webnovel

Bab 8

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu kamarku berkaki-kali. Aku masih meringkuk, membenamkan wajahku pada bantal bersarung hijau. Rasanya aku begitu kesal dengan lelaki yang kini tengah menghuni hatiku, begitu bodohnya aku yang terpesona dengan keluguan dan kesholehannya. Namun ternyata dia adalah seorang penipu yang ulung.

TokTok! Tok!

Gedoran pintu itu masih berlanjut, segera aku beranjak dari pembaringan dengan kesal menuju ke arah pintu.

Cekreekkk!

Aku membuka pintu kamarku. Pria dengan punggung bidang itu telah berdiri di depan pintu, menatap ke arah kantin yang terletak membelakangi kamarku. Memang kamarku terletak dekat dengan kantin, maklum kali ini aku sudah mirip sekali seperti babu, sial.

"Apa!" ucapku ketus kepada pria yang kini membalikan tubuhnya setelah mendengar bunyi derit pintu kamar yang terbuka.

"Kok sahutnya ketus gitu!" tanya Gus Al heran, menatapku dengan penuh tanya.

"Ya! Kamu mau ngapain ke sini!" Aku masih berdecak kesal, tidak pernah ada pria yang bisa menolakku atau mempermainkanku. Tapi kali ini aku kalah telak dengan lelaki anak dari Kiai pemilik pondok pesantren ini.

"Aku mau ngasih ini buat kamu!" sahutnya sambil memberikan kantong kresek berwarna hitam kepadaku.

"Apa ini?" tanyaku, aku masih gamang untuk mengambil barang itu. Begitu mudahnya dia menembus kesalahannya hanya dengan sekantong kresek. Ah ...! Aku mendengus kasar.

"Gamis! Buat kamu." Gus Al menyodorkan kantong kresek itu kepadaku.

"Buat apa!"

"Ya buat dipakai kamu lah, masak dipakai aku." Wajah pria berbulu halus di sekitar rahangnya itu tersenyum kecil seolah tidak memiliki dosa. Senyumannya terus terulas di sudut bibirnya melihat padaku.

"Ngak lucu!" Masih dengan pendirianku, menjawabnya dengan ketus.

"Ye, kan emang aku bukan badut kali! Cepetan ih, diterima!" Tangan itu meraih tanganku, dan meletakan kantong kresek itu di atasnya.

"Aku tuh!"

"Hus, engak baik menolak rejeki Neng Desi cantik!" ucapnya dengan ulasan senyum manis di bibir. Benar-benar pria ini memang nggak faham atau menang pura-pura tidak tau sih. Bikin aku geregetan banget.

Aku bergeming, netraku terus memicing mendongak ke arah Gus Al yang masih tersenyum manis padaku. Kali ini hatiku tidak akan runtuh lagi dengan pesonanya. Segera aku tutup pintu kamarku dengan keras. Membuat lelaki itu memundurkan tubuhnya dari pintu kamar dengan tergeragap.

"Des!" suara Gus Al dari luar pintu diikuti gedoran.

"Des, buka sih aku mau bicara sama kamu?" Suara itu terdengar begitu serius sembari dengan ketukan pintu yang berulang-ulang.

Aku masih berdiri di samping pintu, menyandarkan tubuhku pada papan pintu yang terbuat dari kayu. Aku masih mendengar nafas pria yang berdiri di depan pintu kamar. Berkali kali mendengus dengan kasar. Sekalipun ia mengulang namaku berkali-kali, namun mulutku masih terus terkatub.

"Des! Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu!" Suara itu kini terdengar parau. Aku yang masih memeluk kantong kresek yang berisi gamis itu terus berfikir. Terasa aku begitu egois kepada Gus Al, menyalahkannya secara sepihak. Belum tentu pria di luar pintu itu tau penyebab kekesalanku.

Aku menarik knop pintu perlahan, hingga nampak bayangan lelaki yang sedang menundukkan wajahnya tepat di depan pintu.

"Des!" ucap Gus Al, matanya terus menatapku, seolah pria di hadapanku kini sedang menyimpan beban yang begitu berat.

"Kenapa!" tanyaku dengan suara lemah. Hatiku semakin bergemuruh, namun tak ingin aku tampakan. Melihat wajah kacau pria di hadapanku ini saja sudah menyesakan rongga dadaku.

"Maafkan aku!" ucapnya membuat jutaan perkiraan dalam benakku terus menerka. Maaf untuk kesalahan yang mana, pikirku?

"Ma-maaf untuk apa?" sahutku, suaraku bergetar hebat. Aku tau maksud maaf itu, maksud yang sebenarnya tak inginku tau.

"Maafkan aku, aku harus menikahi Puspa!" Pria itu kini tertunduk lesu, suaranya terdengar parau. Tak mampu sedetikpun netra indah itu menatapku.

"Ya! Aku tau kok, dan aku tidak masalah dengan keputusanmu itu!" sahutku, wajahku masih sama dengan ulasan senyuman yang menandakan bahwa aku baik-baik saja. Menatap penuh binar kepada Gus Al yang mematung menatapku getir setelah mendengar ucapanku.

"Tapi aku tidak akan mengingkari janjiku, Des! Percayalah padaku!" ucapnya penuh keyakinan. Ternyata penilaianku selama ini salah kepada Gus Al, dia sama saja dengan lelaki hidung belang yang kerap kali mencumbuku. Lelaki rakus dan serakah.

