webnovel

Chapter 24

Wendy menatap anak buahnya sambil mencoba untuk memproses apa yang baru saja didengarnya. "Oh, jadi maksudmu Alice adalah sebuah sumber bencana?" tanyanya setelah memahami apa yang tadi diucapkan oleh Edward.

"Memang iya! Zaman sekarang perempuan itu memang sumber bencana!" jawab Edward dengan enteng.

Wendy yang mendengar hal tersebut tak terima. Gadis itu merasa jika Edward sudah menghina dan merendahkan kaum sesama wanitanya. "Dari zaman batu juga yang selalu membuat bencana itu laki-laki, bukan perempuan!" bantah Wendy dengan sengit. Enak saja Edward menyalahkan perempuan padahal bencana dan peperangan di dunia selalu dimulai laki-laki.

"Bukan, tapi perempuan!" balas Edward.

"Enak saja!" Wendy mendengus. "Laki-laki itu memang sumber bencana!"

"Pokoknya perempuan!"

"Laki-laki!"

Wendy dan Edward terus berdebat dan saling membantah mengenai kaum siapa yang menjadi sumber bencana. Suara keduanya terdengar semakin keras menggelegar. Keduanya saling melempar tatapan tajam seolah siap untuk bertarung.

Anak buah mereka hanya bisa memijat pelipis karena tak tahu harus berpihak kepada siapa. Menurut mereka, tidak ada satu opini pun yang benar karena kesalahan dimiliki oleh individu, bukan satu kaum.

Wendy rasanya ingin sekali mencakar dan mencabik-cabik wajah Edward yang menyebalkan itu. Tak jauh berbeda dengan Edward yang ingin sekali membungkam bibir Wendy agar tidak sembarangan berbicara.

"Perempuan itu sama saja! Tidak mau disalahkan. Selalu merasa paling benar," ucap Edward sambil tersenyum miring.

"Kalau perempuan selalu merasa paling benar, kenapa justru laki-laki yang suka gengsi mengakui jika dirinya salah?" balas Wendy tak mau kalah. "Itu tidak masuk akal sama sekali!"

Perdebatan mereka semakin sengit. Antara Edward dan Wendy tidak ada yang mau mengalah karena mereka sama-sama menjunjung tinggi rasa gengsi dan harga diri. Mereka merasa tak terima jika kaumnya disebut sebagai sumber bencana.

Saking kesalnya dengan satu sama lain. Kini Edward bergerak untuk naik ke atas meja. Wendy juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua menatap satu sama lain dengan tajam dan aura yang gelap. Sebelah tangan mereka mencengkeram kerah satu sama lain sementara sebelah tangan mereka mengepal—hendak melemparkan tinjuan.

Karena tak ingin ada adu fisik di rapat yang seharusnya mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi, anak buah Wendy dan Edward pun ikut bangkit berdiri dan memisahkan dua orang yang sedang saling membunuh melalui tatapan tajam mereka.

"Bos, sudah jangan berdebat lagi," bujuk Dion dan Roni. "Lebih baik kita fokus ke permasalahan yang sedang kita bahas."

"Iya, Bos. Tidak ada gunanya bertengkar," ucap Rina dan Emma yang setuju dengan ucapan Dion dan Roni. "Ayo turun dari meja. Kita bisa membicarakan semuanya secara baik-baik dengan kepala dingin."

"Kalau kepala sekolah tahu kalian bertengkar, kalian pasti akan dihukum."

"Kalian juga bisa terancam dipecat sebagai ketua komite kedisiplinan sekolah. Memangnya ada ketua komite kedisiplinan yang melanggar peraturan dengan bertengkar seperti kalian?"

"Ayo, jangan bertengkar lagi."

"Diam kalian!" teriak Wendy dan Edward secara bersamaan.

Karena kesal ucapannya tak didengarkan, Dion, Roni, Rina, dan Emma ikutan naik ke atas meja, menarik Wendy dan Edward agar bisa melepaskan cengkeramannya. Suara meja yang sudah semakin reot terdengar dengan jelas. Jika mereka terus bertengkar di atas meja, pastilah meja ini akan ambruk dalam hitungan menit.

"Ayolah, jangan kekanakan!" gertak Dion, lalu menarik paksa Edward untuk turun dari meja.

