webnovel

Part 10

~Berada di tempat yang tak mengenal dimensi mungkin saja akan membuatmu lebih baik~

***

Author

Suara bel mengintrupsinya untuk segera memasuki kelas yang sudah ada di depan matanya. Ransel yang sedari tadi bertengger di bahu dan punggungnya sekarang sudah tergeletak di meja. Cowok itu menenggelamkan wajahnya dalam lipatan lengan yang ia letakkan di atas ranselnya. Ingatan itu terus terputar seakan mengejeknya dalam diam.

Cowok itu masih mencoba memejamkan mata saat seisi kelas bersorak karena guru kali ini sedang tidak masuk. Ia bahkan terlihat sangat tidak berminat akan semua itu. Pikirannya masih jelas tertuju pada kejadian yang baru saja ia alami. Namun, keadaan kelas yang seakan menyudutkannya membuatnya terpaksa bangkit dari posisi yang berusaha ia buat nyaman. Kakinya melangkah menuju tepi koridor dan memilih menjatuhkan diri di sana. Ia menopang wajahnya dengan kedua tangan yang ditumpukan pada lutut. Sepasang mata hazelnya menatap kosong taman yang berada tepat di depan kelasnya. Ia menghela napas panjang, sampai beberapa rintik rinai mengenai ujung sepatunya yang tak terlindung atap. Ia bangkit dan berniat kembali ke kelas. Namun, suara gedebuk yang cukup keras berhasil membuatnya menoleh. Maniknya memicing, ia kenal betul gadis yang sekarang meringkuk di tengah lapangan dan membiarkan rinai terus menghantam tubuh mungilnya. Dari tempatnya berdiri, sang hazel melihat jelas tubuh gadis iu bergetar. Hatinya mencelos, terasa terhantam benda keras dan menyisakan sesak di sana. Baru akan meraih payung di sudut kelas dan menghampiri gadis itu, langkahnya kembali terhenti saat manik hazelnya menangkap seorang cowok yang tengah duduk di hadapan gadisnya. Ia kembali menghembuskan napas panjang dan memilih duduk di kursi koridor. Matanya mengunci setiap pergerakan kedua insan yang tengah berada di bawah rinai. Bahkan, pikirannya sekarang ikut bergelayut bersama rinai. Tak hanya karena gadisnya bersama cowok lain tapi sesuatu yang lain dan menambah perih yang semakin menjalar di sana. Memorinya kembali terputar seakan kaset rusak yang selalu muncul tiap kali ingatannya tertuju pada hal itu. Sesak kembali menemaninya bersama rinai yang sekarang mulai berkurang. Ia mengerjapkan matanya saat suara rinai mulai lenyap dari indra pendengarannya. Ia kembali menatap gadis berambut hitam kecoklatan di sana yang mulai bangkit.

"Mbak... " Tenggorokannya tercekat melihat gadisnya terjatuh di sana. Kakinya ingin sekali melangkah ke sana. Namun, sekedar berkedip saja sekarang tak mampu.

---

Langkah itu terlihat pasti, sangat kontras dengan tatapannya yang sangat datar, bahkan tak sedikit pun memedulikan gadis yang sekarang berjalan di sampingnya dengan beberapa paper bag yang sengaja gadis itu bawa.

Helaan napas berat terdengar sebelum cowok itu memutar kenop pintu putih di hadapannya. Ia memejamkan matanya sesaat membuka pintu. Napasnya tercekat melihat wanita yang sangat ia sayangi sedang menatap kosong ke arah tembok. Sang hazel mendekat dengan tatapan menerawang. Tangannya bergerak menangkup wajah wanita itu. Namun, tak ada pergerakan yang berarti, manik matanya masih terpaku ke arah dinding. Gadis yang tadi membawa beberapa paper bag, meletakkan bawaannya di meja dekat ranjang. Tatapannya berubah menyendu saat berusaha mendekati wanita itu.

"Tante, Pelangi datang. Tante gak mau cerita sama Pelangi?" ujarnya, mencoba mengajak wanita itu berinteraksi. Namun, semua terlihat sia-sia. Bahkan, wanita bernama Dina itu masih tak bergeser barang sesenti pun. Tangan sang hazel yang masih menangkup wajahnya pun kian mengendur karena tak mendapat respon sama sekali. Sang hazel menahan bulir bening yang sekarang memenuhi pelupuknya. Ia mengangkat kepalanya, berusaha membuat bulir itu kembali ke tempat semula. Ia menggingit bibir bawahnya dan melepas tangkupan tangannya sambil bergegas mendekati pintu.

