webnovel

Coincidence of Fate [INDONESIA]

"Menurutmu apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?" Sebuah pertanyaan yang saat itu Ia ucapkan tanpa benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Semua hal yang selama ini Ia percayai sebagai bagian dari hidupnya, tertanya menyimpan lapisan rahasia yang terlalu dalam untuk Ia gali. Tidak ada buku panduan dalam hidup untuk menghadapi permainan takdir, tetapi bukan berarti dirimu hanya bisa menunggu bukan? Sama halnya dengan Asha. Ia hanya ingin melakukan apa yang bisa Ia lakukan dalam hidup, supaya paling tidak setiap hembusan nafas miliknya memberikan sebuah makna. Tetapi ketika pertanyaan yang Ia lontarkan ketika masih sangat kecil dan polos itu kembali menghantuinya - Apa yang harus Ia lakukan? "Mengapa kamu menganggap pertemuan kita ini hanya sebatas kebetulan dan bukan sebuah takdir?" Asha hanya berharap untuk mewujudkan harapan yang membuatnya bertahan hidup selama ini. Ia tidak pernah mengharapkan sebuah perubahan drastis. Hidup sebagai rakyat biasa, dikelilingi oleh Crown Prince, penerus Duke dan juga anak seorang Marquess adalah hidup yang tidak pernah diminta oleh Asha. "Aku... menyukaimu Asha." "Aku tahu ini bukanlah hal yang seharusnya aku lakukan. Tapi percayalah hanya dirimu yang... berharga untukku, Asha." "Please Asha, Aku hanya memerlukanmu..." Disitulah Ia, gadis dengan sebuah garis takdir yang terlalu rumit untuk disimpulkan dalam satu blurb. Mulai dari lika-liku pertemanan, keluarga dan juga polemik cinta adalah hal yang harus dihadapinya, tetapi tidak ada yang benar-benar tahu kemana cerita ini akan berakhir. Dan dia adalah Asha - tokoh utama dari cerita ini. Lalu terakhir, menurut kalian... Apakah lebih baik ketika kita mengatakan cinta sebagai sebuah rangkaian dari kebetulan atau sebuah ikatan tali takdir yang menyatukan dua garis nasib yang berbeda? -priscillangel-

priscillangel · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
14 Chs

Part 9

"Asha… Kita tidak mungkin bisa datang ke acara seperti itu dengan pakaian biasa." 

Helena sedang dalam misi untuk membuat Asha mau ikut dengannya membeli dress baru yang akan mereka gunakan di acara pesta ulang tahun Princess Laura. 

Dimana diluar dugaan Helena, itu adalah misi yang sangat sulit. 

"Aku sudah punya beberapa dress jadi mengapa aku harus membeli dress baru?" tanya Asha. 

"Karena ini adalah pesta yang diadakan di Imperial Palace, Dear Asha…" 

"Menurutmu dress yang aku punya tidak layak digunakan?" 

"… Ya." Jawab Helena jujur. 

Pakaian yang Asha bawa dari Marquisate Blair adalah dress yang dibelikan oleh Marquess James untuknya, dan itu juga termasuk dress yang mahal mengingat mereka membuatnya di salah satu tailor terkenal di Calvert Kingdom. Maka dari itulah Asha berpikir seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk dikatakan layak. 

"Asha… ini adalah acara yang termasuk tertutup, bukan seperti ball yang diadakan dalam skala besar. Pesta ulang tahun Princess Laura termasuk dalam pesta private yang hanya bisa didatangi oleh orang-orang tertentu. Tidak semua noble di Ridgewell Empire bisa mendapatkan undangan itu." Jelas Helena, 

"Dan itu berarti jumlah tamu yang datang akan sangat sedikit dibandingkan ball pada umumnya. Jadi jika kita tidak menggunakan dress yang proper…" 

"Aku pasti akan jadi bahan lelucon…" ucap Asha melengkapi kalimat dari Helena, yang diikuti dengan anggukan kepala oleh Helena. 

