webnovel

Chapter 9

"Baik, saya akhiri kelas pada hari ini. Sampai jumpa minggu depan."

Setelah kalimat tersebut keluar dari bibir seorang guru wanita paruh baya yang terkenal sebagai guru 'killer' di sekolah, murid-murid bersorak gembira. Tepat sepuluh detik sesudah guru tersebut meninggalkan kelas, murid-murid mulai berhamburan keluar. Langkah mereka kompak berpisah dengan satu sama lain. Sebagian besar dari mereka berjalan menuju asrama, ingin segera beristirahat setelah aktivitas sekolah yang melelahkan.

Sementara itu, Alice sedang melangkahkan kakinya menuju ke ruang OSIS yang terletak di ujung lorong koridor sekolah perempuan. Sebagai ketua OSIS, ia diharuskan memimpin rapat sepulang sekolah guna membahas tentang kegiatan dan organisasi yang berjalan di sekolah. Gadis itu menghela napasnya. Meski sejujurnya ia juga lelah dan ingin segera beristirahat, ia tak punya pilihan lain, ada tanggungan yang harus ia pikul sebagai ketua OSIS yang bertanggung jawab.

Di saat yang sama, kebetulan sekali Arthur juga sedang berjalan menuju ke ruang OSIS sekolah laki-laki. Saat matanya menyisir ke sekitarnya, tak sengaja ia mendapati Alice yang nampak dari tembok kaca. Ia pun berjalan mendekati kaca tersebut lalu mengetuknya beberapa kali hingga gadis itu menyadari keberadaannya.

Entah mengapa, ada sesuatu tentang gadis itu yang menarik perhatian Arthur dan membuat laki-laki itu ingin sekali berkomunikasi dengannya. Apalagi setelah melihat video kontes balet yang Romeo tunjukkan kepadanya di kelas tadi. Rasa penasarannya seolah bertambah.

Nampak dengan jelas jika gadis itu sempat berjingkat kaget sambil mengelus dadanya. Bibir gadis itu juga terlihat komat-kamit, seperti sedang menggerutu karena terkejut akan kehadirannya. Bagaimana tidak? Kehadiran Arthur benar-benar telah membuyarkan fokus Alice yang tengah tenggelam dalam pikirannya.

Arthur mengeluarkan ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu di notes.

Melihat hal tersebut, Alice membelalakkan mata. Gadis itu tak habis pikir tentang bagaimana seorang ketua OSIS yang seharusnya menegakkan peraturan justru malah melanggarnya. Bahkan tak terlihat guratan rasa takut sedikit pun dari wajah Arthur ketika ia mengeluarkan ponselnya.

'Apakah dia sering melanggar peraturan seperti ini? Atau mungkin ada peraturan di sekolah laki-laki yang berbeda dengan sekolah perempuan?' Alice menggelengkan kepalanya, tidak mungkin jika mereka memiliki peraturan yang sama karena sekolah ini sangat menjunjung tinggi keadilan.

Sudah jelas sekali jika Arthur sedang melanggar peraturan dan Alice hanya diam menyaksikannya. Seperti yang dikatakan tadi, Alice sudah cukup lelah untuk menghadiri rapat OSIS. Ia tak mau menghabiskan semakin banyak energinya untuk melaporkan apa yang dilakukan Arthur kepada guru atau komite kedisiplinan.

[Aku baru tahu kalau kamu bisa menari balet, sejak kapan kamu mempelajarinya?]

Itulah kalimat yang nampak tertulis di notes ponsel Arthur ketika laki-laki itu menempelkan ponselnya di kaca agar Alice dapat membacanya. Karena tak bisa saling berbicara dan saling mendengar, keduanya harus menggunakan cara lain untuk dapat berkomunikasi dengan satu sama lain.

Alice yang membaca kalimat tersebut sontak terkejut dan mengerutkan keningnya. 'Bagaimana dia bisa tahu?' tanyanya dalam hati. Pasalnya, antara sekolah perempuan dan laki-laki tak biasanya ada pertukaran informasi. Bahkan bisa dibilang jika mereka tak pernah tahu menahu mengenai satu sama lain. Pertukaran informasi antara murid sekolah perempuan dan sekolah laki-laki sangatlah minim.

Karena tak membawa ponsel, Alice memilih untuk memberikan jawaban melalui isyarat dengan mengangkat lima jarinya.

