webnovel

37. Kulihat Dirimu (2)

Setelah yakin bahwa tamu mereka merasa nyaman, barulah Haris menemui ibunya yang berada di dalam kamar. Wanita berumur itu tengah asik bercengkrama dengan cucunya.

"Buk, maaf aku jarang pulang," ujar Haris sambil mencium tangan yang kurus keriput.

"Nggak apa. Yang penting kamu sama Niar sehat." Wanita itu, Ngatini, mengusap pelan kepala anaknya.

"Buk, ketemu lagi. Saya Hasan, sekretarisnya Pak Haris." Hasan ikut mencium tangan Ngatini.

Wanita itu tertawa senang. "Haha, iya. Maaf, ya, rumahnya reyot."

"Nggak masalah, Buk," sahut Hasan sekedar basa basi.

"Makasih sudah bantuin Haris. Kalau Niar nggak bilang, Ibuk nggak tahu, kalau Haris tinggal dirumahmu," ujar Ngatini dengan suara yang tetap lembut.

Jleb! Haris bisa merasakan tatapan tajam ibunya.

"Kebetulan ada kamar kosong di rumah, Buk," sahut Hasan sopan.

Mata wanita itu kembali pada anak laki-lakinya.

"Kamu nunggu apa, Ris? Niar sudah tambah besar. Kalau ada wanita yang cocok, kamu cepet menikah saja," lanjut Ngatini.

Mendengar hal yang tiba-tiba itu, Hasan terkejut.

"Nak Hasan, kalau ada wanita yang cocok sama Haris, tolong bantu Haris. Bosmu ini nggak pinter sama urusan wanita."

Haris melirik ke arah Hasan dan khawatir dengan raut pucat pemuda itu. Dia pun mendekati ibunya dengan kalem.

"Ibuk nggak usah kuatir, kalau ada yang cocok nanti pasti aku kenalkan," bujuk Haris.

"Tapi kalau kamu nggak dipaksa, mau sampai kapan akan menduda? Mumpung kamu masih muda, Ris. Kalau bukan sama istri, kamu akan melampiaskan kemana? Jangan bilang kamu bayar wanita ga bener."

Haris makin panik karena perkataan ibunya makin ngawur. Mana mungkin dia akan membahas kehidupan malamnya dengan beliau, di depan Hasan dan Niar?!

"Bu, jangan gitu. Ada Niar," bujuk Haris dengan wajah memanas. "Biar Hasan istirahat dulu, ya..kasihan dia sudah capek seharian."

Tanpa mendengar balasan ibunya, Haris segera mendorong pundak Hasan agar keluar dari kamar ibunya.

"Maaf, kamu jadi dengar yang macam-macam." Haris kembali melihat ke arah Hasan yang wajahnya tertunduk. "Ayo ke kamarku. Aku sudah buka pintunya biar nggak pengap, tapi kasurnya keras."

Di dalam kamar, Haris berusaha mencairkan mood Hasan yang dingin. Dia tidak tahu kenapa pemuda itu jadi diam dan muram. Tidak, bahkan sejak perjalanan ke Malang, Hasan hanya bicara seperlunya saja.

"Kamu mau istirahat dulu?" tanya Haris, khawatir.

"Bapak mau kemana?" pertanyaan Hasan terdengar mirip Niar saat tidak mau ditinggal pergi.

Haris pun tersenyum pada sifat Hasan yang imut itu. "Aku hanya bicara dengan ayah. Ada pembicaraan yang tidak bisa dikatakan lewat telepon."

Pemuda itu mengangguk dan membiarkan Haris pergi. Tapi kegelisahan yang Hasan rasakan semakin besar.

Dia pun kembali mengirim pesan pada Dhika. "Gimana biar Ayah setuju sama pasangan pilihanku?"

Kali ini, Hasan menunggu cukup lama sebelum balasannya masuk.

"Coba bicara ke B.Aaliya dulu."

"Trims, Dhika," balas Hasan cepat. Tanpa menunda lagi, pemuda itu segera memencet ID kakak sulungnya. Sebelum ini pun, Aaliya sering memberi saran yang bisa diterima olehnya.

Hasan berharap dia akan dapat petunjuk positif.

"Hei! Dasar, Kamu Ya!! 😠😠 Berani-beraninya Ngilang pas lagi momen penting Gini?!?!" teriak suara dari sebrang sana. "Kamu Nggak Tahu Seisi Rumah Pontang Panting Cari Kamu?!?!" 😡😡

Hmm, mungkin Hasan akan mendapat masukan setelah menenangkan kemarahan kakaknya itu.

..

Haris duduk dengan mata mengarah ke jalanan gelap dari teras rumah. Di sebelahnya, ayahnya tengah menuang cairan kopi dari gelas ke lepek.

