"Jadi selama ini kau mendekatiku karena ini, Abby?"
serang Zachary bergetar. Tangannya memegang setumpuk kertas yang Abigail tahu
benar apa isi di dalam file itu. Tanpa perlu bertanya lagi, ia tahu dirinya
sedang dalam masalah.
Dari mana pria itu menemukan benda itu? Benda yang selama ini ia
sembunyikan dan simpan dengan aman. Seharusnya tak ada seorang pun yang bisa
menemukannya. Tapi mengapa ...?
"A-apa yang kau katakan, Zac?" Abigail berusaha
menyembunyikan ekspresinya. Ia kaget, jelas. Namun, jika Zachary membaca
pikirannya dan mengetahui yang pernah ia rencanakan, maka habislah ia.
Sekian lama ... Sekian lama Abigail menyembunyikan dan menyimpan
semua ini dengan sangat hati-hati. Ia bahkan ingin mengubur apa pun yang telah
ia lakukan sejak awal karena menyadari, Zachary atau siapa pun tidak punya
andil atas penderitaan yang ia alami selama ini.
Semua ini adalah tanggung jawab Garry Emerson. Pria tua serakah
itulah yang seharusnya menerima balasan.
Ia bahkan sudah terlanjur mencintai Zachary dan berniat membangun
keluarga yang bahagia, seperti yang diinginkan pamannya, bahkan mungkin
mendiang ayahnya.
"Kau tidak perlu lagi berpura-pura, Abigail. Aku sudah
membaca semuanya. J-jadi selama ini ... apa yang telah kita lalui selama ini
...." Kalimatnya terhenti. Abigail mendekat demi menenangkan suaminya yang
mulai kalut.
Ia yakin Zachary sedang mabuk sehingga meracau dan apa yang ia
bicarakan tak bisa dipertanggung-jawabkan.
Tidak, tidak! Abigail sangat tahu bahwa apa yang dikatakan
suaminya itu adalah sebuah kebenaran. Dulu, semuanya memang hanya kepalsuan. Ia
memang mempermainkan pria itu demi dendamnya. Namun, kini semua berbeda. Jauh
berbeda.
"Zac, Zac ... sayang! Hey, dengarkan aku. Apa pun yang kau
temukan, apa pun yang kau dengar dan kau lihat itu bukan hal yang sebenarnya.
M-mari kita bicara, sayang," ajak Abigail, masih dengan suara bergetar. Tangannya
berguncang, tetapi sekuat tenaga berusaha ia tenangkan sendiri.
Ia kini sedang menenangkan dua jiwa yang sakit. Jiwa
Zachary—suaminya, juga jiwanya sendiri. Ia sakit, sejak lama. Ia sadari itu.
Bahkan dulu ia tak mampu mengendalikan kemarahan dan dendam yang telah
disimpannya sejak dulu.
Namun, kini semuanya telah berubah. Ia bahkan tak menyadari kapan
perasaan itu hilang dan berganti perasaan baru yang telah ia janjikan untuk ia
pupuk agar tetap bersemi.
Perasaan yang mulai tumbuh, cinta untuk Zachary—yang sebelumnya
hanyalah kepalsuan demi tercapai tujuannya.
Zachary mengentakkan tubuh dan menepis tangan Abigail hingga
wanita itu tersungkur. Ia memekik dan memegangi perutnya yang sesaat terasa
nyeri.
"Zac ... kumohon ...." Ia masih meratap dan memohon.
Namun, pria itu bergeming, hanya mengusap wajahnya dengan kasar lalu
menghempaskan kertas yang sedari tadi berada dalam genggamannya hingga
berserakan di lantai.
"Apa yang ingin kau jelaskan tentang itu, Abby? Jawab
aku!!!"
Abigail berusaha bangkit meski perutnya masih terasa nyeri.
"Karena itu, ayo kita bicara, Zac. Aku mencintaimu, tak
mungkin menyakitimu."
"Oh, benarkah?!" tanya pria itu, mendekat pada istrinya,
menatap wajah cantik yang semakin memancarkan pesonanya. Ia selamanya yang
tercantik bagi Zachary.
Wanita teristimewa dalam hidupnya. Ia bahkan rela menukar apa pun
demi kebahagiaan wanita itu. Namun, apa yang ia ketahui beberapa jam lalu
membuatnya teramat sakit dan patah hati.
"BENARKAH?!" bentaknya. Abigail mulai tak sanggup
menahan gejolak hebat dalam dadanya. Ia ingin sekali memeluk tubuh pria itu dan
menenangkannya, tetapi menatap matanya saja Zachary sudah enggan.
Pria itu jelas sudah sangat membencinya.
"Benar, sayang. Aku tidak pernah mengkhianatimu. A-aku
mencintaimu. Aku mencintaimu." Tubuh Abigail bergetar hebat. Berusaha
memeluk Zachary yang pada mulanya meronta dan mencoba melepaskan dekapan wanita
yang sangat ia cintai itu.
Bahkan dengan kemarahan yang sebesar gunung, perasaan cinta itu
tetap ada. Ia marah, karena mengetahui cintanya yang itu hanyalah permainan
bagi Abigail.
"Aku mohon, Zac," pintanya, berbisik lirih di telinga
pria itu. Tubuh mereka sama-sama bergetar. Zachary dengan kemarahannya pada
Abigail, sementara Abigail dengan kemarahan pada dirinya sendiri.
Tangan Zachary merogoh meja dan laci kerjanya. Ia membiarkan
Abigail tetap membungkus tubuh pria itu dengan rengkuhan hangatnya.
Zachary menemukan apa yang ia cari. Benda yang selama ini ia simpan
dan ia bawa ke mana pun. Ia kini menggenggam benda itu erat-erat.