"Maka dari itu aku meminta tolong Brother Axel dan juga Senior Klaus untuk menemani kita membeli dress. Brother Axel sudah beberapa kali di undang ke pesta ulang tahun Princess Laura, dan meski dirinya adalah laki-laki, dia lebih paham soal trend dibandingkan kita." 

"Tunggu… kamu mengajak Brother Klaus juga? Kapan?" 

"Ah." Ucap Helena yang menyadari kesalahannya. 

"Haha… sebenarnya aku sudah mengontak mereka sehari setelah pertemuan di Emerald garden. Tapi karena aku terlalu sibuk mengerjakan tugas yang menumpuk… aku lupa memberitahumu." 

Raut muka penuh rasa bersalah terpampang jelas di wajah Helena. 

"Asha kamu tahu kan kalau aku tipe yang lebih suka menumpuk tugas sampai sehari sebelum hari pengumpulan. Selama ini aku memang bisa mengatur waktu lebih baik, tapi siapa yang menduga beberapa Professor sengaja membuat tanggal pengumpulan tugas di hari yang sama?" keluh Helena. 

Tetapi Asha memang menyadari hal itu. 

Berbeda dengan Helena, Asha adalah tipe yang jika hari ini ada tugas, maka kemungkinan besok malam tumpukan tugas yang sudah dikerjakannya akan tersusun rapi di meja belajar milik Asha. Sedangkan Helena adalah tipe yang berusaha menunda, sampai beberapa hari sebelum tanggal pengumpulan untuk benar-benar membuka tugas yang ada dan mengerjakannya. 

"Aku sudah coba mengingatkanmu soal itu…" ucap Asha mengingat kejadian beberapa hari lalu ketika Ia masuk ke kamar Helena dan menyadari kalau Helena hampir saja lupa mengerjakan beberapa tugas, karena Ia mengira tanggal pengumpulannya masih minggu depan. 

"Well, aku tahu akan lebih aman mengerjakan semua tugas dengan mindset sepertimu Asha. Tapi entah mengapa otakku ini akan dengan mudah bekerja lebih cepat ketika ada tekanan dari deadline…" 

Asha menghela nafas kecil dan menggelengkan kepalanya. 

"Oh ayolah. Kamu sendiri tahu kalau itu benar. Ada beberapa orang yang memang bisa menunjukkan potensi maksimal mereka ketika terpojok bukan?" 

Terkadang ucapan tidak masuk akal dari Helena membuat Asha bertanya, 'Bagaimana bisa mereka bisa jadi teman sedekat ini, ketika kita sering kali sangat bertolak belakang?'. 

"Jadi untuk hal ini, aku hanya tinggal mengikutimu kan?" ucap Asha ketika akhirnya menyerah dan memutuskan untuk ikut membeli dress bersama Helena. 

Jawaban dari Asha membuat sebuah senyuman lebar terbentuk di bibir Asha. 

"Yes! Brother Axel, Senior Illias dan Senior Klaus sudah menunggu di bawah." 

Asha menatap terkejut ke arah Helena, 

"Tunggu… jadi sejak tadi mereka… sudah ada dibawah?" 

"Ya. Jujur saja aku juga hampir lupa kalau aku membuat janji untuk membeli dress bersama mereka. Haha…" 

"Helen…" 

"Aku tahu. Sorry." Helena membuat gestur mengatupkan tangan ke arah Asha untuk mencerminkan seberapa besar Ia merasa bersalah akan hal ini. 

"Baiklah. Let's go." 

Dan seperti ucapan dari Helena, ketiga pria tadi sudah berdiri menunggu di halaman depan gedung asrama Helena dan Asha. 

"Maaf… aku sempat lupa memberikan info soal hari ini ke Asha." Ucap Helena menjelaskan kenapa mereka memerlukan waktu cukup lama. 

"Sudah kuduga. Tadi pagi aku tidak sengaja bertemu dengan Asha dan Ia terlihat tidak memiliki sedikitpun ide tentang acara sore ini." 

Asha menatap ke arah Axel dan mengingat kalau tadi pagi mereka tidak sengaja bertemu, ketika Asha hendak berjalan ke gedung kelas miliknya. 

"Ayo." Ucap Axel sambil tersenyum sebelum akhirnya mendahului untuk berjalan ke luar academy. 

