webnovel

The First Day

Aku segera masuk ke kamar mandi, memenuhi bathub dengan air hangat. Kemarin, Bik Asih dah menjelaskan semua hal yang aku tak tau. Aku sih gak malu, gak ngerti ya tanya aja langsung. Daripada entar repot sendiri, kan?

Aku melepaskan semua yang menempel di tubuhku, lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor. Kuambil sebuah bathrobe yang tersimpan di salah satu rak yang ada di kamar mandi yang gedenya enam kali ukuran kamarku di panti dulu. Kutaruh bathrobe itu di dekat wastafel, agar mudah ketika nanti mengambilnya.

Kulihat bathub sudah hampir penuh, aku bergegas mematikan keran, lalu masuk ke dalamnya. Aku duduk dengan nyaman di sana. Kuselonjorkan kakiku, sementara kedua tanganku memegang sisi samping bathub, dengan kepala kusandarkan ke belakang. Duh, nikmatnya. Di panti, boro-boro ada bathub, mau ke kamar mandi aja harus antre banyak. Hanya ada dua kamar mandi, sedangkan penghuni panti semuanya ada dua belas, plus Bu Ratri--pengurus panti.

Di rumah Attaya ini, semua serba tersedia. Rumahnya besar, ada 4 kamar tidur kayaknya. Kamar Attaya ada di atas, kamar mamanya ada di bawah. Juga kamar Bik Asih. Di lantai atas ini ada dua buah alat fitness milik Attaya dan ruang santai yang dilengkapi dengan mini home theater dan rak besar yang berisi berbagai macam buku bacaan. Di lantai, terhampar sebuah karpet bulu tebal dan beberapa bantal besar untuk bersantai. Bagiku, rumah ini seperti bagian dari surga. Iya, aku tau ada rumah atau hunian yang jauh lebih mewah daripada rumah Attaya, seperti yang sering kulihat di TV itu, tapi rumah ini sudah lebih dari cukup bagiku.

Tiba-tiba, sebuah suara air mengucur mengagetkanku. Astaga, aku ketiduran di bathub ternyata. Kulihat di ruang sebelah, Attaya tengah buang air kecil di closet. Ya ampun, apa-apaan ini? Bisa-bisanya aku ketiduran di bathub.

"Attaya, cepetan keluar, dong. Aku mau keluar dari bathub, nih," pintaku, dengan wajah memelas. Kedua tanganku sibuk menutupi dadaku. Attaya nampak cuek, karena masih menuntaskan hajatnya.

"Percuma kamu tutup-tutupi gitu, orang tadi aku dah lihat semuanya kok."

"Atta! Jangan kurang ajar kamu, ya!"

"Kurang ajar gimana? Salah sendiri mandi pintunya gak ditutup. Sapa suruh juga berendam sambil tiduran?" kilah Attaya, dengan wajah cengar-cengir.

Iya juga sih, aku yang salah sebenarnya. Tapi kan bisa tuh pakai kamar mandi yang ada di sebelah. "Tolong lemparin bathrobe-ku dong, Atta!"

"Bentar."

Tak berapa lama kemudian, Attaya menyodorkan bathrobe itu padaku. "Merem bisa gak sih, Atta?"

"Sorry, nih, tubuh kamu gak nafsuin. Terlalu kurus, dadamu kecil lagi," jawab Attaya dengan songongnya.

"Atta!" Aku menjerit kesal. Kuciprati dia dengan air di bathub. Attaya sontak kaget. Ia merebut lagi bathrobe yang sudah kugenggam. Wah, ngajak perang, nih.

"Nih, ambil sendiri bathrobe-nya!" Attaya mundur beberapa langkah dariku, mendekati pintu kamar mandi.

Aku langsung memberengut kesal. Yang benar aja, masak iya aku keluar dari bathub dengan tubuh telanjang bulat di depan Attaya? Walaupun katanya tubuhku tak menggiurkan, tapi kan tetap aja aku malu berat.

Melihatku bergeming di dalam bathup dengan wajah murung, Attaya serta-merta berjalan mendekatiku sambil mengulurkan tangannya. "Dih, ngambekan. Nih, ambil. Cepetan mandinya, entar kamu masuk angin. Pasti airmu dah dingin tuh."

Gegas aku menerima bathrobe-ku dari tangan Attaya. Setelah lelaki berumur 27 tahun itu keluar dari kamar, kulemparkan lagi bathrobe itu ke dekat wastafel. Langsung kusabuni seluruh tubuhku, kemudian berbilas dengan air hangat. Barulah aku memakai bathrobe itu.

