Setelah sesi makan bersama, kami pamit pergi. Tentu saja Arin dan Ayu juga termasuk.
Harus aku katakan, hari ini terasa cukup menyenangkan. Mengajar anak-anak bersama Arin dan makan bersama masakan Ayu yang sangat lezat. Hari ini perut dan hatiku rasanya telah dipuaskan.
Aku dan Ayu berpisah dengan Arin di sini. Kami naik motor yang dipinjamkan oleh Om Tono kembali ke rumah Risa.
Melewati jalan raya yang sedikit ramai dengan panas terik matahari dan angin lembut, aku memperhatikan setiap tanda jalan yang kami lewati sebelumnya dengan perhatian penuh.
"Satria"
Karena Ayu memanggil namaku begitu tiba-tiba, aku sedikit menoleh untuk mendengarkan ucapannya lebih baik.
"Ada apa?"
"Gimana masakan aku tadi? Enak?"
"Enak kok, aku suka masakan kamu"
Ayu tertawa riang, "Ahaha, gimana? Aku udah cocok jadi istri belum?"
"Kalau pun kamu jadi istri suatu hari nanti, aku yakin kamu akan jadi istri yang baik dan pintar masak"
"Ehehehe, makasih"
Yah, itu hanya pujian yang jujur dariku. Tapi aku yakin kemampuan memasak Ayu akan semakin berkembang di masa depan. Pada saat itu, aku mungkin akan berakhir kegemukan karena terus memakan masakannya yang begitu lezat setiap hari.
Baiklah, kesampingkan hal itu. Apakah perjalanan kami hari ini bisa disebut sebagai sebuah kencan?
Jujur, aku tidak tau apakah ini bisa disebut kencan. Ini jauh berbeda dari apa yang Ardi jelaskan padaku tentang kegiatan kencan.
Aku merasa ada yang mengetuk helmku dari belakang, aku menengok dan melihat Ayu.
"Bisa kita ambil jalan memutar?"
"Eh, kenapa?"
Kenapa Ayu ingin mengambil jalan memutar? Bukankah kita akan sampai di rumahnya lebih lama jika seperti itu?
Aku menuruti permintaannya begitu saja. Lagipula, bukan aku yang memiliki hak untuk menentukan arah perjalanan ini.
Ayu sedikit berpegangan padaku. Setelah kira-kira lima belas menit berlalu, kami sampai di rumah Risa dan Ayu tinggal.
…
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Tidak ada hal spesial yang terjadi setelah aku dan Ayu kembali ke rumahnya kemarin. Dan aku mengembalikan semua uang yang dipinjamkan oleh Ardi tanpa kurang sedikit pun.
Setibanya aku di rumah, Ardi banyak melontarkan pertanyaan padaku seperti wartawan. Tapi benar-benar tidak ada hal menarik yang biasa aku ceritakan.
Sekarang, aku hanya berdiam diri di kelas setelah upacara bendera selesai.
"Hei, aku dengar ada kakak kelas yang memaksa adik kelas untuk memberikan uangnya"
Mulai tercipta banyak gosip di sekitarku. Kebanyakan yang membicarakannya adalah anak perempuan. Sementara anak laki-laki hanya peduli dengan kesenangan mereka sendiri.
"Ah, aku juga dengar rumor itu. Sepertinya adik kelas itu diamcam jika tidak memberikan uangnya"
"Itu benar-benar buruk, mereka bertingkah seperti berandalan di sekolah. Apakah tidak ada yang melaporkan mereka?"
"Eh, kamu tidak dengar bahwa mereka anak pejabat? Mereka bisa dengan mudah mengeluarkan uang dari saku orang tua mereka untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan"
"Lalu kenapa mereka masih melakukan hal itu?"
"Mungkin uang saku mereka dibatasi untuk suatu alasan. Yang jelas, mereka pasti punya beberapa dukungan di belakang mereka"
"Misalnya?"
