Happy Reading semuanya!
Waktu kepergiannya menuju korea tinggal esok hari dan sekarang rasanya kepala Raima dibuat berdenyut melihat kelakuan adiknya yang menjadi super duper sensitif karena dirinya yang akan tinggal di Negara impiannya itu, ah—kepalanya sakit saat melihat Zainun sukses membuatnya hampir mendidih melihat kelakuannya.
Sudah tidak bisa dihitung lagi kemarahan dan kekesalan Zainun hari ini, bahkan ibunya dan ayahnya angkat tangan melihat kelakuan adiknya itu yang semakin parah menjelang kepergiannya. Zainun benar-benar menyebalkan menurut Raima, belum juga ada hitungan menit gadis itu sudah marah lagi perkara dirinya yang di belikan kebab langganannya oleh kakak laki-lakinya.
"Kenapa kamu marah-marah enggak jelas sih! Ini kan memang pesanan kakak tadi pagi sama kak Fadlan sebelum berangkat kerja! Memangnya bagus makan makanan milik orang lain tanpa izin? Kamu udah buat kesal kakak loh! Udah dua kali kamu begini! emang bagus kaka tanya?!" keluh Raima sembari berkacak pinggang menatap adiknya yang kini memakan kebab kesukaannya.
Fadlan hanya bisa menggeleng melihat kelakuan adik-adiknya itu, yang satu kehilangan sabar dan yang satunya lagi adalah pemancing amarah. Matanya menatap ibunya yang menenteng sandwich kesukaan Raima beserta orange juice kesukaan gadis itu, bisa ia lihat kalau adik bungsunya itu semakin murka melihat ibunya perhatian seperti itu.
"Giliran kak Raima aja di buatin makanan kaya begitu! Sedangkan aku enggak! Kan aku juga belajar sama kayak kak Raima! Kenapa umi bandingin aku sama kak Raima? Aku juga mau kaya begitu! Diperhatiin umi kalau lagi belajar!" Kepala Raima hanya menggeleng kemudian memberikan nampan berisi cemilan itu kearah adiknya yang hanya memajukan bibirnya kesal pada dirinya.
Sepertinya Raima harus benar-benar mempunyai stock sabar yang banyak untuk menghadapi adiknya yang satu itu, Zainun sedang dirundung rasa kecemburuan pada dirinya. Mungkin kalau dirinya sudah pergi ke Korea gadis itu tidak akan seperti ini lagi.
"Zainun harus paham dong, kenapa kakak, umi sama abi begitu ke kak Raima?" sambar Fadlan sembari duduk dipinggir tempat tidur milik Raima.
Raima tersenyum tipis menatap kakaknya yang ada didekatnya itu. Tangannya membenarkan hijab yang dikenakan adiknya lembut, sekesal atau semarah apapun Zainun dia tetap menjadi anak yang manis menurut Raima walaupun ia senang sekali menggoda, mengejek, dan menjahili gadis itu.
"Jangan marah lagi! Nanti kalau kakak pergi gantian kamu kok yang bakalan di manja umi sama abi. Apalagi kalau enggak ada kak fadlan pasti kamu dimanja banget, buat sekarang abi sama umi manjain kakak dulu soalnya kakak kan mau pergi jauh. Zainun harus paham ya," ucap Raima lembut membuat adiknya itu menahan tangisnya. Zainun tidak pernah mengerti kakaknya.
"Nanti sandwichnya kamu makan sambil belajar aja nanti, sekarang ayo ikut kakak sama kak Nissa pergi ke mall buat beli keperluan yang belum kakak beli, nanti kakak belikan makanan kesukaan kamu deh. Kamu mau nggak?" ajak Raima membuat kepala Zainun mengangguk, ia tahu tipikal adiknya itu seperti apa? Menggemaskan sekali.