"Lain kali, kalau mandi tuh pintunya dikunci. Kecuali kalau kamu pingin mandi bareng aku." Begitu aku masuk ke kamar, Attaya langsung menceramahiku.

"Siapa juga yang mau mandi bareng kamu!" jawabku ketus. Aku mengambil baju ganti dari tasku--celana pendek dan kaos v-neck hitam yang warnanya dah agak pudar.

"Bajumu kok ngenes-ngenes gitu sih, Freya?"

"Ngenes gimana?"

"Kumal."

Aku tak marah mendengar ucapan Attaya. Memang benar sih kenyataannya gitu. Memangnya aku pernah beli baju baru? Hampir semua bajuku adalah lungsuran dari orang-orang yang kadang menyumbang baju layak pakai ke panti. Teringat panti, membuatku seketika tertunduk lesu. Kasihan Bu Ratri, pasti capek mengurus panti sendirian. Penghuni panti yang paling besar hanya Ratna dan Nina--keduanya masih duduk di bangku SMP. Memang sih, selama ini keduanya rajin membantu Bu Ratri mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan sebagainya.

"Sorry, ya, Freya. Aku gak bermaksud mengolokmu."

"No problem. Aku hanya ingat adik-adik asuhku di panti. Rasanya tidak adil, aku tinggal di sini dengan fasilitas lengkap sementara mereka semua masih tinggal di panti dengan segala keterbatasannya. Aku harusnya berada di sana juga, Atta, bukan di sini."

Attaya mendekatiku, merengkuhku ke dalam pelukannya. Tangannya membelai rambutku yang panjang tergerai melewati bahu. "Kamu dah jadi istriku, Freya. Kamu gak boleh kembali lagi ke panti. Kelak, adik-adik asuhmu juga akan menemukan kehidupannya sendiri-sendiri sepertimu."

"Makasih, dah menghiburku," jawabku, sambil merapikan bathrobe-ku, hampir saja dadaku menyembul sebelah karena ketarik pelukan Attaya.

"Sana, ganti baju di walk in closet. Lama-lama kuterkam juga kamu entar."

"Katamu aku gak nafsuin?" cibirku, sambil berjalan menuju walk in closet.

"Aku lelaki normal, Freya. Walaupun tubuhmu gak seksi-seksi amat, tapi kalau kamu telanjang melulu di depanku, lama-lama pertahananku jebol juga, tau! Makanya jangan suka mancing-mancing," cerocos Attaya, sambil masuk ke kamar mandi. Ketika melewatiku, ia sempat menoyor kepalaku lagi.

"Idih, siapa juga yang mancing-mancing. Sorry, ya!" jawabku, sambil mendorong tubuhnya.

Kusisir rambutku, kemudian kuikat seperti ekor kuda. Kubedaki wajahku tipis-tipis, kuoleskan juga lipstik warna peach tipis-tipis di bibirku. Kemudian aku duduk di ranjang, menunggu Attaya keluar dari kamar mandi.

Tak berapa lama kemudian, Attaya keluar dari walk in closet. Ia terlihat sudah wangi dan rapi, mengenakan celana pendek hitam dan kaos stretch warna hitam yang mencetak dengan jelas bentuk tubuhnya yang berotot. Duh, bau parfum Attaya benar-benar memabukkan. Begini to, parfumnya orang kaya. Gak kayak parfumku yang sebotol gede harganya hanya belasan ribu aja.

"Ayo, turun! Aku lapar," perintah Attaya padaku.

Aku mengangguk, kemudian berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampai ruang makan, sarapan masih terhidang lengkap di meja. Mungkin Bik Asih sudah menduga, kalau kami bakalan turun agak siangan. Padahal, malam pertama kami gak ngapa-ngapain, loh.

"Mama ke mana, Bik?" tanya Attaya pada Bik Asih, yang kebetulan lagi lewat.

"Dah berangkat ke salon lah, dah jam sepuluh lebih ini, Atta," jawab Bik Asih. Ia memang memanggil Attaya dengan namanya saja, tanpa Mas apalagi Tuan, karena Bik Asih sudah bekerja pada mamanya belasan tahun lamanya.

"Mamamu punya salon, Atta?" tanyaku kemudian, sambil memakan roti panggangku. Kalau sudah habis, aku mau bikin setangkep lagi, ah. Masih lapar perutku. Setangkep doang gak cukup kayaknya untuk mengganjal perut pagi ini.

"Mama punya salon kecantikan, sebuah mini market, dan sebuah toko bangunan. Kenapa nanya-nanya, kamu pingin ngedaftar jadi karyawan Mama emangnya?"