"Aku sudah memanggil carriage yang ada di mansion." Ucap Klaus yang berjalan di samping Asha. 

"Oh. Okay." 

"Kamu tahu Asha… aku tidak pernah menduga akan ada hari dimana aku bisa menemanimu membeli dress." Klaus terlihat begitu bersemangat dan itu membuat Asha tersenyum sembari mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Marquess James menolak keinginan Klaus untuk ikut dengan mereka untuk membeli dress. 

"Aku akan menulis surat pada Ayah dan membuatnya tahu kalau aku sudah berhasil membelikanmu dress." 

"Tapi aku hanya butuh satu dress, okay?"

"… tidak ada salahnya membeli beberapa sekaligus bukan?" 

Klaus berusaha mencari cara untuk membelikan beberapa dress untuk Asha, dan gadis itu menggelengkan kepalanya. 

"Aku sudah membawa banyak dress dari Marquisate. Dan kalau bukan karena kebutuhan untuk acara ulang tahun Her Highness Princess Laura, aku tidak akan membeli dress apapun tahun ini." 

"… Baiklah." 

"Tapi bagaimana kalau aku juga membelikanmu dress, Asha?" Helena yang ikut mendengarkan percakapan antara Klaus dan Asha tiba-tiba memikirkan ide baru. 

"Aku juga tiba-tiba ingin membelikan Asha dress." Kali ini giliran Axel yang menyuarakan pikirannya, diikuti dengan Illias yang juga menganggukkan kepalanya sambil menatap ke arah Asha seakan Ia mengtakan 'Aku juga'. 

"Aku… tidak butuh banyak dress. Maksudku… setelah acara pesta ulang tahu Princess Laura, tidak akan ada banyak kesempatan untukku melakukan ball atau semacamnya." 

Ucapan Asha tidaklah salah. 

Lagi pula untuk apa seseorang seperti Asha yang merupakan keturunan dari rakyat biasa membeli dress dengan jumlah banyak? Jika Helena yang melakukannya itu bisa dimengerti, karena keturunan noble seperti Helena akan lebih mungkin mendapatkan undangan ke pesta atau ball. 

Tapi tidak dengan Asha Rohen. 

"Hmm. Sebenarnya tentang kamu membutuhkannya ataupun tidak, bukankah akan lebih baik menyiapkannya lebih awal dari pada kesulitan dikemudian hari karena tiba-tiba mendapatkan undangan seperti kali ini?" 

Asha menyipitkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah Axel. 

Bagi Asha permintaan Klaus dan Helena untuk membelikan dress untuknya dapat dimengerti, tapi mengapa seorang Axel Alderidge mau ikut membelikannya dress? Dan juga… Illias Danvers, Ia tadi menganggukan kepala ke arah Asha. 

"Hah…" Asha menundukkan kepalanya sebelum akhirnya menjawab, "Fine." 

"Yeayy!!" teriak Helena, yang diikuti dengan Klaus mengangkat tangannya untuk tos bersama dengan Helena. 

"Oh. Kalian juga membawa carriage?" ucap Axel yang sepertinya baru teringat kalau Klaus juga memiliki mansion di Calvert. 

"Kalau gitu kita akan bertemu di tempat tailor." 

"Okay." Ucap Klaus yang menuntun Asha menuju carriage miliki Marquisate Blair. 

Tetapi ketika mereka sudah duduk di dalam carriage, tiba-tiba Illias Danvers muncul dan ikut melangkah masuk. 

"Axel mengatakan kalau Ia butuh berbicara berdua dengan Helena." Ucap Illias seakan menyadari keanehan situasi yang ada. 

"Baiklah…" Klaus yang mengijinkan Illias masuk menatap ke arah Asha dalam diam. 

Bagaimanapun status Illias adalah anak Duke, sedangkan Klaus hanyalah anak dari Marquess. Secara hierarki, Illias berada di atas Klaus. 

Hanya saja Asha mulai mempertanyakan apakah mengijinkan Illias ikut dalam carriage mereka adalah keputusan yang benar. Sebab baik Klaus, Asha ataupun Illias sama-sama tidak mengatakan apapun sejak awal perjalanan, dan Asha merasa sedikit – tidak nyaman dengan suasana yang mulai mencekiknya. 