"Mau ke mana, Nat? "

"Lo di sini. Jagain Mama," ucapnya dan melanjutkan langkahnya.

Sang hazel mengurungkan niatnya menjauh dari ruangan yang membuat dadanya terasa sangat sesak saat mendengar panggilan untuknya. Ia menoleh sejenak dan kembali memilih melangkahkan kakinya yang tadi sempat tertunda. Namun, sebuah tangan mencekal lengannya hingga mau tak mau cowok itu berhenti dan menghadap pria dengan jas putih kebanggaannya.

"Ini perkembangan Nyonya Dina," ucapnya seraya menyodorkan beberapa helai kertas dalam map bening.

Sang hazel tersenyum kecut, "Sepuluh tahun sudah! Dari awal saya tidak mengerti apapun hingga saya menjadi sebesar ini, hanya itu. Hanya itu! " Ia berusaha sekuat mungkin menahan gejolak di dadanya.

"Nak Nata, ini penting. Tolong dibaca sebentar saja," Nata hanya melirik map itu dan segera merampasnya. Membukanya dengan kasar dan membaca semuanya sekilas.

"Bakar saja ini! Semua ini omong kosong! Anda pikir saya bisa dibohongi kertas bodoh ini?" Ia tak bisa menahan nada suaranya yang kian meninggi. Ia menatap Dina dari jendela kamar yang setengahnya tertutup horden.

"Sekarang Anda lihat, apa itu yang dikatakan perkembangan? Apa yang sedang Anda teliti? Apa? Tatapan kosong itu yang Anda sebut sembuh? Anda lelah menanganinya hingga membuat pernyataan palsu kalau Mama saya sembuh? Iya? Saya tidak butuh ini! " Sang hazel tak dapat menahan nada suaranya. Ia berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan pria yang baru saja ia lempari dengan map bening yang telah diremas kuat.

---

"Tau apa Anda tentang disakiti?" Katanya sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Oh iya, saya hampir lupa. Anda hanya bisa menyakiti, bukan disakiti. Iya, kan?"

Plak

"Diam kamu! Jelas-jelas kamu salah, pulang telat terus sekolah. Mau jadi apa kamu? Masih ke mana saja?" bentak pria yang sekarang menatap manik hitam pekat milik cowok yang baru saja ia tampar dengan kilat marah.

"Peduli apa Anda pada saya? Belum cukup juga Anda mengambil semua kebahagian saya? " Manik hitam itu berkaca-kaca.

"Cukup Gamma! Sampai kapan kamu menyangkal kalau ini Papamu? " Nada Tomi melunak tapi tak cukup membuat cowok yang sekarang berjarak sekitar satu meter darinya luluh.

"Maaf, Papa saya tidak ada di sini!"

Bugh

Cowok itu tersungkur, membuat punggungnya terantuk ujung tangga hingga terdengar ringisan kecil. Rahangnya mengeras, manik matanya masih menatap lekat punggung pria yang sekarang sudah melangkah menjauh dan telah membuatnya seperti ini.

"Gue akan ambil apa yang menjadi milik gue! Inget itu!"

---

Senyumnya kembali terukir saat mengingat ajakan Gamma beberapa waktu lalu, pipinya kembali bersemu merah mengingat begitu kerasnya cowok itu memaksanya menjadi model untuk lomba pemotretan.

Semilir angin membuatnya tersadar, mengingatkan padanya yang sekarang sedang sendiri tanpa siapa pun. Lalu apa maksud dari pria yang harus ia sebut Papa itu? Yang menginginkan waktu untuknya berbicara bersama? Bahkan, sekarang pria itu terasa tak peduli lagi, menghilang lagi bersama wanita yang begitu gadis itu sayangi, menyisakan keheningan dalam rumah besar ini.

Hembusan angin membuat gadis pemilik netra abu-abu itu mengeratkan jaket tipisnya. Netranya beralih pada langit yang sekarang menyuguhkan pemandangan yang begitu gadis itu sukai. Sudut bibirnya tertarik saat melihat Vega, Altair, dan Deneb terlihat jelas dari balkon kamarnya, hingga suara bel memaksanya turun.

Tak ada seorang pun di sana saat gadis pemilik netra abu-abu itu membuka pintu utama sampai matanya menangkap sebuah kotak berwarna biru muda.

***

Maaf ya updatenya lama. Sibuk. Wkwk

Oke butuh.

Saran.

Kritik.

Vommentnya juga:v

Salam vinsinurlita:)