webnovel

Sekali Lagi, Apa Itu Kehidupan?

Artic Warfare Magnum, atau disingkat AWM. Dengan berat lebih daari 10 KG dan menggunakan peluru 338 Lapua Magnum. Jarak efektifnya berada di jarak 1 Km, dengan begitu aku bisa membunuh target dengan jarak yang jauh. Magazine box hanya berisi 5 peluru saja, tapi itu sudah sangat cukup. Sebenarnya bisa saja aku membawa ini dari Soulmark ke Herafira, namun, itu akan terlalu berat dan akan menghambat perjalanan. "Ana, kau oke?" Tanya ku pada Ana, kami telah berkumpul di titik yang telah ditentukan. "Di sana." Ana tiba-tiba menunjuk ke sebuah gedung usang, "Maksudmu?" "Kita bisa membidik dari sana, dengan begitu kita akan sulit dilacak." Lanjutnya, tunggu dulu. Darah mengalir dari lengannya, wajahnya sedikit pucat, namun dia masih berdiri. "Balut dulu luka mu, gadis pirang, berbahaya." Tentu Nikki langsung menegurnya, dia segera memberikan Ana sebuah perban dari dalam tas yang ia bawa. "Peperangan sedang terjadi, jangan sampai ada yang mati diantara kalian berdua." Suara dari dalam radio terdengar, itu adalah suara komandan. "Sepertinya rencana kita akan semakin sulit, semoga saja komandan musuh tidak pergi."

"Jika pergi, itu adalah tugasku." Aku mengacungkan pisauku dan kembali berdiri, "Ayo, tak ada waktu." Aku berlari mendahului mereka dengan senapan di tanganku, tugas mengawasi sekitar kuserahkan pada Ana dan Nikki. Semoga saja laki-laki itu bisa kupercaya. "Siapa namamu?" tanya Ana pada Nikki, meski suaranya pelan, tapi radio kami masih saling terhubung.

Jarak gedung usang itu tak terlalu jauh, bahkan sekarang aku sudah masuk ke dalam. Tentu aku masuk dengan cara yang paling baik, yakni menendang pintu nya. menaiki anak tangga yang cukup mengerikan. Sudah berlumut dan ada bagian yang roboh. Bahkan di tempat tertinggi dari gedung ini, sudah sangat hancur jadinya aku bisa terlihat jelas jika berdiri di sana. "Ana, aku sudah berada di atas, bagaimana kondisimu?" aku segera merunduk, menyiapkan senapanku dan membidik lokasi yang telah ditunjukan oleh Nikki sebelumnya. "Aman, kau bisa membidik." Jawab Ana, "itupun jika dia masih ada."

Aku membidik, melihat sekitar tenda. Namun ketika aku membidik jendela tenda, aku malah dikejutkan dengan hal yang tak bisa kuprediksi sebelumnya. Siapa sangka di sana ada moncong senapan yang sama mengarah padaku.

DAR!

Suara nyaring dari senapan terdengar, namun bukan dari senapanku, melainkan senapan dari tenda itu. Aku segera berguling jauh, melompat dari atas gedung, tentu sebelumnya aku telah mengikatkan tali sehingga aku bisa ada dalam posisi aman. Gedung ini sangat tinggi, hampir mencapai 30 lantai dan aku terjatuh dari atas sana. Beruntung sekali. Ketika tali sudah mencapai batasnya, aku segera berayun, melompat ke dalam. Tentu aku langsung kembali berlari karena aku masih diincar oleh senapan yan mematikan itu. "Sialan, Ana, posisi ku diketahui, komandan, arahannya!" pinta ku pada komandan, "Serang tenda, Ana." Tegas komandan.

Memalukan sekali, tapi mengapa lokasi kami bisa- ah sialan. Aku menatap ke atas. Drone. Mengapa bisa ada benda itu. Dengan cepat aku menembaknya menggunakan pistol, Ana dan Nikki sudah berlari menuju tenda sementara aku masih berada di lokasi. "Sebaiknya kutinggalkan saja benda ini, bagaimana, komandan?" "Ya, itu akan menghambat, segera sergap lokasi pelarian." Ujar komandan dengan nada yang amat serius. Aku segera berlari. Suara deritan senapan mesin terdengar sampai tempat ini. suara ledakan dari bom juga sampai terdengar nyaring ke tempat ini.

