webnovel

A Kiss Again

"Jauhkan wajah laknatmu dariku, Atta!" cicitku, sambil mendorong wajahnya.

Seperti biasa, Attaya hanya cengegesan kek pasangan mesum ketangkap warga. Mana dia ngerti kalau kelakuannya barusan, membuat jantungku berdegup tak karuan sedari tadi. Aku menghenyakkan bokongku di sampingnya. Lalu membuka keripik tempe yang sudah terbuka sejak di kamar tadi.

"Besok kamu mulai ngantor, kan?" tanyaku kemudian, sambil mengunyah keripik tempe.

"Iya. Kenapa? Gak sanggup nahan rindu, karena kita gak akan bertemu selama delapan jam, emangnya?"

"Idih, GR-nya tingkat propinsi!"

"Kamu mau ngapain di rumah besok, Freya?" lanjutnya.

Aku mengendikkan bahuku. "Entahlah. Mungkin ikut mamamu, ke toko atau minimarketnya."

"Kamu mau kuliah gak, Freya? Kalau mau, kuongkosin, deh."

"Ogah! Dah malas aku. Lagi pula, buat apa kuliah, kan aku dah bersuami."

Attaya tak membalas ucapanku. Seperti biasa, dia asyik dengan rokoknya.

"Atta, gaya pacaranmu sama Valerie sejauh apa? Sampai main ranjang juga emangnya?" tanyaku lugu. Terus terang saja, aku memang kepo maksimal tentang hal ini. Makanya, daripada jadi bisul, mendingan ditanyain langsung di depan orangnya saja, kan?

"Mau tau apa mau tau banget?"

"Mau tau banget," jawabku cepat.

"Kalau aku kasih tau jawabannya pada kamu, entar kamu mau kasih imbalan apa emangnya?"

"Dipijtin sebelum tidur, ya?"

"Ih, itu lagi. Bosan tau! Gimana kalau pijat di area yang lain? Tapi mijitnya pakai mulut?"

Untuk beberapa saat, aku terdiam berusaha mencerna maksud ucapan Attaya barusan. Setelah aku ngeh, sontak kucubiti lengannya habis-habisan. "Kenapa sih, kalau ngobrol selalu menjurus ke sana? Omes melulu kamu tuh."

Attaya tertawa-tawa kegirangan karena berhasil membuatku kesal. Dia menangkap tangan kananku, sehingga aku tak bisa melanjutkan lagi seranganku. Sementara tangan kanannya masih asyik memegang batang rokoknya.

"Lepasin tanganku! Kalau gak mau kasih tau, ya udah!"

Attaya kemudian melepaskan tanganku. "Kamu mau jawaban jujur apa jawaban bohong?",

"Terserah."

"Ah, ngambekan. Gak asyik kamu."

"Emangnya aku bisa membedakan saat kamu bicara jujur atau tidak? Makanya kubilang terserah aja."

"Oke, baiklah. Kukasih kamu jawaban jujur. Jadi, selama pacaran sama dia, aku dah beberapa kali ngamar sama dia."

"Di mana?"

"Di hotel lah. Masak iya di taman? Digerebek satpolpp entar.",

"Kamu dah merusak masa depan Valerie, Atta. Jahatnya kamu."

"Ngerusak dari mananya? For your information, Freya, saat pertama kali berhubungan intim denganku, dia dah gak virgin, tau!"

"Serius?"

"Serius, Freya. Dia juga mengakui hal itu, kok. Dia bilang, dia pertama kali melakukan hubungan sex dengan mantannya yang terakhir."

"Enak dong, dapet gratisan."

Attaya tertawa ngakak mendengar komentarku. "Zaman sekarang, hal kayak gitu dah dianggap lumrah, Freya."

"Iya, aku tahu itu. Lambat laun, keperawanan menjadi hal langka. Dah gitu, ada aja pasangan gak bertanggungjawab yang melakukan aborsi atau membuang bayi hasil perbuatan mereka seenaknya. Maunya bikinnya doang, ngegedein gak mau. Dodol banget, kan?" cerocosku geram.

"Sudahlah, jangan membahas hal-hal yang berat. Hidup dah berat, jangan ditambah-tambahin dengan mikir hal-hal yang gak perlu."

"Kamu pingin menikahi Valerie gak, Atta?"

Attaya mengendikkan bahunya. "Entahlah. Eh, kalau aku nikahin dia, terus kamu entar gimana?"

"Balik ke panti lah. Kalau enggak, ya jadi simpanannya om-om tajir aja."

"Heh, mulutmu, tuh! Bicara sembarangan aja."

"Aku serius, tau! Atau mendingan jual keperawanan aja? Kan ada tuh, om-om tajir yang terobsesi sama gadis perawan, sampai mau membayar mahal."