"Ehm. Aku belum sempat mengirim surat pada Marquess, jadi kalau Brother ingin mengirimkan surat padanya, tolong infokan padaku." Asha akhirnya menyerah dan memulai pembicaraan. Dimana itu adalah hal yang hampir tidak pernah Ia lakukan, kecuali Ia memang membutuhkan informasi atau jawaban. 

Bagi Asha memulai obrolan basa-basi yang tidak memiliki tujuan khusus adalah hal yang sangat sulit. Maka dari itu Ia sempat berpikir kalau Axel merupakan sosok yang sangat hebat, karena pria itu bisa dengan mudah membuat alur pembicaraan baru sesuai keinginannya, tanpa membuat orang disekitarnya merasa diatur atau dipaksa.

"Baiklah. Aku juga baru menyadari kamu sudah berada di sini selama hampir 3 bulan bukan?" 

"Ya. Waktu memang sangat cepat berlalu." 

Dan hening…

'Ah… aku benar-benar tidak bisa melakukan small-talks. Apakah aku harus mulai belajar pada Young Lord Alderidge?' Pikir Asha dalam benaknya. 

"Kalian…" 

Asha dan Klaus tiba-tiba menoleh ke arah Illias yang memecah keheningan. 

"Aku tahu kalau Asha adalah anak proxy dari Marquess Blair, tapi sebenarnya sejak kapan kalian saling mengenal satu sama lain?" tanya Illias, yang membuat Asha mengedipkan matanya terkejut, karena sepertinya itu adalah pertama kalinya bagi Asha mendengar seorang Illias mengucapkan satu kalimat yang cukup… panjang. 

"Hmm… kalau tidak salah aku mulai mengenal Asha sejak aku umur 4 tahun." Jawab Klaus, 

"Ah…"

"Sebenarnya banyak yang mengira Asha adalah anak yang disembunyikan oleh Ayahku." Ucap Klaus yang diikuti dengan tawa.

"Well, kalian memiliki warna rambut yang mirip." Illias sepertinya bisa memahami tuduhan itu. 

"Ya. Dan sebenarnya itu adalah hal yang paling aku banggakan." Klaus tersenyum lebar menatap ke arah Asha yang duduk di hadapannya. 

Asha pun tersenyum membalas Klaus karena Asha tahu kalau Klaus sebenarnya sudah menganggap dirinya sebagai adik perempuan yang tidak pernah Klaus miliki. Bagi Asha, Ia yang sudah menjadi anak yatim piatu di dunia ini, keberadaan Klaus dan Marquess James adalah hal tidak terduga yang bisa membuatnya bertahan selama ini. 

Sebenarnya kematian dari Anna Rohen, Ibu dari Asha adalah pukulan terberat dalam diri Asha. 

Dirinya yang saat itu masih berumur 7 tahun mungkin dianggap terlalu muda untuk bisa merasakan apa yang terjadi. Tetapi kecerdasan Asha yang membuatnya bisa memahami situasi lebih cepat dari kebanyakan anak sepantarannya, memberikan masa-masa berat bagi Asha. Ia tahu kalau Ibunya memang sudah tidak bisa berada disisinya beberapa hari sebelum meninggalnya Anna. 

Jadi sikap dan sifat Asha saat ini yang seakan 'baik-baik saja', adalah hasil dari kerja keras Klaus dan Marquess James untuk berada di sampingnya dan memberikan perhatian yang lebih padanya. Asha merasa baik Klaus ataupun Marquess James adalah sosok yang paling penting dalam hidupnya saat ini. 

Hal itu juga yang membuat Asha membiarkan beberapa orang menyimpulkan kalau dirinya adalah 'adik' dari Klaus. Sebelum kejadian kematian dari Anna, tidak akan mungkin Asha membiarkan asumsi yang muncul tanpa memberikan informasi yang sebenarnya. Bagi Asha saat itu, Klaus adalah 'Young Lord Blair', yang berada jauh lebih tinggi dari posisinya sebagai anak rakyat biasa. 