Bibir Fadlan tersenyum menatap keakraban adik-adiknya itu. Dirinya bisa melihat kalau Raima bisa diandalkan oleh mereka. Tangannya mengulurkan selembaran uang dan memberikannya pada Zainun.
"Buat jajan disana, jangan minta kak Raima!" Zainun mengangguk kemudian berjalan menyusul Raima yang sedang mencari sepatu di rak dekat dengan dapur.
Bibirnya membentuk senyuman manis saat matanya bertemu dengan Nissa yang terlihat cantik dengan balutan rok bewarna abu-abu panjang dan kaus lengan panjang bewarna hitam yang dibalut dengan cardigan bewarna senada dengan roknya. Sahabatnya itu memang sangat cocok menggunakan baju apapun. Langkah kaki milik Nissa berjalan dengan cepat menghampiri Raima yang sedang duduk dengan Zainun yang memainkan ponselnya sejak tadi, entahlah apa yang dilakukan oleh gadis kecil itu.
"Hai Zainun!" sapa Nissa
"Kak Nissa itu udah sekolah berapa lama sih! Kalau ketemu sama sesama umat islam itu Assalamualaikum dulu baru 'hai!' Pasti dulu kak Nissa sama kak Raima cuman main-main ya disekolah dulu! Anak nakal! Bilangin abi nih!" omel Zainun sembari berkacak pinggang membuat Raima hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya itu. Mulai lagi adiknya yang satu itu.
"Adikmu semakin sensitif ya? Seram juga kalau begini jadinya," bisik Nissa tepat disebelahnya membuat Raima tertawa pelan.
"Ikuti saja kemauannya. Kamu tahu? Kepalaku sampai sakit dengar omelannya setiap hari," sahut Raima sembari berbisik kearah Nissa yang hanya menganggukkan kepalanya.
"Yaudah deh kak Nissa minta maaf, kakak ulang ya? Assalamualaikum Zainun cantik! Jangan marah-marah dong, nanti cepat tua loh!" Zainun tersenyum manis kemudian memeluk Nissa yang menyambut hangat adik perempuannya itu. Raima hanya bisa menggeleng melihat kelakuan mereka berdua.
Ketiganya mengelilingi mall yang sedang mereka kunjungi hari ini, sudah tiga paperbag ditangan Raima berisi baju untuk musim panas dan beberapa baju hangat untuk persiapan musim dingin nanti. Tidak banyak seperti sahabatnya yang sudah menenteng lima paperbag berukuran besar ditangannya. Raima benar-benar berjalan seorang diri karena adiknya dengan Nissa sudah menghilang ditelan pintu masuk toko selanjutnya, entah berapa banyak yang ingin di beli oleh sahabatnya itu.
Kaki Raima sudah merasa kelelahan jadi dirinya memilih untuk membaca buku di kafe dekat dengan toko yang sedang dikunjungi adiknya dan sahabatnya itu. Raima masih tidak mengerti dengan fungsi adiknya itu membeli buku seperti kamus bahasa korea seperti ini, bahkan ketika Raima buka buku yang dirinya pinjam ini masih sangat bersih tanpa noda coretan sedikit pun.
Terdengar suara tawa sahabatnya itu, ah—Raima tidak habis pikir dengan temannya itu. Nissa sudah menenteng tiga paperbag baru di tangan sebelah kanannya, sepertinya ia harus segera membawa pulang sahabatnya itu kalau tidak mau membawa kekhilafan yang lebih banyak lagi. Bahkan adiknya juga ikutan menenteng satu paperbag yang entah isinya apa.
"Kamu ikutan beli juga?" tanya Raima membuat Zainun mengangguk.
"Kak ayo pulang!" ajak Zainun sembari menarik tangannya untuk segera pulang kerumah. Bahkan gadis cantik bernama Raima itu belum sempat berpamitan dengan sahabatnya itu.
