webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
24 Chs

Rose Galery

Rintik hujan masih menderai kampung Batik Giriloyo. Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti.

Hamparan sawah yang belum ditanami padi tampak tergenang air.

Tak terlihat satu ekor burung pun yang beterbangan.

Hanya terdengar suara khas hujan, dan angin yang sejuk serta suara-suara kodok yang saling bersahutan seakan sedang bernyanyi.

"Sepertinya hujan awet Ndok, Ibumu melarang mu turun jika masih hujan."

Ghandy tersenyum tipis pada seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk bersamanya dirumah tepas.

Rumah gubuk ini dibangun oleh Ghandy untuk rumah singgahnya disaat musim panen dan nanam. Agar Larasati memiliki tempat untuk berisitirahat.

Walau hanya gubuk yang terbuat dari tepas dan beratapkan daun kelapa, tempat ini begitu terlihat nyaman.

Terdapat satu kamar, dapur, ruang depan yang bisa digunakan untuk apa saja, serta halaman yang lumayan lebar dengan kursi bambu.

Padi-padi yang siap untuk ditanam telah ditumpuk dan diikat agar mudah ketika melakukan proses penanaman.

"Kalau hujan terus-terusan seperti ini, sebaiknya hari ini tidak usah turun Pak."

"Siap Ndok. Tapi jika sudah reda bapak akan mulai menanam, memanfaatkan genangan air hujan."ujar Pak Leman.

Ghandy mengangguk, mereka menyerut wedang untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya udara.

Hujan sebenarnya memberi keuntungan bagi para petani padi pada saat musim nanam.

Karena padi membutuhkan banyak air diawal pertumbuhannya.

Maka semua petani memilih menanam padi disaat musim penghujan tiba.

Namun, jika hujan terlalu deras dan rapat bisa membahayakan kesehatan jika dipaksakan untuk tetap menanam.

Maka biasanya Ghandy tidak membiarkan para pekerjanya turun ketika curah hujan yang deras.

Ghandy memperhatikan setiap tetes air hujan yang turun dan mendengarkan suara hujan yang khas.

Kemudian ia Menutup matanya dan menarik napas perlahan merasakan suasana hening didalam deraian hujan.

'Seribu titik atas rintiknya air hujan membuat ingatanku kembali mengingat dirimu, karena mengenalmu dibawah deraiannya.'

Ghandy berkata dihatinya, sambil mengingat perkanalannya dengan gadis simata biru.

Ia selalu mengingat Rukha sejak malam pertemuan itu.

*****

"Maaf sudah menunggu lama, Ada sesuatu yang harus Aku kerjakan terlebih dahulu. Ujar Larasati saat menghampiri Rukha dan Ranti.

"Tidak apa-apa Bu,"ucap Rukha.

"Ayo! Kita ke ruang berlatih." Ajak Larasati.

"Bukankah kita sudah ditempat berlatih Bu." Jawab Ranti bingung.

Mereka sedang berdiri dipaguyuban, tempat biasanya Larasati melatih semua anak-anak sanggar ataupun para turis yang datang.

"Ikutlah saja denganku Ranti."

Larasati melangkah balik kearah dalam, disusul oleh Rukha dan Ranti.

Mereka menyusuri Rumah joglo yang terlihat sangat lebar.

"Masuklah." Ujar Larasati mempersilahkan kedua anak gadis itu untuk masuk kedalam rumah joglo.

Mereka melangkah masuk, Rukha memperhatikan ruang tamu yang tertata rapi dengan kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua.

Ruang tamu tempat dimana pertama kali ia bertemu dengan Larasati.

Mereka terus berjalan masuk melewati lorong rumah, terlihat dua kamar yang berada disebelah kanan.

'Apa Bu Laras mau membawa Kami ke halaman belakang,' batin Ranti.

Langkah mereka berhenti tepat didepan pintu belakang, Larasati membuka palang pintu.

"Ambil lah," ucap Larasati sambil memberikan payung pada Rukha.

Dan ia melangkah keluar dengan membuka payungnya, Rukha dan Ranti kembali mengikuti langkahnya.

"Wahh sejak kapan ini menjadi taman yang indah seperti ini," ucap Ranti heran.

Taman yang tidak terlalu luas dibelakang bangunan pertama rumah joglo membuat Ranti dan Rukha takjub.

'Ternyata ada sisi lain dibalik rumah ini,' batin Rukha.

Rukha menikmati pemandangan bunga mawar besar yang sedang bermekaran dibawah rintiknya hujan deras. Warna putih dari beberapa warna mawar lainnya mendominasi.

Mereka berjalan diantara tanaman bunga mawar.

Tak hanya bunga mawar, bunga kertas, melati, dan bunga-bunga kecil lainnya dengan berbagai warna pun menghiasi taman itu.

Air terjun buatan terlihat menghiasi kolam yang tidak terlampau besar.

Jika tidak tenggelam dengan suara hujan, aliran suara air terjun pasti akan terdengar.

Tepat disamping kolam terdapat tempat duduk dan meja yang terbuat dari batu dengan ukuran yang tidak terlalu besar, mungkin hanya bisa diisi oleh empat orang saja.