"Kerjaanmu gimana, Ris?"

"Seperti biasa, Yah," jawabnya jujur.

Ada keheningan sejenak sebelum pria itu melanjutkan, "Kalau kamu sudah ketemu yang cocok, jangan menunda nikah. Nggak usah terlalu mikirkan Ayah dan Ibukmu."

"Nggak mungkin, Yah. Pasti kepikiran sedikit banyak," bantahnya. "Malah aku minta maaf, nggak bisa terlalu perhatian."

"Kehehehe.. kalau dituruti, kemauan nggak akan ada habisnya. Kamu bisa nolak kalau ayah sama ibukmu ngerepoti. Manusia itu..."

Haris hanya mendengar dengan seksama, saat Pak Yono kembali mengajarkan padanya tentang nilai-nilai kehidupan. Bahwa tiap orang ada jalannya sendiri-sendiri, ada rejekinya sendiri. Asal tidak muluk-muluk, masih bisa hidup walau dalam keterbatasan.

"Tapi kamu laki-laki, anakmu perempuan. Ada hal-hal yang cuma bisa dijelaskan sesama perempuan. Kalau punya pasangan, ada yang bantu melihat dan bisa saling menjaga. Carilah pasangan yang bisa merawat kamu, merawat rumah tanggamu."

Duda itu ingin menepis kata-kata ayahnya. Namun dia tetap diam mendengarkan, hanya karena tidak ingin menyakiti perasaan lelaki renta itu.

"Kalau begitu ayah bantu doakan, biar aku cepat dapat jodoh," ujar Haris sebagai gantinya.

..

Hasan melempar telepon dan menjatuhkan dirinya di kasur dengan mata tertutup. Pembicaraan singkat antara dirinya dengan Aaliya, mengurus lebih banyak energi dibanding perjalanan yang dia lakukan seharian ini.

Meski pemuda itu belum bisa membuat keputusan, dia sudah ada gambaran langkah yang harus dilakukan. Dan saat ini Hasan merasa dia bisa melakukan apa saja untuk menuruti kegilaan ini.

Pintu kamar lalu terbuka dan muncul sosok yang membuat hati Hasan kembali tenang dan bergemuruh pada saat yang sama.

Wajah atasannya itu terlihat sayu. Hasan harap pembicaraan beliau dengan ayahnya tidak berakhir buruk. Tangan Hasan pun menepuk pelan, sisi ranjang yang kosong di sebelahnya.

"Baik? Tidak baik?" tanya Hasan.

Haris tersenyum kecil sebelum menghempaskan dirinya di samping Hasan. "Ya, kamu tahu. Biasa, orang tua."

Hasan memiringkan badannya ke arah Haris. Dia lalu mengangkat telapak tangan duda itu. "Tapi saya lihat Pak Haris anak yang berbakti."

Kalimatnya diakhiri kecupan pada tangan wakil direktur yang lebih kecil.

"Saya kadang iri melihat dedikasi Bapak," bisik Hasan.

Suara berat pemuda itu menggelitik telinga Haris. "Apa maksudmu?" dia balik bertanya, dan ikut memiringkan badan ke arah Hasan.

Mata pemuda itu terlihat hitam di bawah cahaya lampu kamar yang kekuningan. Dan ada kilatan dalam mata itu, yang Haris sulit maknai.

"Apakah Pak Haris memikirkan saya seharian ini?" Hasan mengalihkan pembicaraan. Telunjuknya mengelus pelan telapak Haris yang mendadak terasa sensitif. Aneh, saat bersama Hasan, seluruh tubuhnya jadi lebih peka.

"Tidak," jawab Haris berbohong. Dia menentang mata Hasan yang terarah lurus padanya. "Aku tidak memikirkanmu sedikitpun."

Wakil direktur itu bisa merasakan detak jantungnya yang makin kuat. Dia harap, Hasan tidak sampai mendengarnya. Juga, sejak kapan suasananya berubah begini...

Tangannya sudah terjulur ke leher Hasan tanpa dia sadari. Ke tempat dimana dia bisa melihat denyutan kuat, nadi pemuda itu.

"Kamu.. Apa kamu... memikirkan aku?" tanya Haris balik. Dia tahu kalau sekarang bukan waktunya untuk larut dalam nafsu. Tapi ada sesuatu dalam diri Hasan yang membuat Haris tidak ingin peduli tentang apapun saat itu.

"Iya, saya memikirkan Pak Haris."

Cara Hasan mengucapkan namanya, menjadi pemicu sebelum wakil direktur itu menyerang bibir Hasan. Ciuman yang dengan cepat mengobarkan api dalam dirinya.

Haris tidak peduli dengan jawaban pemuda itu. Dia lebih peduli ketika Hasan membalas ciumannya atau tidak.

.

.