pria paruh baya datang dan duduk di hadapannya sedang menatapnya dengan diam.

"Ada yang papa ingin bicarakan."

Hansel sontak menyingkirkan tangannya dan melirik kearah Oliver sekilas dan kembali menutup matanya.

"Katakan." Jawab Hansel singkat.

"Abigail akan kemari besok." Hansel melotot dan segera bangkit dari tidurnya.

"APA?!"

Oliver terdiam, ia menyenderkan punggungnya sembari memijat keningnya. Oliver juga tidak menyangka kalau Abigail akan datang kesini padahal sebelumnya ia sudah melarang hal itu mengingat hubungannya dengan Hansel dan Elainne sedang tidak baik.

"Papa tidak memikirkan bagaimana perasaan Elainne?" Hansel kesal, bagaimana bisa pria tua ini bertindak ceroboh, bukannya berusaha membetulkan kaca yang pecah, pria itu malah semakin menghancurkan kaca yang sudah pecah.

Selang beberapa waktu, ponsel Hansel berbunyi, Elainne mengirimkan pesan singkat dan minta di jemput di rumah temannya, seolah waktu yang tepat untuk meninggalkan Oliver yang masih terdiam.

Semuanya semakin kacau, padahal niat Hansel membawa Elainne untuk pindah ke Indonesia supaya adik kecilnya tidak terlalu stress dan bisa memulihkan mentalnya secara perlahan tapi dengan mudahnya Oliver mengatakan kalau wanita itu akan datang ke tempat ini.

Elainne pasti akan semakin kacau.