webnovel

11. Hampir Ketahuan

Pikiran Haris jadi dipenuhi oleh pertanyaan sejak Niar mengatakan ingin bersekolah. Duda itu baru sadar kalau kendaraan yang mereka naiki bukan menuju arah kos Hasan, saat memasuki kompleks apartemen.

"Kenapa kemari?" tanya Haris.

"Saya tadi bilang mau ke suatu tempat," jawab Hasan tanpa menjelaskan maksudnya.

Haris memilih tidak banyak berkomentar. Dia kini lebih sibuk melihat pemandangan dari balik kaca jendela. Baru kali ini dirinya memasuki bangunan apartemen dan sangat penasaran dengan isinya.

Mobil berhenti di lantai 3 dan Haris kembali terkejut saat Hasan memintanya turun.

"Apa tidak mengganggu, kalau aku dan Niar ikut?"

Salah satu sudut bibir Hasan terangkat. "Tentu saja tidak."

"Kemana, Yah?" tanya Niar saat mereka berjalan beriringan.

"Ayah juga tidak tahu," jawab duda itu.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu otomatis dengan tombol password. Hasan memasukkan kode lalu kunci terbuka otomatis.

Pria yang lebih muda itu membuka pintu lebar-lebar. "Silahkan masuk, Pak."

Haris tidak paham dengan maksud pria itu, hanya berdiri dengan ragu. Dia bertanya, "Ini apartemen siapa, San?"

"Punya saya. Kebetulan uangnya sudah cukup, jadi sudah tidak perlu ngekos lagi."

Haris tetap menunggu sampai Hasan masuk terlebih dahulu. Apartemen milik Hasan tidak seperti bayangannya, ruang tamu dan ruang makan cukup luas. Mirip rumah biasa, hanya saja tersusun di dalam gedung dan tidak bisa memanggil penjual makanan keliling.

Mungkin jika dia belum punya anak dan tidak memberi nafkah orang tuanya, Haris berpikir, kalau dia juga akan bisa membeli sebuah rumah kecil di pinggiran kota.

"Bagaimana menurut Pak Haris?" tanya Hasan.

"Bagus, pasti harganya mahal," komentar Haris sambil memperhatikan sofa, meja, dan kelengkapan lainnya. Bahkan kompor dan lemari es sudah siap pakai.

Niar yang biasanya pemalu, berjalan mengelilingi tiap ruangan dengan mata berbinar.

"Kapan mau pindah?" tanya Hasan.

Haris langsung menoleh pada pemuda itu. "Pindah?"

Hasan lalu berjalan mendekat hingga tidak ada jarak di antara dirinya dan Haris. "Ada dua kamar tidur disini, semuanya ada kamar mandi dalam. Jadi Pak Haris tidak usah buru-buru mengganti seprei."

Wajah Haris memanas mendengar ledekan dan tawa kecil Hasan. Dia pun menyikut pelan pemuda usil itu.

"Jangan macam-macam. Ada Niar," bentak Haris setengah hati.

"Jadi kalau tidak ada Niar, boleh?" goda Hasan dengan seringai lebar yang memamerkan deretan gigi putih. Pesona ketampanannya begitu menyilaukan, Haris sampai minder sendiri dibuatnya.

Tidak juga mendapat jawaban dari Haris yang masih bersikap malu-malu, Hasan makin mendesak.

"Tidak perlu banyak berpikir, Pak Haris. Saya tidak minta dinikahi oleh Bapak," bisik Hasan diikuti sebuah kecupan di pipi Haris.

Untuk sesaat, Haris terdiam sebelum menoleh pada pemuda yang sudah banyak membantunya beberapa hari belakangan. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. Haris berusaha tulus dengan ucapan dan tingkah lakunya.

"Kamu benar, Hasan," ujar Haris sambil mengecup balik pipi pria itu. "Kita tidak perlu menikah untuk berbahagia."

Meski begitu, hati Haris tidak setuju. Karenanya, Haris melangkah menjauh, mengejar Niar, sebelum Hasan bisa melihat perubahan raut wajahnya.

...

"Pak, ini laporan penjualan bulan lalu," ujar Ika.

"Terimakasih," sahut Haris. Dia menumpuk laporan itu di atas tumpukan laporan lain. Ada begitu banyak hal yang harus dia kerjakan, dan hanya ada sedikit waktu.

Saat masih tinggal sendiri, Haris sudah terbiasa kerja lembur dan berangkat lebih awal. Dia bukannya ingin menjadikan anaknya sebagai beban, tapi Haris merasa dirinya seperti dikejar-kejar pekerjaan yang tidak kunjung selesai.

Mata Haris menatap sayu ke arah dokumen yang tumpukannya makin tinggi dari hari ke hari. Hampir tidak ada bedanya walaupun direktur mereka masuk kerja atau tidak, Haris harus bertanggung jawab atas banyak hal.