Kepala Nissa hanya bisa menggeleng melihat keduanya, setidaknya nasihatnya untuk Zainun tadi bisa menghilangkan rasa pening sahabatnya itu. Raima memang bisa berbohong dengan orang lain, tapi tidak dengan dirinya. Sebaiknya ia harus pulang juga sebelum diamuk oleh ibunya sendiri.
Sepertinya sebulan itu berjalan dengan cepat, buktinya tinggal esok hari ia sudah harus ada di bandara untuk terbang ke negeri gingseng kesukaan adiknya itu. Kepala Raima terasa penat memikirkan tata bahasa Korea yang berbelit-belit bagi dirinya, haruskah ia menyerah saja. Dirinya tidak se-fanatik adiknya yang mempelajari bahasa Negara ini.
Rasanya seperti dirinya kembali menjadi anak sekolahan yang tidak bisa jauh dari bukunya, apalagi menjelang ujian masuk perguruan tinggi beberapa tahun lalu. Raima bahkan sampai lupa untuk sekedar makan kalau bukan karena ayahnya yang sangat perhatian padanya. Tidak jauh berbeda dengan sekarang, dirinya bahkan ke kamar mandi saja ia membawa bukunya untuk menghapal satu atau dua kosakata yang ada di kamus yang ia pinjam dari adiknya. Melelahkan sekali seperti ini.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan dirinya masih belajar tentang budaya disana, ia yakin saat ini adiknya sudah mulai beranjak tidur atau masih menonton drama yang katanya sedang popular entahlah ia tidak mengerti drama apa yang ditonton adiknya.
Malam ini malam terakhirnya tidur di kamarnya karena besok dirinya sudah tidur di Negara lain. Semuanya sudah siap tanpa ada yang tertinggal sedikit pun, mulai dari perjanjian perusahannya, passport, visa, izin tinggal dan sebagainya.
Matanya menatap kamarnya yang sebentar lagi akan ia tinggali, kamar yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Sebenarnya Raima masih merasa sedikit perasaan ragu karena tawaran pekerjaan ini, tapi begitu melihat mata Nissa yang terlihat senang membuatnya tidak bisa menolak lagian dirinya juga tidak mau menganggur selamanya. Ah—sudahlah memikirkannya membuat kepalanya bingung bercampur pening.
Ponselnya berdering menampilkan pesan yang di kirimkan oleh adiknya itu, matanya membaca pesan yang dikirimkan oleh adiknya itu dan membuatnya tersenyum manis menatap pesan adiknya itu. Sudah Raima bilangkan kalau adiknya itu sangat manis.
-Kak Raima maafin Zainun yang suka kesal sama kakak beberapa hari ini, Zainun iri terus kesal karena kak Raima pergi ke luar Negeri tanpa ada rencana bilang ke Zainun. Terus apalagi kakak pergi ketempat yang Zainun impi-impikan dari dulu. Aku janji nggak marah lagi deh sama kak Raim, aku sayang kakak.-
Begitulah isi pesan yang dikirimkan oleh adiknya itu, memang tidak ada perkelahian yang abadi antara dirinya dengan adiknya. Ah! lucu sekali adiknya.
Bandara Soekarno Hatta terlihat ramai di musim liburan sekolah seperti ini, ah-- tapi sebenarnya belum begitu masuk masa liburan karena adiknya saja belum menerima rapor sekolahnya. Entah ingin pergi kemana pengunjung yang mendatangi bandara ini yang jelas sangat padat dan ramai. Bahkan mereka harus mengantri terlebih dahulu, intinya sangat penuh.
Ibunya sejak tadi hanya mengusap kepalanya sembari menatapnya teduh, pasti ibunya terasa berat harus membiarkannya pergi jauh dari pandangan ibu paruh baya itu.
"Ingat shalatnya jangan di tinggal, kerudungnya juga jangan sampai lepas, terus makan yang teratur jangan sampai sakit, hemat juga jangan lupa. Kalau uangnya kurang langsung telfon umi atau enggak abi, hati-hati di jalan! Oh! Iya ... satu lagi lupa, kalau sudah sampai sana kabari abi kalau enggak umi biar kita berdua enggak khawati. Ingat pesan abi!" Kepala Raima hanya mengangguk-angguk mengiyakan ucapan dari ayahnya itu.