"Lalu apa? Kamu mau menjadikan aku selingkuhanmu? Atau jalaangmu?" cetusku, tak lupa kuulaskan simpul senyum pada sudut bibirku dengan sinis. Agar pria itu tau bahwa aku tidak terluka. Meskipun saat ini aku benar-benar kecewa. Di mana aku yang menjadi taman ta'arufnya, tapi dia malah memilih menikah dengan orang lain. Dasar!

"Astaghfirullahaladzim Desi! Bukan seperti itu. Aku akan tetap menikahimu sampai kapanpun itu!" ujar Gus Al hendak meraih tubuhku, dengan sigap aku menepis lengan kekarnya. Bisa-bisanya ia masih menjanjikan untuk menikahiku sementara sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain.

"Bagaimana mungkin bisa?" ujarku dengan suara yang sedikit meninggi. benar-benar hal ini membuatku begitu kesal. Tak mampu lagi aku terus berpura-pura menerima janji pria yang terang terang telah mengkhianati janji yang telah dibuatnya sendiri.

"Tetap di sini untukku! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, percayalah padaku!" cetus Gus Al kemudian berlalu meninggalkanku yang masih terus mematung menatapi punggung bidang yang menghilang di kegelapan senja.

********

Aku masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan di kantin, membantu Bik Nah menyiapkan sarapan untuk anak-anak pondok pesantren. Wanita itu masih sibuk mengoyangkan spatula di atas wajan, membolak-balik orek tempe agar cepat tercampur dengan kecap yang baru ia tuangkan.

"Neng, udah tau belum!" ujar Bik Nah yang masih terus menggoyang spatulanya.

"Tau apa bik!" sahutku yang masih sibuk megusap piring dengan kain serbet. dan meletakkan pada tumpukan piring di atas meja.

"Minggu depan bakalan ada acara besar loh Neng!" Suara itu terdengar antusias. Wanita yang kini meraih piring di atas meja kemudian memindahkan seluruh orek tempe yang berada di wajan ke atas piring.

"Acara besar!" sahutku malas, otakku masih berkelana mencari sosok lelaki yang membuat hatiku begitu merindukannya. Hampir seminggu lebih aku tak lagi melihat sosoknya, setelah kejadian saat senja di depan pintu kamarku. Kebiasaannya setiap pagi yang mengajarkan anak-anak pondok untuk menghafalkan Asmaul Husna pun kini tidak pernah terlihat. Hanya salma yang setiap pagi melakukan hal itu, tanpa Gus Al. Lalu kemana perginya pria itu? aku begitu rindu dengan cerita-ceritanya.

"Neng! Ih si Eneng nih, malah bengong sih!" celetuk Bik Nah menyeretku dari lamunan. Hentakan piring ke atas meja membuat sedikit tergeragap.

"Apa Bik tadi, Desi kurang fokus!" sahutku yang kini memperhatikan Bik Nah yang sibuk memasukan nasi ke dalam piring.

"Makanya neng Desi jangan ngalamun bae, kan jadi kagak denger kalau bibi cerita, neng!"

"Emang ada apa sih, Bik?" tanyaku nyengir, seoalah penasaran dengan cerita yang barusan Bik Nah sampaikan. Padahal tidak sama sekali, Aku hanya tidak ingin Bik Nah tidak kecewa karena sikapku yang abai.

"Minggu depan kan Gus Al mau menikah sama neng Puspa! Neng Desi udah tau belum?" Wanita itu kini menatapku.

"Apa Bik?" Netraku langsung tertuju menatap Bik Nah yang sedang menatapku juga. Mungkin wanita itu tau tentang hubunganku dengan Gus Al. Aku tetap memasang raut wajah datar, agar Bik Nah tidak menerka isi hatiku. Aku masih berharap wanita itu mengulangi ucapannya kembali, untuk memastikan bahwa perih yang menjalar hingga keulu hatiku ini adalah salah.

"Ih si Eneng mah, itu loh Gus Al mau menikah dengan Neng Puspa minggu depan. Tau kan, perempuan cantik yang tempo hari neng anterin teh ke kantor itu," balas Bik Nah mencoba mengingatkan tentang kejadian beberapa hari yang lalu, ketika Puspa dan keluarganya datang ke pondok pesantren.

Netraku mengembun, namun segera mata ini kupejamkan dengan erat. Memaksakan bulir bening itu agar segera keluar dari pelupuk mata. Dengan sigap tangan ini megusap genangan yang menggenang di sudut mata. Sebelum wanita yang sedang mencentongkan nasi ke dalam piring-piring itu tidak menemukan jejak sedihku.

"Siapkan baju yang bagus ya, neng! Soalnya yang bakalan datang itu orang penting semua. Calon istri Gul Al kan anak pengusaha sukses. Jadi jangan malu-maluin Abah dan umi." Bik nah menutup mulutnya yang tersenyum lebar, kemudian berlalu meninggalkanku. Wanita itu terlihat begitu antusias dengan acara yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi itu.

Dan aku! Iya aku! Aku sudah tidak tau lagi bentuk hatiku. Pria yang aku harapkan menjadi penolong dari kegelapan hidupku. Ternyata malah memilih menjadi penerang untuk orang lain. Dan sekarang aku faham, kenapa pria itu kini menghilang meninggalkan rindu yang menyiksa. Dan tentang gamis itu, mungkin dia ingin aku mengenakannya di saat hari bahagianya.

"Jangan menangis, Des!" monologku pada diriku yang kini begitu menyedihkan.

bersambung ....