webnovel

Dandelion.

Menaruh harap kepada orang lain adalah suatu kesalahan besar. -Anna Mengisahkan tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Kerasnya hidup yang harus dijalani memaksanya menjadi pribadi yang kuat. Belum lagi, pada malam ulang tahun kekasihnya, Anna mendapati sang pujaan hati bermain bersama wanita lain. Hatinya hancur tak tersisa. Namun di malam yang sama, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata adalah pemimpin sebuah perusahaan besar. Melalui malam dengan pria yang tidak dikenalnya, terbangun dipagi hari dengan keadaan tubuh tanpa sehelai benang pun membuatnya kaget sekaligus takut. Sejak malam itu, Anna menghilang. Apa yang akan terjadi selanjutanya? Silahkan dibaca..

Gloryglory96 · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
311 Chs

Bab 25. Perasaan Bersalah

Lima Tahun Kemudian

D.A Corp

_____________

Dering Handphone mengalihkan perhatian Devan yang sedang memimpin rapat, melihat nama yang tertera di sana membuatnya segera mematikan benda berbentuk pipih itu tanpa berniat mengangkatnya.

Hanya melirik sekilas kemudian kembali melanjutkan rapat.

.

.

.

"Baiklah, jika tidak ada pertanyaan lagi. Rapatnya selesai," ujarnya mengakhiri rapat penting itu.

Devan meninggalkan ruangan rapat dengan sekretaris yang mengikutinya.

"Serahkan notulennya sebentar sore," ucap Devan pada wanita di belakangnya tanpa menoleh sedikitpun.

"Baik, Pak."

Pria itu tidak segera kembali ke ruangannya, langkahnya terhenti ketika handphone di saku bajunya kembali berdering.

"Bagaimana? Apakah sudah ada kabar?" ucap Devan mendahului.

"...."

"Ini sudah lima tahun. Kalian hanya mencari satu orang saja dan belum menemukannya?" Bentak Devan dengan nada suara agak tinggi.

"..."

Devan menghela napas kasar sembari memijit pelipisnya yang tidak sakit ketika mendengar respon dari seberang telepon.

"Jika tidak mampu menemukan gadis itu, berhenti saja. Aku bisa menyewa orang lain," balas pria itu kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

"Lagipula aku sudah memberi kalian kesempatan berkali-kali," tambahnya lagi.

"...."

"Oke. Ini kesempatan terakhir, temukan gadis itu atau berhenti saja," balas Devan kemudian mematikan sambungan telepon secara sepihak.

Pria itu kembali ke ruangannya dengan ekspresi yang benar-benar suram. Entah sudah ke berapa kalinya helaan napas kasar lolos dari sela bibirnya.

Memejamkan matanya sejenak pada sandaran kursi kebesarannya, ingatan tentang kejadian saat malam pada lima tahun silam masih tergambar jelas di benaknya.

'Kemana kamu pergi, Anna.'

'Mengapa tiba-tiba menghilang tanpa memberiku kabar?'

Sejak saat itu, Setiap kali Devan mencoba dekat dengan wanita, ingatan tentang malam itu selalu menghantuinya dan seringkali membuat seorang Devan berakhir dengan meninggalkan wanita yang sedang bersamanya tanpa menyentuhnya sama sekali.

Dan akhirnya, pria itu memutuskan untuk tidak pernah dekat lagi dengan wanita manapun. Yang ia lakukan hanya terus berkerja, bekerja, dan bekerja hanya untuk melupakan kejadian malam itu, walau hanya sejenak.

Ini benar-benar menyiksanya. Tak pernah ada wanita yang membuatnya merasa seperti ini, padahal ia dan gadis itu hanyalah orang asing yang dipertemukan secara tidak sengaja, dan berakhir di ranjang karena kebodohannya.

Rasa bersalahnya pada gadis itu tak bisa hilang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya gadis itu, hingga menghilang dari pandangannya tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.

Bangkit dari posisinya kemudian berjalan ke sisi ruangan, menatap hiruk pikuk Kota J yang penuh kesibukan di bawah sana.

Tok..tok..tok

Sebuah ketukan pintu terdengar, disusul suara derap langkah kaki memasuki ruangan.

"Seseorang ingin bertemu dengan Anda, Pak," suara yang berasal dari wanita yang ia kenal sebagai sekretarisnya menyapa indera pendengarannya.

"Katakan, aku tidak ingin diganggu," balas Devan dengan nada suara yang begitu dingin dan datar tanpa menoleh sedikitpun.

"Tapi, dia sudah membuat janji dengan Anda sebelumnya, Pak."

"Clarissa... Apa aku harus mengulangi ucapanku?" ucap Devan segera berbalik dan menatap tajam sang sekretaris, membuat wanita itu terkesiap.

"Ma-maafkan saya, Pak."

"Kalau begitu saya permisi," ucapnya lagi kemudian meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa-gesa.

Dan setelah itu, Devan kembali bergelut dengan file dan berkas-berkas yang ada di atas mejanya.

Hingga hari sudah gelap, pria itu belum juga beranjak dari ruangannya. Seluruh karyawan juga sudah pulang. Hanya menyisakan ia dan sang sekretaris.

Tok...tok...tok...

Calrissa kembali muncul di balik pintu, dan memasuki ruangan dengan raut wajah yang nampak ragu-ragu.

"Ada apa?" tanya Devan ketika merasakan kehadiran orang lain di ruangannya.

"Saya hanya ingin mengingatkan kalau ini sudah malam, Pak," jawab sekretaris itu pelan.

"Benarkah?" segera Devan berbalik dan ternyata benar, diluar sudah sangat gelap. Ia kemudian melirik arloji di tangannya lalu menghela napas lelah.

"Kamu boleh pulang," ucap pria itu menghentikan aktifitasnya sejenak dan bersandar pada kursi kebesarannya.

"Ta-tapi bagaimana dengan An..."

"Aku tidak suka mengulangi ucapanku," ucap Devan segera memotong ucapan sang sekretaris.

"Ba-baik Pak. Kalau begitu terima kasih, saya permisi," ujar wanita itu undur diri.

Devan hanya mengangguk kemudian meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sangat kaku, hingga tanpa sadar pria itu tertidur.

Dan hanya terbangun ketika dering handphone kembali terdengar.

Melirik pada layar, Devan hanya mengabaikannya. Seolah pria itu tidak memiliki niat sama sekali untuk menjawabnya.

Itu adalah Leo, sepupunya. Dan hari ini, pria itu terus saja mengganggunya membuat Devan merasa jengah.