"Tambah ngaco, nih orang. Kebanyakan baca novel kamu tuh!"

"Tapi dalam kehidupan nyata, emang ada kan hal kayak gitu?"

"Ya emang ada sih. Semua hal bisa saja dilakukan oleh makhluk keji yang bernama manusia."

"Kamu lagi membicarakan diri sendiri, ya?" Aku iseng menggodanya.

Baru saja aku hendak melirik ingin melihat ekspresi wajahnya, ketika ia duduk di pangkuanku dengan tiba-tiba. Aku langsung panik seketika. "Attaya, kamu mau apa?",

"Mau berbuat keji padamu," cicitnya, sebelum kemudian mengulum bibirku dengan rakusnya. Tubuhku terdorong, hingga punggungku menempel pada bagian belakang bangku.

Tanganku refleks melingkar di punggung Attaya.

"Buka bibirmu, Freya!" desisnya, dengan suara serak.

Aku yang kalah posisi, tak mampu berbuat apa-apa. Mana berat banget tubuhnya. Perlahan, kubuka bibirku. Attaya langsung melumat bibirku lagi. Kali ini, lidahnya dengan leluasa memasuki rongga mulutku. Aku agak kaget, ketika lidah Attaya menyentuh lidahku. Darahku berdesir, jantung berdebar tak karuan. Tubuhku serasa tersetrum aliran listrik ratusan megavolt. Aku terhanyut. Nyatanya, aku menikmati ciuman Attaya dengan senang hati. Dasar lemah! Aku memaki diriku sendiri.

Setelah puas menciumku, Attaya turun dari pangkuanku, kemudian duduk di sampingku. Napasnya nampak tersengal-sengal. Aku pun sama. Wajahku memerah karena malu.

"Atta, tuh lihat bagian bawah kamu!" Aku menunjuk celana pendek Attaya.

Attaya tergelak malu. "Ini peristiwa alami, Freya. Tiap kali terangsang, dia pasti gini."

Aku melongo saja, tak tahu harus komentar apa.

"Ini yang disebut dengan: ada yang mengeras tapi bukan kemauan, ada yang kuat tapi bukan tekad, ada yang panjang tapi bukan akal, dan ada

yang besar tapi bukan nyali," celoteh Attaya dengan wajah super cuek. Aku yang mendengarnya, langsung bergidik.

"Idih, menjijikkan!"

"Jangan bilang gitu, Freya! Entar kalau kamu dah ketempelan benda itu, bisa lupa diri kamu. Kelak kita bakalan make love juga, kan, Freya."

Bola mataku seketika membola. "Kamu bilang gak akan menyentuhku sebelum aku siap, Atta. Lagi pula, kamu kan gak cinta aku. Kamu juga dah punya Valerie, tuh."

"Jangan munafik, Freya. Tiap kali aku menyentuhmu, tubuhmu selalu merespons dengan baik. Itu artinya, kamu sudah merasa nyaman denganku. Kamu ingat gak, saat kita bermesra-mesraan di karpet tadi pagi? Jadi sepertinya, tinggal nunggu waktu yang tepat aja bagi kita untuk make love di ranjang kita yang hangat. Iya, kan, Freya?" Attaya mengedipkan sebelah matanya padaku.

Kurasakan rona merah seketika menjalari kedua pipiku. Aku langsung bangkit dari bangku. Aku malu sekali pada Attaya.

"Eh, mau ke mana? Disuruh nemenin kok malah kabur." Attaya menangkap tubuhku, dengan kedua tangannya. Lagi-lagi, aku kalah tenaga. Tubuh kurusku, tak mampu melawan Attaya.

"Lepasin, Atta! Aku mau masuk ke kamar." Aku merengek pada Attaya, memohon untuk dilepaskan.

"Gak mau. Duduk lagi sini! Aku gak mau nongkrong sendirian kek orang telantar."

"Tapi jangan membicarakan hal yang menjurus terus dong?"

"Justru kita harus sering ngebahas itu, Freya. Kita ini dijodohkan, belum mengenal satu sama lain. Jadi, sah-sah aja bagi kita, ngomongin hal itu, agar ke depannya kita semakin nyaman."

"Tapi aku gak mau berhubungan intim sama kamu, selama kamu masih pacaran dengan Valerie. Aku gak ingin menyakiti perasaan pacarmu.",

"Terserah kamulah, Freya! Tapi aku lelaki loh, kita tidur sekasur. Aku bisa terangsang setiap saat. Jadi, jangan kaget aja kalau tau-tau aku jadi ganas sama kamu."

"Kamu jangan nakutin, Atta!"