Setelah Edward dan anak buahnya turun dari meja, Wendy dan anak buahnya juga ikut turun. Mereka lantas meminta Wendy dan Edward untuk kembali duduk di kursi dengan tenang.

"Kalian ini jangan bersikap seperti anak-anak!" omel Emma dengan hidung yang kembang kempis.

"Memangnya kamu tidak lihat jika dia menghina kaum perempuan?" tanya Wendy. "Kamu, kan, juga perempuan. Memangnya kamu tidak merasa kesal?"

"Halah, kamu juga sama! Kamu juga menghina kaum laki-laki!" sindir Edward.

Wendy menoleh lalu menatap Edward dengan dingin. "Itu karena kamu yang mulai duluan!"

Emma menghela napas panjang. "Sudah-sudah, lebih baik kita fokus ke masalah utama kita."

"Benar kata Emma. Jangan menyimpang dari topik. Tadi, kan, kita sedang membicarakan tentang sindikat! Kenapa malah bertengkar seperti ini?" ujar Roni dengan kesal. Jika tidak mengingat kalau Edward adalah bosnya, tentu Roni pasti sudah memberi pelajaran laki-laki itu agar dia mau diam dan fokus dengan permasalahan mereka.

"Baiklah, aku minta maaf," kata Edward pada akhirnya.

Wendy menghembuskan napas lelah. "Aku juga minta maaf," jawabnya.

Dion, Roni, Rina, dan Emma tersenyum puas saat mendengar ketua mereka meminta maaf dan kini sudah saling berbaikan. Harus mereka akui, perdebatan Wendy dan Edward tak akan membawa mereka ke mana-mana selain jalan perpecahan. Tentu mereka tak ingin hal itu terjadi di saat sindikat pelanggar peraturan sekolah sedang bebas berkeliaran di luar sana.

"Jadi, menurutmu Arthur terlibat?" tanya Wendy.

Edward mengangguk. "Ya. Aku memang sudah lama curiga kepada dia."

"Apakah ada hal yang menguatkan dugaanmu?"

Edward menatap ke langit-langit ruangan sambil berpikir. Sebenarnya tidak ada hal janggal yang dilakukan Arthur dengan gamblang. Namun, jika mengingat Arthur adalah orang bermuka dua, ia jadi semakin yakin jika Arthur memang terlibat.

"Romeo sempat keceplosan berkata jika Arthur adalah bosnya. Tapi dia akhirnya berkata jika Arthur bukanlah bos sindikat, tapi hanya bos biasa yang dia hormati."

Wendy mengerutkan dahinya.

"Kalau ketua OSIS Alice ... Apakah dia pernah melakukan sesuatu yang mencurigakan?" tanya Arthur.

Wendy terdiam sejenak. Berusaha mengingat-ingat. Namun nihil. Tak ada hal buruk yang pernah Alice lakukan sejauh ini. "Kalau Alice sih dia tidak pernah melakukan sesuatu yang mencurigakan. Dia juga tidak pernah melanggar aturan sekolah selama ini."

"Kalau temannya si Juliet itu bagaimana?" timpal Dion.

"Juliet pernah ketahuan pacaran dengan Romeo beberapa hari yang lalu," balas Rina yang membuat Edward terkesiap.

"Sepertinya kita harus mulai menyelidikinya secepatnya," balas Dion.

Edward dan Wendy mengangguk sepakat.

"Ayo kita lihat siapa yang bisa menangkap sindikat itu terlebih dahulu. Yang bisa menangkap ketua sindikat duluan berarti dia yang menang," kata Edward penuh antusiasme.

Wendy menerima tantangan tersebut dengan tangan terbuka. "Siapa takut!" serunya diikuti dengan senyum miring.

Mereka berenam lantas berdiri dan menjabat tangan satu sama lain. Sesudahnya, mereka bubar dan keluar dari ruang rapat gabungan. Tak lupa mereka mengucapkan "sampai jumpa" dan melambaikan tangan sebelum akhirnya mereka kembali ke asrama masing-masing.

Wendy dan Edward sama-sama yakin jika mereka akan segera berhasil menangkap ketua sindikat. Setelah menangkapnya dan menemukan cukup bukti, mereka akan langsung melapor kepada kepala sekolah supaya tidak ada lagi oknum sindikat di sekolah ini.