"Jaga kesehatan kamu selama disana, minum vitamin jangan lupa. Kalau disana lagi musim dingin pakai jaket sama sarung tangan, benar kata abi jangan tinggalin shalatnya. Dengerin sama ingat apa yang dibilang abi barusan, jangan sampai lupa kayak dek Zainun." sambar ibunya sembari membenarkan hijabnya yang berantakan.
Bibirnya melengkung membentuk senyuman manis, menatap sang ibu yang masih terlihat tidak rela membiarkannya pergi. "Iya umi, Raima bakalan inget terus perkataannya abi. Yasudah sekarang Raima sama Nisa pergi dulu pesawatnya udah mau berangkat. Zai jaga umi sama abi kalau nggak mau, kertas mahal kamu kakak buang ke tempat sampah kalau kakak pulang nantu. Pokoknya kamu juga harus nurut sama umi jangan ngebantah kaya kemarin kalau kamu sampai ngebantah permintaan abi. " Zainun merenggut kesal.
"Liat aja nggak akan kakak beli kan oleh-oleh buat kamu kalau kakak pulang nanti, kalau kamu sendiri masih ngebantah umi sama abi!" ancam Raima pada adiknya yang hanya mengangguk mengiyakan ucapan kakaknya pasrah. Adiknya sudah tidak sensitif lagi seperti kemarin.
"Kalau gitu kita berangkat sekarang ya umi, abi. Assalamualaikum." Pamit Nissa dan Raima kompak setelah berpamitan pada kedua orangtuanya mereka masing-masing yang disambut dengan senyuman manis milik mereka.
Matanya menatap Nissa yang sibuk membaca denah lokasi asrama gadis itu, sedangkan dirinya hanya menonton gadis itu karena Raima sendiri sudah mencarinya tadi malam sebelum ia tidur kemarin. Nissa benar-benar fokus pada denah lokasi asrama gadis itu. Entah apa yang dilakukan sahabatnya itu semalaman sampai tidak sempat mencari tahu.
"Pokoknya setiap hari kita harus saling kabar ya Raim enggak boleh enggak! Terus juga pokoknya setiap hari minggu kita main ya biarin walaupun jaraknya jauh, aku bisa mati kebosanan disana kalau nggak main sama kamu. Kan tau sendiri cuman kamu yang aku kenal walaupun aku punya tetangga nanti," ucap Nissa sembari menatapnya.
"Iya, nanti kamu ke asrama yang aku tempatin aja atau nanti aku ke tempat kamu tinggal. Lagian juga jaraknya nggak terlalu jauh cuman tiga jam kan? Udah deh nanti gampang urusan yang itu dan yang paling penting kamu jaga diri kamu baik-baik disana karena nggak ada aku, matanya dijaga jangan lihat yang putih dikit langsung suka, terus kerudungnya jangan sampai lepas biarin aja orang disana bilang apa? Yang penting kamu teguh sama pendirian kamu." ucap Raima membuat temannya itu memeluk lengannya senang.
"Eung ... kamu teman terbaikku dan seperti ibuku yang terus mengomel. Jangan khawatir padaku aku akan baik-baik saja, aku sudah bukan anak kecil lagi," Raima mengangguk, ia mempercayai Nissa kalau gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri seperti ucapannya.
Ah—ia jadi berdegub sendiri menjelang kedatangannya ke negeri gingseng itu, ia jadi gugup takut apa yang dipelajarinya selama seminggu ini lupa begitu saja. Semoga saja tidak, dirinya tidak seperti Zainun si pelupa kelas kakap.
To be continued
Terimakasih sudah membaca cerita ini, i hope you happy.
Salam Leeaa Kim