"Mungkin preman kampung atau sebuah geng yang menyeramkan"
"Aku berharap tidak akan pernah berurusan dengan mereka"
Percakapan itu bergerak ke arah yang menarik. Anak pejabat yang merampas uang milik murid lain, itu pasti akan menjadi berita besar. Seseorang harus segera menghentikan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
Belakangan aku memang sering mendengar gosip tentang kasus ini. Jadi bisa disimpulkan bahwa mereka cukup sering melakukannya.
Tapi, masih butuh sedikit dorongan lagi untuk bergerak lebih jauh.
…
Ketika bel istirahat pertama berbunyi, aku menyelesaikan tugasku secepatnya lalu pergi ke luar kelas.
Cukup banyak area yang berada di luar lingkup pengawasan para guru. Wilayah belakang sekolah adalah salah satunya.
Jika aku menjadi orang yang memalak adik kelas, aku akan melakukannya di tempat yang jarang dilewati orang dan berada di luar pengawasan guru. Namun, apakah pikiran mereka begitu sederhana seperti itu?
Aku ingin membuktikan hal ini sendiri.
Setelah menelusuri berbagai tempat yang sangat mungkin terjadi pemaksaan itu, aku akhirnya menemukan satu tempat. Dan… bingo! Aku menemukan mereka sedang melakukan aktivitas yang selalu digosipkan. Aku bersembunyi di balik dinding sambil mengawasi mereka dari kejauhan.
Mereka menyudutkan seorang siswi dengan badan yang sedikit gemuk. Itu bisa terlihat dengan jelas dari seragamnya yang terlihat sedikit ketat.
Totalnya ada empat siswa laki-laki, penampilan mereka tidak rapi dengan gaya siswa yang senang melanggar aturan berpakaian yang baik.
Tunggu sebentar, sepertinya aku mengenal gadis itu.
…!!!
Bukankah itu Via, yang merupakan salah satu teman sekelasku?! Bagaimana bisa dia ada di sini? Tempat ini cukup jauh dari kelasku, apakah dia memiliki urusan di sekitar sini?
Gawat, Via mulai ketakutan! Mereka terlihat mengancam dengan beberapa hal yang tidak bisa aku dengar dari kejauhan.
Sial! Untuk bisa mendengarkan apa yang mereka ucapkan, aku harus mendekat untuk mendengarkan lebih jelas. Tapi mereka mungkin akan menyadari keberadaanku.
Aku tidak punya kemampuan bertarung yang mencukupi untuk menghadapi empat orang sendirian.
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mencari bantuan? Tidak, itu tidak akan sempat. Mereka pasti sudah selesai ketika aku kembali. Tempat ini berada jauh dari ruang guru.
Ketika aku sedang berada dalam kebingungan, sebuah pesawat kertas menabrak kepala belakangku.
Aku mengambilnya dan membukanya perlahan. Itu adalah sebuah surat kertas! Isinya hanya sebuah kata.
'Siap'
Setelah membaca itu, aku menjadi sedikit tenang, dan mengambil napas dalam lalu menghembuskannya.
Aku membuat langkah besar dan mendekati mereka. "Hei, sedang apa kalian di sana?!"
Aku membusungkan dada dengan percaya diri dan membuat tatapan yang mengintimidasi. Tanganku mengepal dengan erat, dan mata yang melotot tajam.
Salah satu dari mereka menghampiriku.
Aku mengenali orang ini. Dia adalah Ivan dari kelas 12 D. Dia memang dikenal berandalan dan dirumorkan memiliki sebuah geng yang dia dirikan. Tidak banyak hal baik tentangnya.
"Hei hei, bukankah ini si Bocah miskin?"
Ketiga temannya tertawa mendengar candaan buruk Ivan.
Mereka memang sangat suka memberikan julukan menyebalkan pada orang lain. Dan entah sejak kapan mereka membuat julukan 'Bocah miskin' padaku.
"Aku hanya kebetulan lewat sini dan menemukan hal ini sedang terjadi. Bisa kalian jelaskan situasi ini?"
Mereka tertawa keras, Ivan menjawab, "Oh, jangan khawatir, kami hanya sedang mempererat pertemanan. Bukankah begitu, Via?"
Via yang masih sedikit ketakutan terlihat mengangguk secara terpaksa. Bagaimana pun kau melihatnya, kenyataannya jelas tidak seperti itu.