"Warna rambut kalian kadang mengingatkanku akan sesuatu… tapi aku tidak bisa menemukan apa yang sebenarnya membuatku merasa seakan… warna merah kalian terasa familiar." 

Illias menatap ke arah Asha, dan seakan berusaha mengingat apa yang membuatnya merasa warna merah di rambut Asha terasa begitu familiar baginya. 

"Well, ada banyak maid di Marquisate yang mengatakan warna rambut Asha mengingatkan mereka pada warna merah dari bunga rose…" ucap Klaus yang ikut mengamati Asha, 

Asha menundukkan kepalanya ketika menyadari kedua pria yang duduk di hadapannya itu mengalihkan perhatian mereka sepenuhnya pada Asha. 

"Ah. Aku memang sudah lama tidak melihat bunga mawar." Gumam Illias. 

"Setelah kuperhatikan lebih detail… warna rambut kalian tidaklah memiliki shade merah yang sama." 

"Ya. Warna rambutku lebih ke arah merah keabuan, sedangkan Asha memiliki warna merah yang lebih menyala. Tapi ketika kita sama-sama berada di bawah sinar mentari tidak terlalu terlihat berbeda. Jadi banyak yang sering salah menganggap Asha sebagai adikku." 

Illias menganggukkan kepala setuju akan ucapan Klaus. 

"Apa ada warna dress yang jadi favoritmu?" tanya Illias pada Asha, dan untuk kesekian kalinya Asha merasa kalau Illias yang ada dihadapannya bukanlah Illias yang selama ini Ia tahu. 

Asha memang tidak benar-benar mengenal Illias, karena bagaimana bisa Ia mengenal seseorang yang tidak pernah berbicara atau secara aktif ikut terlibat dalam pembicaraan? Tapi kenapa sosok yang biasanya diam itu tiba-tiba aktif berbicara pada dirinya dan Klaus seakan kita sudah menjadi teman selama beberapa waktu? 

"Entahlah Young Lord, aku tidak terlalu memiliki warna special terutama untuk pilihan dress. Biasanya aku akan mengikuti aturan dari undangan sebuah ball untuk memilih dress." Jawab Asha setelah Ia berhasil mengatur rasa terkejut dan bingung yang muncul dalam benaknya. 

"Asha terlihat bagus menggunakan warna apapun." Ucap Klaus sembari mengingat dress apa saja yang pernah dimiliki Asha, 

"Tapi aku paling menyukai warna dress cerah untuk Asha, warna terang terlihat begitu mencolok ketika digunakan oleh Asha. Apalagi ketika Asha membiarkan rambutnya tergerai tanpa memakai terlalu banyak aksesoris pada rambutnya… Itu akan terlihat begitu indah. Lagi pula warna rambut Asha yang sudah mencolok tidak membutuhkan aksesoris tambahan." 

Helaan nafas kecil terdengar dari bibir Asha karena Ia benar-benar merasa canggung. 

Dan Klaus yang sama sekali tidak merasa arah obrolan yang ada sangatlah 'aneh' membuat kondisi ini semakin parah bagi Asha. 

"Kalau begitu tidak akan sulit bagi kita untuk membelikan Asha dress, karena seperti yang kamu ucapkan tadi, Aku yakin Asha cocok menggunakan dress dengan warna apapun." Illias tersenyum ke arah Asha, yang membuat Asha secara refleks mengalihkan kedua matanya karena tidak tahu harus berbuat apa. 

Sepertinya Asha harus kembali memastikan siapa Illias Danvers diluar informasi yang sudah Ia dapatkan. Sebab hampir semua informasi tentang Illias mengatakan pria itu sangatlah – tertutup dan tidak mudah mendapatkan informasi tentang kepribadiannya. Tetapi melihat apa yang dilakukan Illias hari ini, sepertinya Asha harus mempertanyakan kredibilitas informasi yang Ia miliki. 

Meski Asha sendiri tidak yakin bagaimana caranya Ia bisa memahami karakter dari Illias Danvers… 

-bersambung-

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

with love,

priscillangel

priscillangelcreators' thoughts