"Setiap manusia mengalami perubahan. Tentunya perubahan itu mengarah ke lebih baik. Jika mengarah yang lebih buruk, maka kamu bukan manusia."
- Laura Chintya Bella
***
"Riri, rapikan rambutnya supaya terlihat seperti pria normal." Laura membawa Angkasa ke salah satu salon yang sering dia kunjungi.
Ri Salon.
Salon milik orang yang dipanggil Riri oleh Laura. Sebenarnya namanya Richard, pria cantik yang ingin dipanggil Riri supaya kesannya lebih imut. Saat pertama kali mendengarnya Laura sangat jijik, tapi ketika melihat wajah dan nama panggilannya memang cocok sekali dengannya. Laura juga berinvestasi di Ri Salon karena walaupun tingkah Richard menggelikan, tetapi style rambutnya benar-benar memuaskan.
"Ya ampun, siapa ini yang datang. Lo kok datang enggak ngabarin gue dulu sih." Richard meraih tangan Laura lalu menggoyang-goyangkannya. Wajahnya dibuat memelas membuat Laura mendengus.
"Ri, urus milik gue baik-baik. Gue enggak mau ada cacat satupun." Laura memelototi Richard dengan penuh peringatan. Richard memang pria cantik dengan sifat menggelikan. Tetapi, di balik semua itu Richard juga seorang informan yang menjual informasi gelap dan bersifat rahasia dengan bayaran tinggi.
Wajah Richard berubah menjadi terkejut. Ketika Laura melabeli sesuatu sebagai miliknya, maka itu peringatan untuk Richard supaya tidak mencari informasi tentang miliknya itu tanpa diminta oleh Laura. Richard menghela napas pasrah, sayang sekali jika tidak mencari informasi mengenai pria yang menjadi milik Laura. Richard tak berdaya karena di antara semua pelanggannya, Laura salah satu pelanggannya yang selalu membayar mahal melebihi tarif yang ditetapkan oleh Richard.
Richard mendekatkan mulutnya ke telinga Laura dengan jarak yang cukup dekat. "Sayang sekali sih karena baru kali ini seorang Laura mengklaim sesuatu sebagai miliknya."
Brak!
"Ugh!" Richard meringis kesakitan ketika dirinya tiba-tiba dibanting dengan kuat. Matanya menatap kesal pria yang saat ini memeluk Laura dengan erat.
Angkasa menggeram marah, matanya menatap menusuk Richard seolah ingin mencabik-cabiknya menjadi butiran debu. Berani sekali pria cantik itu menyentuh dan mendekati Laura, miliknya seorang. Ya, Angkasa milik Laura, dan Laura milik Angkasa, tak ada salahnya, 'kan Angkasa menganggapnya seperti itu?
Laura menoleh ke samping untuk mengamati Angkasa yang masih menatap Richard dengan niat membunuh. "Lo enggak suka sama pria itu?"
Suara Laura mengalihkan perhatian Angkasa, dia menatap sendu Laura lalu menganggukkan kepalanya tanpa berusaha untuk menutupi ketidaksukaannya pada Richard. "Bagus! Selera kita sama. Dia suka bikin gue geli. Makanya gue enggak pernah suka!"
Angkasa kembali mengangguk dengan antusias, matanya bahkan berbinar-binar hanya karena dirinya memiliki selera yang sama dengan Laura yaitu tidak menyukai Richard pada pertemuan pertama. Mereka membicarakan ketidaksukaannya seolah orang yang dibicarakan tidak ada di situ. Richard yang mendengar bagaimana mereka begitu asyik membicarakannya membuat Richard cemberut.
"Laura, jahat ih." Richard berdiri dengan susah payah karena punggungnya yang terasa nyeri.
"Karena gue bukan orang baik." Laura menjawab dengan tenang. "Jadi, cepat lakukan tugas lo karena gue bukan orang yang sabar!"
Dengan langkah gontai Richard mulai mengambil peralatannya dan mendekati Angkasa. Angkasa memegang tangan Laura dengan erat karena tak ingin Laura meninggalkannya bersama Richard. Laura duduk di kursi samping Angkasa dengan berat hati, tangannya bahkan tidak bisa terlepas dari genggaman Angkasa. Laura yang bosanpun mulai memainkan ponselnya dengan tangan yang satunya. Sedangkan Angkasa sibuk memainkan tangan Laura yang lembut walaupun terdapat banyak bekas luka.
Setelah menunggu selama satu jam karena bukan hanya memotong rambut Angkasa tetapi juga memberikan tato di lehernya yang terdapat beberapa bekas suntikan yang membuat keindahan Angkasa berkurang. Laura tahu bahwa pria yang dibawanya memiliki paras yang luar biasa tampan walaupun tertutupi oleh debu. Angkasa memiliki wajah tampan yang alami meskipun dia tumbuh dikelilingi oleh kotoran dan itulah nilai plus yang membuat Angkasa menarik perhatian Laura. Yah, dasarnya orang tampan walaupun sekotor apapun penampilannya akan tampak memesona jika diperhatikan dengan seksama.
"Wah! Di mana lo mungut ini cowok! Curang banget! Masa ketampanannya mengalahkan keimutan gue!" Richard memekik dengan penuh keterkejutan karena tak menyangka pria yang dibawa oleh Laura akan sangat memesona melebihi keimutan yang dia banggakan. Cih, memang keindahan alami dan keindahan yang dibuat-buat akan jelas berbeda jika disandingkan bersama.
Angkasa melirik Laura untuk melihat bagaimana reaksi Laura terhadap perubahannya. Tubuhnya tersentak saat matanya bertubrukan dengan Laura yang menatapnya dengan intens. "Dari awal lo udah tampan, sekarang ketampanan lo udah memenuhi standar untuk menjadi pacar gue. Itupun kalau lo mau hubungan kita lebih dari majikan dan peliharaan."