Didepan taman terlihat rumah kayu dengan ukuran yang tidak besar.

Larasati membuka pintu rumah kayu dan melangkah kedalam, disusul oleh Ranti.

Rukha menutup payung dan kembali memandang taman bunga yang ada dihadapannya.

Taman itu mengingatkannya pada taman miliknya yang sengaja dibuat tepat disebelah kamarnya. Karena ia sangat suka merawat taman bunga dan menikamti keindahannya ketika mereka bermekaran.

"Jadi ini ruang pribadi Ibu," ucap Ranti.

"Ghandy yang membangun ini, ia menyebutnya sebagai "Rose Galery."

"Jadi, taman itu juga?"

Larasati mengangguk dan tersenyum hangat.

Suara pintu berdenyit.

Rukha melangkah masuk, dan ia kembali tertegun dengan isi ruang yang baru saja ia masuki.

Beberapa kain batik terbentang menghiasi ruangan. Suling-suling bambu disusun rapi dibagian-bagian dinding kayu.

Pandangannya memperhatikan sekeliling ruangan, ia juga melihat benda-benda yang sepertinya adalah alat-alat untuk membatik.

Larasati langsung menunjuk alat-alat yang ada diantara mereka dan menjelaskannya pada Rukha.

"Itu merupakan gawangan, berfungsi untuk memyampirkan kain mori pada saat proses membatik. Kompor gas dan wajan kecil itu nanti akan berfungsi untuk melarutkan malam/lilin. Kemudian alat-alat kecil ini adalah canting."

"Bu Laras, Maaf. Aku boleh izin untuk keluar?" tanya Ranti sembari tersenyum lebar memotong penjelasan Larasati.

Larasati menghela napas, dan membiarkan Ranti keluar.

"Anak itu, memang selalu malas jika sudah mulai belajar." ucap Larasati sambil menggeleng kecil.

Rukha berdiri tepat dihadapan Larasati.

"Baiklah Rukha. Kita akan memulainya hari ini."

Rukha mengganguk ragu. Ada perasaan yang membuat ia takut dan tidak percaya diri.

"Sebelum memulai untuk berlatih, Kau harus mengetahui bahan dan alat-alat membatik.

Rukha memperhatikan satu persatu canting yang ada diatas meja kecil.

Pandangannya tertarik pada benda yang disebut Larasati sebagai gawangan.

Ia berjalan menuju gawangan itu, menyentuhnya dari ujung keujung.

'Ini sungguh terlihat kokoh dan indah' batinya.

Gawangan yang terbuat dari kayu jati dengan warna merah manggis.

Kepala gawangan terdapat ukiran sepasang naga yang saling berhadapan.

Ia kembali memperharikan Larasati yang mengambil sesuatu dimeja dekatnya berdiri.

"Langkah pertama, Kita akan memulai dengan menjiplak motif. Aku sudah mempersiapkan motif untuk mu yang memang khusus Ku buat semalam." Timpal Larasati.

Rukha tertegun melihat motif yang diberikan padanya.

"Kenapa? Kau merasa tidak mampu?"

"hmm, tidak Bu. Aaa… maksud Ku-Aku akan mencobanya."

'Mengapa bisah Bu Laras memberikan Ku motif yang begitu rumit. Aku pikir akan mudah dihari pertama.' Gumamnya dalam hati.

Larasati tersenyum seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis anggun dihadapannya ini.

"Kau harus memulai dan membiasakan tanganmu dengan hal-hal yang sulit. Agar kedepannya Kau meresakan ke mudahan."

"Berkesenian bukan hanya tentang Kau mempunyai keahlian. Tapi, bagaimana caranya Kau bisa melibatkan hatimu didialamnya."

Rukha mendengarkan dengan baik setiap perkataan Larasati.

Perlahan perasaan tak tenang dan takutnya berangsur hilang.

"Kau sudah siap untuk memulainya?"

Rukha mengangguk, mulai meletakan kertas motif dan membentang kain mori untuk proses penjiplakan.

'Ayah, Aku akan memahami setiap tarikan pola-pola rumit ini. Hingga Aku juga bisa memahami mu suatu hari nanti.'

Ia menarik napas panjang seolah membangkitkan energinya. Dan memulainya dengan memeperhatikan secara seksama motif yang diletakkannya diperut meja.

Larasati memperhatikan setiap pergerakan Rukha.

*****

"Aaghhh… Ranti, mengapa Kau baru tahu tempat ini, padahal Kau selalu berada dirumah ini. Tapi, kenapa Bu Laras membawa Rukha keruangan pribadinya." Pikir Ranti.

"Mungkin saja karena Rukha sendiri jadi Bu Laras malas menggunakan ruangan besar itu." Pikirnya lagi.

Ranti berkutat dalam pikirannya, karena biasanya rumah joglo bagian depan digunakan untuk tempat berlatih mereka.

Tidak pernah seorang pun berlatih dibagian tempat lain disanggar ini.

Apalagi sampai menggunakan ruang pribadi Larasati.

*****

"Seingatku, laki-laki Mbak."ujar Melur.