"Kau bilang ... kau mencintaiku?' tanya pria itu dingin.
Abigail mengangguk.
"Aku sangat mencintaimu, Zac. Tak pernahkah aku
mengatakannya?" tanya Abigail, perlahan tangannya mulai membelai punggung
suaminya. "Bahkan ... ada sesuatu yang ingin sekali kusampaikan
padamu."
Deru nafas Zachary masih tak beraturan, tetapi ia berusaha menahan
semua emosi dan melepaskannya di saat yang tepat. Ia ingin melakukan ini, ingin
mengakhiri segalanya. Jika perlu antara mereka berdua tak 'kan ada satu pun
yang merasa kehilangan.
"Jika kau mencintaiku mengapa kau lakukan semua ini Abby?
Mengapa kau melakukannya selama ini?" keluh Zachary tergugu. Abigail tak
mampu menahan lagi. Air matanya berderai. Setelah sekian lama, ia akhirnya
menangis.
Bukan karena tertangkap basah telah melakukan perbuatan yang kejam
pada Zachary, melainkan karena ia merasakan sakit yang dirasakan suaminya itu.
"Maafkan aku, Zac ... sungguh maafkan aku. Itu semua terjadi
jauh sebelum hari ini. Jauh sebelum pernikahan kita. Jauh sebelum ...."
Kalimatnya terhenti. Siapkah ia mengatakannya saat ini, saat situasi sedang
sepanas ini?
"Sebelum apa?" tanya Zachary.
Abigail hanya terdiam. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk
menenangkan singa yang tak henti mengamuk.
"Katakan, sebelum apa?" desaknya kemudian berbalik dan
menatap ke dalam mata wanita cantik itu.
Bulu mata lentiknya basah terkena air mata. Namun, Zachary kini
tak tahu apakah itu air mata yang sesungguhnya Ataukah lagi-lagi air mata palsu
demi menjeratnya.
"Katakan, Abby ...," ucapnya lagi lebih lembut, tetapi
wanita itu justru menunduk menyembunyikan wajahnya.
Raut wajah Zachary kini tampak tak sabar. Ia merasa Abigail sedang
mempermainkannya. Darahnya mendidih, ia sudah cukup menahan sejak tadi.
"Katakan, Abby!!!"
"Aku sudah mengatakannya, Zac! Aku sudah mengatakan aku
mencintaimu. Aku ingin kita seperti dulu. Aku ingin cintamu tetap sama seperti
dulu. Aku, kau, dan anak kita. Kau mau, kan?!" pinta wanita itu. Namun,
Zachary seolah tak mendengar apa yang diucapkan wanita itu.
"Jika kau mencintaiku, ikutlah denganku," ajak Zachary.
Matanya menatap ke arah wanita itu dengan tatapan kosong.
"Ke mana?" tanya Abigail.
Perlahan Zachary mengangkat tangan yang sejak tadi ia sembunyikan
di balik punggung. Menggenggam sebuah pistol yang siap untuk melesatkan timah
panas kapan pun pelatuknya ia tarik. Siap untuk mengambil nyawa wanita itu
kapan saja.
Abigail terbelalak, sorot matanya menyiratkan ketakutan. Ia tak
pernah takut akan kematian. Bahkan hingga hari ini. Ia hanya takut salah satu
dari mereka akan menyesali hari ini selamnya.
"Z-Zac ... a-apa yang kau lakukan? T-tolong turunkan senjata
itu."
Pria itu mendengkus. "Jadi kau takut mati? Kau bilang
mencintaiku tapi tak ingin ikut denganku ke neraka?" racaunya.
Abigail bergerak perlahan. Ia tak mungkin bisa menghindar andai
pria itu nekat menarik pelatuknya. Namun, ia mungkin bisa mencegah itu terjadi.
Hanya, ia tak tahu bagaimana caranya.
"S-sayang, kumohon ...." Tangis Abigail mulai pecah. Ada
hal yang harus ia katakan pada pria itu. Bahkan andai tak 'kan ada lagi waktu
untuknya setidaknya ia sudah menyampaikan apa yang seharusnya diketahui pria
itu.
"Zac ...."
Sebuah gedoran di pintu ruang kerja Zachary memecah ketegangan
antar mereka berdua. Seseorang sepertinya tak sabar telah diabaikan oleh
keduanya.
Dengan sekali tendang, pintu yang terbuat dari kayu pohon oak itu
terbuka. Menampakkan pemandangan yang tak ingin dilihat oleh siapa pun.
Gin berdiri terpaku menatap dua orang yang mematung di tempat. Abigail
dengan tangan kosong berdiri tak jauh dari hadapan Zachary yang memegang sebuah
pistol. Tangannya terlihat bersiap untuk menarik pelatuk.
Tanpa banyak bicara Gin menerjang kakak iparnya itu dan berusaha
merebut pistol dari tangannya.
Pergulatan sengit terjadi antara keduanya. Berbagai kemungkinan
bisa saja terjadi. Salah satu dari mereka bisa saja menjadi korban timah panas
itu. Gin masih berusaha merebut benda dalam genggaman Zachary.
"Kumohon hentikan, kalian berdua. HENTIKAN!" pekik
Abigail berusaha menghentikan pergumulan antara adik dan suaminya. Tak ada satu
pun di antara mereka yang berniat untuk berhenti.
DORR! DORR!
Entah apa yang menggerakkan jemari Zachary hingga pelatuk itu
benar-benar menembakkan timah panas secara tak beraturan. Di antara mereka tak
ada yang menyadari di mana benda itu bersarang. Hingga salah satu dari mereka
limbung dan terjatuh di lantai.
***