Aku berlari dengan kedua pisauku digenggam. Ini adalah giliranku beraksi. Komandan lawan telah memanggil beberapa pasukannya untuk menumpasku. Namun mereka bukanlah tandinganku, dengan cepat aku memotong urat leher mereka menggunakan pisau ini. "Kerja bagus, muridku." Suara guru Hana terdengar, dia bisa melihat aksiku karena aku memasang Micro camera di saku baju ku sehingga semua data bisa dikirim dengan mudah. Termasuk jika aku mati, mereka akan tau penyebab kematianku. Aku kembali berlari, namun tak masuk ke dalam tenda karena ternyata komandan lawan telah melarikan diri, sementara yang membidikku tadi adalah pasukan biasa yang telah ditugaskan untuk membunuhku. Sepertinya sejak awal kami telah diketahui.

"Target dikunci." Aku tersenyum, seorang pria bertubuh besar tengah berlari dengan sebuah pistol di tangannya. dia adalah komandan lawan yang kuincar. "Jika kau adalah komandan, mengapa harus lari?" tanyaku, namun dia tak mengubris. Dari belakang aku bisa melihat postur tubuhnya. Dia berlari bukan ketakutan, seolah-olah tengah merencanakan sesuatu sehingga aku memutuskan untuk berhenti mengejarnya dan menarik pistolku. "Ada apa, Rika?"

"Dia terlalu mencurigakan." Ujarku, mengapa harus terus berlari? "Terkunci." Sudah ku duga. Aku masuk jebakan. Orang ini menjebakku dengan memerintahkan orang yang mirip dengannya untuk berlari dan telah memprediksi kalau aku akan ikut mengejarnya. Sekarang aku harus bagaimana. Benda dingin menempel di kepala ku. Itu adalah pistol, jika sekali bergerak aku bisa mati. "Huh, Soulmark bernyali juga, tak hanya bodoh, mereka juga tolol. Mengirim bocah Saaxirad ke medan tempur, apakah mereka berencana untuk membuat bocah ini membantai kami dengan sihirnya? Tolol sekali." Aku mencoba untuk tenang. Tak mengeluarkan sepatah suara pun.

DAR!

Sesuai perkiraan, Ana datang. Dia menembak kaki komandan lawan sampai membuatnya terjatuh. "Sekarang, Rika!" dengan cepat aku segera berbalik, mengayunkan pisauku ke bawah dan berniat untuk menikam lehernya. "Sialan." Dia menendang kaki kecilku, tentu karena itu aku langsung terjatuh.

Dar!

"Khah!" sakit. Sebuah peluru menembus lenganku, namun mengapa dia menembak bagian yang tak seharusnya ditembak? Aku melihat ke atas. Pistolnya terjatuh. Darah mengalir dari kepala nya. "Rika, kau oke?!" Ana berlari ke arahku, sial tanganku sakit sekali. Tapi tak mungkin aku mati karena luka seperti ini. aku bangun, namun wajahku pucat karena rasa sakit yang ada di tanganku. "Biar ku balut luka mu." "Dimana Nikki?" mengapa aku bertanya demikian? Seharusnya aku tak perlu memikirkan orang yang tak penting.

Mungkin.. karena aku teringat akan pertanyaanku waktu itu.

Apa itu kehidupan? Mengapa banyak orang yang menyianyiakannya?

Apakah, Nikki juga termasuk orang yang seperti itu? Adik-adiknya takkan bisa hidup tanpa dirinya. Meski aku tau, orang-orang yang kubunuh juga memiliki seseorang yang mereka cintai dan ingin mereka lindungi. Tentara yang ku bunuh, mereka mungkin memiliki adik, istri, orang tua dan kerabat yang mereka cintai.

Tapi inilah peperangan. Kematian sudah menjadi hal yang biasa. Tangisan keluarga takkan berarti lagi, karena mereka yang mati takkan bisa kembali. "Aku di sini." Pria itu datang dengan senapan yang kutinggalkan tadi, "Aku menembak pria sialan ini dari jarak yang jauh, bagaimana, hebat, bukan?" "Hah, yang penting misi kita telah usai, komandan, bagaimana?" Ana menghubungi komandan dengan radio nya. "Segera turun dari atas sana, turun ke medan tempur, pergi ke tenda lawan dan ambil beberapa amunisi, kita kekurangan orang." Ujarnya.