Laura mengangkat bahunya acuh tanpa memedulikan respon Angkasa. Wajah Angkasa seketika memerah. Matanya terbelalak seolah mengatakan, 'Benarkah?' dengan tangannya yang gemetar karena gugup.
Laura memiringkan kepalanya setelah mengartikan tatapan Angkasa. "Yah, walaupun tidak memenuhi standar sepenuhnya, tetapi masih ada peluang untuk jadi pacar gue."
Angkasa menganggukkan kepalanya tak keberatan. Melihat keantusiasan Angkasa untuk menjadi pacarnya, membuat tatapan Laura menjadi kosong untuk sejenak. Angkasa melihat perubahan tatapan Laura, keningnya mengerut penuh tanda tanya.
"Ya sudahlah. Sekarang, kita ke rumah sakit. Btw, Ri, gue mungut ini cowok di RSJ."
***
Semilir angin yang berembus menghangatkan tubuh dua orang yang berada di rooftop rumah sakit. Mereka dalam keadaan berpelukan karena salah satunya ketakutan, terbukti dengan tubuhnya yang tremor parah. "Sampai kapan lo mau meluk gue, hm?"
Laura hendak melepaskan pelukan Angkasa, tapi bukannya terlepas pelukan itu justru bertambah erat. Tubuh Angkasa gemetaran, pria itu sangat ketakutan karena mereka berada di rumah sakit dan banyak orang-orang berseragam putih yang membuatnya takut. Ingatan saat dia disiksa selama bertahun-tahun masih membekas dalam ingatannya. Bahkan rasa sakitnya dan tidak berdaya yang selalu dia rasakan masih terasa hingga sekarang. Semua itu tak mudah dilupakan apalagi dia merasakannya dalam jangka waktu yang sangat lama.
Laura menepuk-nepuk punggung Angkasa. Bukannya dia tidak tahu ketakutan Angkasa disebabkan oleh apa. Tetapi, jika dia terus tenggelam dalam ketakutannya tanpa mau berusaha untuk melawannya maka terpaksa Laura harus meninggalkannya. Dia... tak menginginkan pria yang pengecut dan tidak berguna. Jika ingin berada di sisinya maka pria itu harus melawan rasa takutnya, karena dunianya sangat gelap untuk pria lugu seperti Angkasa.
Umur Angkasa 17 tahun, sama sepertinya. Tapi pikirannya masih seperti 10 tahun sebelum dia berada di Rumah Sakit Jiwa. Pikiran anak berumur 7 tahun masih menguasai otaknya, dia menginginkan perlindungan Laura tanpa tahu bahwa perisai Laura dipenuhi duri. Bahkan jika Laura melindungi dirinya sendiri, dia harus terluka terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan keamanan dalam hidupnya.
"Hey, coba lihat gue." Angkasa mengangkat kepalanya dari ceruk leher Laura. Matanya yang dipenuhi rasa takut dan kesedihan terlihat menyedihkan.
Tangan Laura menangkup wajah Angkasa, ibu jarinya mengelus pipi Angkasa yang lembut dan mulus. "Lo tahu kegagalan apa yang membuat orang terlihat menyedihkan di dunia ini?" Laura bersuara dengan nada rendah.
Angkasa menggelengkan kepalanya karena dia tak tahu maksud ucapan Laura. Pikirannya masih sederhana seperti anak berumur 7 tahun yang tak pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya. "Bukan gagal dalam berkompetisi apalagi gagal dalam mencapai sesuatu yang kita inginkan. Tetapi, karena kita gagal melawan rasa takut kita yang membuat kita terlihat menyedihkan. Seumur hidup kita tak akan pernah mencapai sesuatu yang kita inginkan tanpa melawan rasa takut. Itu jauh terlihat menyedihkan karena kita tak bisa mencapai apapun."
Angkasa merenung dengan pikiran yang berkecamuk. Ucapan Laura memang benar, dia memang tak mau melawan rasa takutnya. Tapi, jika tak melakukan itu, maka ...
"Kalau lo minta perlindungan gue, terus yang melindungi gue siapa? Gue,..." Laura mengalihkan pandangannya dari Angkasa. "juga butuh perlindungan."
Suara Laura dipenuhi rasa kesepian yang mendalam sampai membuat dada Angkasa sesak walaupun bukan dia yang merasakannya. "Umur lo 17 tahun sama seperti gue. Di umur kita yang sekarang, jika lo ingin mempertahankan sesuatu, maka lo harus melindunginya dengan tangan lo sendiri. Karena di dunia yang indah ini, kita harus membayar harga untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Segala sesuatu pasti ada harganya, sekalipun itu hal yang remeh."
Angkasa terdiam dengan bibir bergetar, tangannya bahkan menjadi dingin ketika dia berhasil menarik kesimpulan. Dia tahu apa arti dari semua perkataan Laura. Perkataannya mengandung arti bahwa Laura akan meninggalkan Angkasa jika Angkasa tidak bisa melakukan apapun bahkan untuk melindungi dirinya sendiri.
Laura yang berhasil menangkap ekspresi gelisah Angkasa tersenyum tipis. Tangannya mengelus rambut Angkasa membuat Angkasa merasa tenang untuk sejenak. "Ternyata lo pintar juga. Tanpa perlu gue katakan, lo pasti tahu apa maksud dari perkataan gue."
"Mulai sekarang, lo harus memulainya dari awal untuk menjadi Angkasa Ardiansyah yang berumur 17 tahun, bukan 7 tahun."