"Hasan, jadwalkan rapat dengan bagian sales, produksi, dan gudang besok jam 9. Selain membahas hasil bulan kemarin, juga perencanaan untuk bulan depan."

"Baik, Pak," sahut Hasan.

"Budi, minta bagian legalitas untuk percepat review penawaran tender yang masuk. Biar bisa segera kita siapkan list barang dan harga," perintah Haris lagi.

"Iya, Pak."

Wakil direktur itu lalu berdiri dan berbicara pelan. "Aku ke belakang sebentar. Kalau ada apa-apa, tolong kalian handle dulu."

Tanpa menunggu jawaban rekan seruangan, Haris sudah melangkah keluar dengan ponsel di tangan. Tangannya dengan sigap mencari nama ayahnya dan menekan tombol panggil.

"Halo, Yah," sapa Haris.

-"Haris, iya, Nak?" Haris lega suara ayahnya terdengar lebih ceria dibanding terakhir kali mereka bicara.

"Gimana kabar Ibuk? Maaf aku baru sempat telpon." Kaki Haris terus melangkah ke arah tangga darurat. Disana ada jendela besar sehingga bisa melihat ke arah luar dengan jelas.

-"Tidak apa. Syukurlah operasi Ibukmu lancar. Kamu pasti repot disana. Niar gimana, rewel apa nggak?"

"Nggak, Yah. Niar nurut. Ibuk masih di rumah sakit atau sudah pulang?"

-"Masih di rumah sakit, Nak. Kalau besok senin tes semua bagus, dan ibukmu bisa duduk sendiri, kata dokter sudah bisa pulang."

"Syukurlah, Yah. Ayah, teleponnya aku tutup dulu. Salam buat Ibuk, Ayah juga dijaga kesehatannya."

-"Iya, iya, kamu nggak usah kuatir, Ibuk sama Ayah ada yang njaga. Kamu baik-baik sama Niar."

"Iya, Yah."

Haris menghela nafas panjang. Dengan kondisi ibunya yang untuk duduk saja masih sulit, sepertinya masih cukup lama hingga Niar bisa dititipkan lagi pada orangtuanya. Mungkin sudah waktunya Niar tinggal dengannya, toh anak gadisnya itu sudah lebih bisa diajak komunikasi dibanding saat masih bayi.

Setelah memasukkan ponselnya ke saku celana, Haris melangkah lagi ke ruangan dengan semangat baru.

Semuanya tidak akan selesai kalau dia hanya memikirkannya di dalam kepala. Satu demi satu akan dia kerjakan.

Toh kota Roma juga tidak selesai di bangun dalam semalam.

...

Barang mereka bertiga tidak terlalu banyak, sehingga pindahan sudah selesai dalam semalam.

"Akhirnya selesai juga," gumam Hasan sambil menyeka keringat yang menetes di dahinya.

"Apa masih ada lagi?" tanya Haris yang membantu menata barang-barang pribadi di apartemen baru.

"Ini terakhir."

"Mau mandi atau makan dulu?" tanya Haris. Kali ini dia menata piring dan gelas di kitchen set satu demi satu.

"Sotonya mungkin sudah dingin. Mau aku panaskan lagi?" tanya Haris lagi tanpa menoleh, sehingga dia hanya mendengar langkah Hasan yang mendekat. Duda itu tidak menyangka Hasan akan memeluknya dari belakang.

"Ah, badanmu masih berkeringat. Kalau mandi nyalakan air panasnya, biar tidak kena angin duduk. Kalau keramas, shamponya..."

Hasan gemas dengan pertanyaan-pertanyaan Haris. Dia terdengar seperti seorang istri yang cerewet saat suaminya pulang bekerja.

"Dimana aku letakkan kardus berisi peralatan mandi, ya..." gumam Haris. Saat Hasan tidak juga melepaskan pelukannya, alis Haris bertaut. "Hasan, ini sudah malam."

"Sebentar saja.. Aku capek," gumam Hasan tepat di sebelah telinga Haris, membuat pria bertubuh lebih kecil itu salah tingkah.

"..ti..ijat.." gumam Haris.

"Hmm, apa?" Hasan tidak mendengar dengan jelas.

"Cepatmandinantiakupijat!" bentak Haris sambil melepaskan diri dari rangkulan tangan Hasan.

Hasan tersenyum lebar dengan sikap Haris yang penuh perhatian tapi malu menunjukkannya. Dia semakin ingin menggoda atasannya itu.

"Bagaimana kalau Pak Haris sekalian membantu saya mandi?" Hasan meraih tangan Haris saat pria berumur itu menjauh.

"Om Hasan 'kan sudah besar..kenapa minta mandiin Ayah.." pertanyaan dari Niar itu mengejutkan keduanya.

.

.

Hi, guys! Tolong like, comment, kasih gift, power stone atau vote sebagai bentuk dukungan dan cinta buat Haris dan Hasan! Terima kasih 💕