Melihat hal tersebut, terlihat Arthur kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya lalu menempelkan layar ponselnya ke kaca.

[Sudah lima tahun atau sejak berusia lima tahun?] begitu tanyanya.

Alice menunjuk ke arah layar ponsel yang tertulis 'sudah lima tahun '. Gadis itu masih ingat sekali mengenai kali pertama ia menonton pertunjukkan balet di teater dan langsung tertarik untuk mempelajarinya. Bahkan bisa dibilang, ia benar-benar dibuat tergila-gila dengan pertunjukkan tersebut hingga ia akhirnya mulai belajar balet di sebuah sanggar tari sebelum ia bersekolah di sini.

Belajar tari ternyata tidaklah semudah yang Alice bayangkan saat ia menonton pertunjukan itu. Selain membutuhkan tubuh yang lentur dan kelincahan, ternyata ia juga butuh kerja keras dan kedisiplinan yang kuat. Ia bahkan sempat hampir membuat tubuhnya celaka karena kesulitan menguasai teknik-teknik dalam tari balet.

Akan tetapi, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, bukan?

Setelah bertahun-tahun berlatih, setelah peluh dan perjuangan yang Alice lakukan, akhirnya gadis itu bisa menguasai semua teknik tari balet. Meskipun ia tidak bisa mengakui dirinya sudah sehebat penari di teater itu, setidaknya ia sudah mampu membuat orang tua, guru, dan teman-temannya bangga dengan kemampuan hebat yang ia miliki. Well, kata orang, sih, bakat yang dimilikinya merupakan salah satu anugerah yang Tuhan berikan kepadanya.

Mata Arthur berbinar-binar. Menurutnya, kemampuan Alice sudah lebih dari hebat untuk seseorang yang baru menguasai bakatnya dalam waktu singkat, hanya lima tahun. Dirinya saja berlatih basket sejak usia belia. Hal ini tentu saja menambah poin plus untuk Alice di mata Arthur.

Arthur mengangguk-anggukkan kepalanya pelan sebelum ia kembali mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

[Bagaimana hasil lombamu beberapa waktu lalu? Apakah kamu berhasil memenangkannya?]

Alice mengernyitkan dahinya. "Lomba?" gumamnya.

Arthur yang menangkap sinyal kebingungan dari ekspresi Alice kemudian mengetik sebuah kalimat yang berbunyi, [Bukannya kamu ikut lomba tempo hari? Lomba di mana 'si cerewet' jatuh dari panggung].

'Si cerewet? Apakah maksudnya Juliet?' tanya Alice dalam hati. Ia kemudian mengingat kejadian tempo hari di kontes balet di mana Juliet keluar dari panggung dan terjatuh saat melakukan gerakan berputar dengan satu kaki sebagai tumpuan.

Tawa kecil keluar dari bibir Alice ketika ia mengingat kejadian tersebut, kejadian yang membuat Juliet mengomel seharian karena malu terjatuh dan disaksikan banyak orang. Terlebih lagi, kejadian tersebut sempat didokumentasikan oleh pihak panitia perlombaan. Saat melihat video tersebut, wajah Juliet langsung merah layaknya kepiting rebus dan dia sempat menumpahkan kekesalannya kepada Alice.

"Menang!" seru Alice sambil mengepalkan salah satu tangannya dan mengangkatnya ke udara seperti gestur hore agar Arthur mengerti maksudnya.

Melihat Alice yang tampak begitu bahagia membuat Arthur diam-diam ikut tersenyum. Arthur akui, ini adalah kali pertama ia melihat Alice tertawa dan ternyata tawa Alice terlihat sangat menarik perhatian. Gadis itu terlihat dua kali lipat lebih cantik ketika ia tertawa seperti itu.

[Oh, selamat, ya!]

Alice tersenyum dan mengangguk, lalu menggunakan bahasa isyarat untuk berkata, 'Terima kasih.'

Keduanya hanya berbalas senyum dan saling menatap satu sama lain selama beberapa detik. Merasa situasi menjadi cukup canggung, Arthur memutuskan untuk kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menunjukkannya kepada gadis yang berada di hadapannya, lebih tepatnya berada di seberang tembok kaca yang memberikan jarak antara mereka berdua.

[Lain kali bawa hand-phone atau apa pun itu supaya kita bisa mengobrol]